SAM adalah nama sebenarnya, tapi para pelanggannya telanjur menyebutnya “Mas Iput”. (Sumber: Dokumentasi Penulis)

Ayo Netizen

Jualan setelah Maghrib Pulang Dinihari, Mi Goreng ‘Mas Sam’ Cari Orang Lapar di Malam Hari

Jumat 19 Des 2025, 14:22 WIB

SAM adalah nama sebenarnya, tapi para pelanggannya telanjur menyebutnya “Mas Iput”. Ketahuilah nama “Mas Iput” adalah nama sahabatnya dulu yang membawanya dari Brebes, Jawa Tengah, merantau dan membimbingnya untuk berjualan nasi goreng ke Kompleks Parahyangan Kencana—daerah sekitar Soreang—di tahun 2013. 

Sam, pria berusia 40 tahunan ini, sudah lama berjualan mandiri—tidak lagi magang ke “Mas Iput”--dan konsisten berjualan nasi goreng dan mi tek tek memakai roda saat malam hari. Sementara, mantan bosnya, Iput, konon masih berjualan nasi goreng dengan bermotor di daerah lain masih di sekitar Soreang.

Bakda Zuhur Sam mempersiapkan dagangannya dari mulai meracik bumbu, menanak nasi, hingga mempersiapkan segalanya. Selepas Magrib, ia mulai mendorong rodanya keluar dari kontrakannya yang kecil di daerah Citaliktik, Pananjung, Cangkuang Kabupateng Bandung. Sam mendorong rodanya—mencari orang orang lapari di malam hari--menyusuri jalan kampung Bojong Sayang. Leuwinutug, lalu masuk ke Kompleks Parken Blok E, Blok I, dan berakhir di Blok G. Ia akan pulang mendorong rodanya yang kosong antara pukul satu atau dua dini hari. 

Para pelanggannya sudah tahu di mana posisi roda  “Mas Iput”, eh, Sams pada jam jam tertentu. Misalnya sekitar jam tujuh ia akan berada di Blok E dan pukul sembilan akan masuk Blok I. Para pelangganya—yang sebagian besar punya nomor hp-nya--akan menanti kedatangannya walau di sekitar situ terdapat pula pedagang nasi goreng yang mangkal.

Bila saat menanti kedatangannya tetapi ia tak kunjung datang, pelanggannya akan mengirim wa: “Dagang? Di mana?”

Dan ia pun segera akan menjawab: “Gak dagang, lagi pulang kampung. Atau masih di Citaliktik, kebanjiran.” Memang daerah Citaliktik kalau di musim hujan kadang banjir.

Baca Juga: 5 Hidden Gem Makanan Manis di Pasar Cihapit, Wajib Dicoba Saat Main ke Bandung!

Mengapa mesti nasi goreng “Mas Iput”? Orangnya ramah. Nasi gorengnya enak. Porsinya banyak. Dan ia tampaknya sudah tahu keinginan para pelanggannya. Misalnya, saya tak perlu ngomong tidak pakai anu, banyak anunya, atau pedasnya sedikit, sedang, atau banyak. Dan cara memasaknya—karena pengalamannya—sudah lihai. Ia tahu kapan harus memasukkan garam atau penyedap dan kapan harus memasukkan kecap. Tidak sembarangan.

Setiap malamnya, “Mas Iput” tidak banyak membawa dagangannya. “Paling saya paling banyak membawa 40-50 telur,” katanya saat melayani. Artinya, paling banyak 50 porsi habis setiap malam. Kalikan saja Rp15.000. Hasilnya itu uang yang dibawanya ke kontrakannya.

Berjualan selama itu, tentu saja ada suka dan dukanya. “Pernah empat kali rodanya terguling karena jalan rusak dan berbatu. Atau diganggu orang jahat dan pembelinya tidak membayar yang dipesannya,” katanya. “Tapi itu sudah risiko jualan di malam hari.”

Menurut “Mas Iput”, eh Sam, sebelum berjualan nasi goreng ikut Mas Iput, ia sudah merantau ke Tangerang, Jakarta, Bandung. “Dari kerja sebagai kuli bangunan hingga jualan empek-empek pernah saya lakukan. Kerja apa saja asal ada buat anak dan istri di kampung di Brebes,” katanya mengakhiri. (*)

Tags:
kuliner Bandungmi gorengnasi goreng

Dudung Ridwan

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor