Flagship outlet Bebek Kaleyo di Jalan Sumatera No. 5, Kota Bandung yang mempertemukan kuliner tradisional dengan estetika kekinian. (Sumber: dok. Bebek Kaleyo)

Ayo Netizen

Cerita Kota Singgah yang Dirindukan

Senin 22 Des 2025, 12:35 WIB

Bandung untuk menjadi kota singgah yang dirindukan tidak harus punya laut untuk mempesona, juga tidak perlu hutan untuk menenangkan. Daya tarik bisa datang dari denyut kota yang hangat dan ramah.

Ritme kehidupan yang khas, aroma kopi di jalan-jalan Dago, jejak kaki di trotoar Asia Afrika dan Braga yang penuh sejarah. Menjadi sebahagian cara Bandung mengundang orang datang berlibur, temu ilmiah, rapat kerja, hingga karya wisata.

Pelancong boleh keluar Bandung, menyusuri kebun teh di Ciwidey, menyantap jagung bakar di Lembang, atau menikmati keindahan danau di Pangalengan. Tapi pada akhirnya, mereka akan kembali ke Bandung untuk beristirahat, berbelanja, menikmati kuliner, berburu fesyen, dan tentu saja, bernostalgia dengan romantika “Paris van Java.

Bandung pernah meninggalkan jejak sukses urban tourism di Indonesia. Program menata kota dengan taman-taman tematik, menampilkan wajah kota dengan desain yang segar. Masyarakat pun menikmati identitas sebagai warga yang bangga mengekspresikan diri di ruang publiknya sendiri.

Seiring waktu berjalan, sebagian semangat itu mulai redup. Taman-taman kehilangan warna, trotoar yang dulu bersih kini kembali berdebu, dan wajah kota yang dulu tersenyum kini sedikit masam karena jalannya pun terasa tambah sempit.

Bandung harus menjadi kota singgah yang menawan, asal berani memperbarui wajahnya tanpa kehilangan jati diri. Potensi perkotaan Bandung tidak benar-benar hilang. Asia Afrika, Dago, Cibaduyut, Pasar Baru, taman-taman kota, Kiara park, hingga sarana olahraga, masih punya daya tarik jika dihidupkan dan dikelola dengan visi yang jelas.

Salah satu cara efektif mengembalikan pesona itu adalah dengan menerapkan marketing di sektor publik untuk menghidupkan kembali event-event kota. Musik, budaya, seni jalanan, fashion dan festival kuliner menunjukkan denyut nadi Bandung yang sebenarnya. Di sinilah Bandung SemangART! Punya arti.

Setiap taman bisa menjadi panggung kecil. Jalanan bisa menjadi ruang ekspresi. Festival tahunan di sepanjang Jalan Asia Afrika, pertunjukan musik lokal di Dago, atau pameran kerajinan di Cibaduyut adalah magnet yang perlu dipertahankan.

Jalan Asia-Afrika, Kota Bandung. (Sumber: Pexels/Raka Miftah)

Event-event budaya bukan hanya soal hiburan, tapi juga strategi ekonomi kreatif yang akan membuka peluang usaha, memperkuat UMKM lokal, dan menciptakan lapangan kerja baru. Lebih dari itu, event semacam ini bisa menghidupkan kembali kebanggaan warga Bandung terhadap kotanya.

Di tahun kedua kepemimpinan Kota Bandung, ini momen yang tepat untuk menunjukkan hasil belajar menyelesaikan masalah klasik, mulai dari sampah menumpuk di sudut jalan, kemacetan menjerat di pusat kota, parkir semerawut, hingga ketersediaan produk yang tidak stabil saat musim liburan. Semua ini perlu dikelola dengan sistem yang terencana, bukan dengan kebijakan reaktif.

Kebersihan harus menjadi budaya, bukan proyek musiman yang menjadi beban PASUKAN WARGA. Pengelolaan lalu lintas pun harus lebih kreatif hingga menjadi potensi PAD, mengotimalkan layanan transportasi umum, memanfaatkan park and ride, dan menata zona wisata agar tidak tumpang tindih dengan arus warga lokal.

Pemerintah kota juga perlu memastikan para pelaku usaha, penata wisata, dan pedagang kecil mendapat ruang yang layak. Bila perlu berbasis wilayah kecamatan, agar merata.agar dampak ekonomi tidak hanya menguntungkan investor besar, tapi juga masyarakat Bandung.

Di sinilah pentingnya prinsip kemitraan antara pemerintah dan sektor swasta. Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri, sementara swasta tidak bisa hanya mencari keuntungan sesaat. Kolaborasi ini pun perlu diperkuat dengan keterlibatan akademisi dan media. Bandung Triple Helix bukan lagi sekadar program di atas kertas, tapi aksi nyata penata kelolaan kebijakan pembangunan.

Pemerintah menyiapkan regulasi dan infrastruktur, swasta berinvestasi dan promosi, sedangkan warga menjadi penjaga keseimbangan sosialnya. Dengan prinsip kemitraan ini, ekonomi tumbuh, kota tertata, dan warganya berdaya.

Baca Juga: Kisah ‘Lampu Merah Terlama di Indonesia’ di Kota Nomor 1 Termacet se-Nusantara

Warga menjadi wajah pertama yang dilihat pelancong. Senyumnya yang ramah, ucapan sederhana, dan humor khasnya menjadi bagian dari indikator keberhasilan program moderasi beragama yang diterapkan di Kota Bandung. Kepedulian warga pada akhirnya akan meninggalkan kesan yang tak terlupakan.

Bandung tidak harus menjadi destinasi utama di Jawa Barat. Tapi bisa menjadi kota persinggahan terbaik. Menyambut tamu dengan rasa, bukan sekadar rupa, bahkan memberi kenangan setelah mereka pulang.

Pada akhirnya, liburan bukan hanya tentang tempat yang indah, tapi tentang pengalaman yang membekas. Dan pengalaman terbaik selalu lahir dari kota yang peduli, yang menyiapkan diri dengan rasa, bukan proyek semata.

Menyongsong liburan akhir tahun ini hidupkan lagi musikmu, rawat tamanmu, dan jaga trotoarmu. Bukan macetnya, bukan sampahnya. Jadilah kota singgah yang tidak hanya layak dikunjungi, tapi selalu dirindukan, membuat siapa pun ingin kembali, lagi dan lagi. (*)

Tags:
Kota Bandung Bandung Kota Singgah

Bayu Hikmat Purwana

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor