Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Ayo Netizen

Abah, Buku Bekas, dan Denyut Intelektual

Jumat 19 Des 2025, 18:09 WIB

Bagi siapa pun yang pernah mengenyam bangku kuliah di IAIN (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung pada rentang tahun 1990 hingga 2017, pasti mengenal sosok pria berkacamata ini yang menjadi bagian dari ingatan kolektif.

Sang penjual buku bekas murah yang setia mangkal di depan kampus, tepatnya di gerbang samping kiri tulisan IAIN SGD Bandung, Jalan A. H. Nasution No 105, di bawah pohon rindang (DPR) depan Klinik Pratama yang sekarang ditutup dan hanya ada satu akses (gerbang utama Kampus 1), pos satpam. Kini, mahasiswa dekade 2020-an cukup mengenal DPR berada di samping Fakultas Adab dan Humaniora.

Merawat Ingatan Kolektif

Pemilik nama Famias Syahrudin ini bukan sekadar pedagang buku. Kehadirannya telah menjadi bagian dari perjalanan hidup mahasiswa, menemani asupan dinamika intelektual, memperkaya diskusi, bahkan kerap bersinggungan dengan perjalanan batin dan pengalaman personal para pencari ilmu, kutu buku.

Betapa tidak, Abah hadir sebagai saksi sunyi geliat akademik yang tumbuh dari lembar demi lembar buku bekas di lapaknya. Jadi tempat nongkrong mahasiswa, ya sekedar berhenti sejenak sebelum kembali bergulat dengan diktat, kelas, aksi, tugas, dan mimpi-mimpi besar.

Biasanya, sekitar pukul 09.30 pagi, Abah sudah mulai beberes dan menata lapak di Jalan A. H. Nasution No. 105 Cibiru. Dengan sepeda motor Vespa dan jaket sedikit lusuh kesayangannya, datang membawa tas punggung berisi tumpukan buku, karung-karung diktat fotokopian, dan berbagai bacaan yang siap disambut mahasiswa. Terpal plastik dibentangkan, meja sederhana disusun, lalu buku-buku ditata berlapis bak ikan asin.

Abah membuka lapaknya hampir setiap hari, dari Senin hingga Sabtu. Mulai pukul 10.00 sampai 14.00 WIB, deretan buku digelar sederhana di pinggir jalan. Koleksinya beragam mulai dari buku mata kuliah, agama, filsafat, ekonomi, hingga komik anak-anak.

Lapak Terjal Jalanan

Dilansir dari Liputan6 (6 Maret 2017), pria kelahiran Bukittinggi ini telah berjualan buku selama kurang lebih 27 tahun. Usianya kala itu 57 tahun, dan hampir separuh hidupnya dihabiskan di pinggir Jalan A. H. Nasution No. 105.

Menjual buku sejak 1990, saat kampus ini masih bernama Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Namun Bandung sudah lebih dulu memanggilnya. Sejak 1975, Abah merantau ke kota kembang ini, sambil mencoba berbagai usaha, dari menjual nasi, baju, hingga jaket.

“Saya jualan buku hampir 30 tahun, Dek. Jualan buku sejak tahun 1990, waktu itu kampus masih bernama IAIN. Saya ke sini sejak tahun 1975,” kenangnya.

Menariknya, meskipun di seberang kampus berdiri beberapa toko buku yang menyediakan buku penunjang perkuliahan, buku umum, dan buku agama, lapak Abah tak pernah sepi.

Abah mengaku hanya mengambil untung sekitar Rp3.000 dari setiap buku baru yang didapatkan dari Palasari. Selebihnya buku bekas yang sebagian besar dibeli dari mahasiswa yang telah diwisuda.

“Biasanya mahasiswa jual buku satu lemari, saya beli lima ratus ribu. Kalau dijual lagi bisa jadi satu juta,” katanya sambil tersenyum sederhana.

Buku-buku unik itu pada akhirnya menemukan pemilik baru. Salah satunya Apep Hidayatullah, mahasiswa Jurusan Bimbingan Konseling Islam (BKI) semester empat. Kerap mencari buku rujukan kuliah, hingga bacaan filsafat, sejarah, politik, dan agama di lapak Abah.

“Bukunya memang lama, tapi masih bagus-bagus. Harganya juga murah, ada yang lima ribu, sepuluh ribu, sampai dua puluh ribu,” ujarnya.

Bagi Abah, menjual buku bukan soal laba besar. Pria yang memiliki dua cucu itu sadar betul kondisi mahasiswa. Jika harga terlalu mahal, buku tak akan laku.

Sumber lain datang dari Palasari, bahkan tukang rongsok, yang kerap menawarkan buku bekas dari perumahan sekitar Bandung dengan harga Rp3.000 per kilogram. Dari tumpukan itulah, Abah memilah buku-buku layak baca, lalu menjualnya kembali dengan harga terjangkau untuk mahasiswa, staf dan dosen. (liputan6, 06 Maret 2017, 14:30 WIB).

Koleksi perpustakaan pribadi alakadarnya pada 14 Agustus 2014. (Sumber: Istimewa | Foto: IBN GHIFARIE)

Rindu yang Menggebu

Saat mengurus legalisasi ijazah untuk keperluan sekolah dan pekerjaan, seorang kawan tiba-tiba bertanya, “Abah yang jual buku murah di depan kampus itu masih ada?”

Kujawab singkat, “tos teu aya ayeuna mah.”

Pertanyaan itu langsung membawa pikiranku melayang ke suasana hangat masa lalu, terutama momen berebut buku ketika Abah menurunkan karung-karung dari Vespa tuanya.

Ya, hampir sebagian besar buku di rumah lahir dari tangan dingin Abah, dari Palasari, bazar, hingga bursa buku yang pernah begitu hidup dan luar biasa di Bandung pada masanya.

Lapak Abah pada akhirnya bukan sekadar tempat jual beli buku. Melainkan ruang singgah, tempat obrolan kecil, tempat nongkrong mahasiswa menunggu bus biru DAMRI legendaris sambil menggenggam harapan yang setipis dompet anak kos.

Rupanya, di sanalah banyak mimpi lahir dari buku-buku bekas, dari tangan-tangan sederhana, dari Abah yang setia menjaga denyut intelektual kampus selama puluhan tahun.

Bagiku, buku-buku bekas itu lebih dari sekadar barang murah dari lapak pinggir jalan. Tanpa sadar dari bacaan yang sampulnya kusam, sudut-sudutnya terlipat, baunya bercampur antara debu, waktu, justru menghadirkan jendela dunia ke dalam rumah yang sederhana.

Di sela halaman yang menguning, melahirkan arti pentingnya belajar soal pengetahuan tidak selalu lahir dari ruang kelas, rak toko buku yang terang, melainkan dari tangan-tangan sabar yang memilih, membaca, lalu membagikan (menjualnya) dengan penuh keyakinan.

Dari kebiasaan itulah denyut intelektual perlahan tumbuh, bukan sebagai sesuatu yang gemuruh, justru hadir tenang dan konsisten.

Setiap buku yang dibuka menjadi percakapan tak langsung antara generasi, dan dari sana kita memahami ihwal intelektualitas bukan soal gelar, kemewahan, melainkan keberanian untuk terus belajar, tanpa putus, meski dari halaman-halaman yang telah usang, sobek, hilang dan menguap entah kemana. (*)

Tags:
bukubudaya membacaliterasi

Ibn Ghifarie

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor