Di dunia sastra, siapa yang tidak kenal Rosyid E. Abby? Ia adalah jurnalis, sastrawan, dan sutradara yang menghidupkan spirit sunda. Ia lebih populer sebagai redaktur senior Harian Pikiran Rakyat Bandung.
Rosyid E. Abby, lahir di Bandung, 19 September 1965, adalah salah satu sosok penting dalam dunia sastra, teater, dan perfilman Indonesia, khususnya dalam konteks kebudayaan Sunda. Ia dikenal sebagai jurnalis, sastrawan, sutradara, dan penulis lintas genre yang karya-karyanya tidak hanya merekam denyut kehidupan masyarakat, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan dan kearifan lokal dalam bentuk yang estetis dan reflektif.
Sebagai penulis produktif, Rosyid menulis cerpen, puisi, esai, artikel, terjemahan, serta naskah drama, teater, dan sinetron â baik dalam bahasa Sunda maupun bahasa Indonesia. Kemampuannya menulis dalam dua bahasa membuatnya menjadi jembatan antara sastra lokal dan nasional, memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia.
Dalam proses perjalanan kreatifnya, kita bisa melihat beberapa karya penting Rosyid E. Abby, antara lain:
- Lembah Pengasingan (naskah drama, 1984)
- Di Bawah Matahari (kumpulan puisi, 1987)
- Tembang Kasih tak Pernah Istirah (kumpulan puisi, 2004)
- Pengembaraan Sunyi (kumpulan puisi, 2007)
- Kasidah Cinta Sang Muadzin (drama musikal, 2007)
- Sajak-sajak Rosyid E. Abby (kumpulan puisi Sunda, 2010)
- Kabayan Ngalanglang Jaman (drama, 2010)
- Kasidah Cinta Sang Abid (drama musikal, 2010)
- Kasidah Cinta Sang Singa Allah (drama, 2011)
- Simponi Dunya Kelas Teri (kumpulan puisi Sunda, 2012)

Dalam dunia sastra Sunda, nama Rosyid E. Abby menempati posisi penting. Dua puisinya, Sareupna (2003) dan Senen Pasosore (2005), yang dimuat di majalah Galura, meraih Hadiah Sastra dari Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS) masing-masing pada tahun 2004 dan 2006. Penghargaan ini menjadi bukti apresiasi atas kekuatan estetik dan kedalaman makna dalam puisinya yang menggambarkan kehidupan masyarakat Sunda dengan gaya bahasa yang halus namun penuh daya gugah.
Pada tahun 2011, Rosyid kembali mendapat pengakuan penting ketika dianugerahi âAnugerah Budayaâ dan hadiah Kujang Mas dari Bupati Bandung, H. Dadang M. Nasser, atas dedikasinya dalam pelestarian dan pengembangan budaya Sunda melalui karya sastra dan teater.
Di samping itu, bagaimanakah kiprahnya dalam perfilman Indonesia?
Merujuk pada prestasi yang telah diraihnya, selain dikenal sebagai sastrawan dan penulis naskah drama, Rosyid E. Abby juga aktif dalam dunia perfilman dan penyiaran televisi, khususnya di wilayah Jawa Barat. Ia menulis dan menyutradarai beberapa skenario film televisi penyuluhan (TVRI Jawa Barat), di antaranya:
- Mentari di Riak Danau
- Akhir Sebuah Kelalaian
Kedua karya tersebut menunjukkan kepedulian Rosyid terhadap persoalan sosial dan moral di masyarakat. Melalui media film, ia tidak sekadar menghadirkan hiburan, tetapi juga menyampaikan pesan edukatif dan nilai-nilai kemanusiaan. Gayanya yang khas dalam mengangkat tema keseharian dengan pendekatan budaya lokal menjadikan film-film karyanya dekat dengan penonton akar rumput.
Dalam dunia teater dan sinetron, Rosyid juga dikenal sebagai sutradara dan penulis naskah yang piawai menggabungkan unsur dramatik modern dengan filosofi Sunda. Karya-karya seperti Kasidah Cinta Sang Muadzin, Kasidah Cinta Sang Abid, dan Kasidah Cinta Sang Singa Allah memperlihatkan upayanya menyatukan nilai spiritualitas, cinta, dan kemanusiaan dalam format pertunjukan yang puitis dan religius.
Lantas, apa yang dapat kita lihat dari warisan dan pengaruh karya-karyanya?
Rosyid E. Abby dapat dipandang sebagai representasi generasi seniman Sunda yang berupaya menjaga jati diri budaya daerah di tengah arus modernisasi. Ia bukan hanya menulis untuk estetika, tetapi juga untuk pencerahan sosial dan spiritual. Karya-karyanya menjadi cerminan perjalanan batin seorang seniman yang berakar kuat pada tanah Sunda, tetapi berpikir universal.
Dengan kiprahnya di dunia sastra, teater, dan film, Rosyid E. Abby telah memberi kontribusi nyata bagi pengembangan budaya dan perfilman Indonesia, menjadikan karya-karyanya bukan hanya catatan artistik, tetapi juga rekam jejak sejarah dan nilai kemanusiaan yang berharga.
Tentunya, masyarakat Sunda sangat berharap munculnya sinema-sinema baru lain, yang mempresentasikan talenta ciri khas Sunda. Sehingga, Bandung bisa menjadi salah satu ikon perfilman nasional dan menjadi rancage budaya yang penting bagi destinasi wisata nasional di masa akan datang. (*)
