BANDUNG tidak pernah berhenti bergerak. Dari pagi hingga malam, hingga pagi lagi, di antara aroma knalpot dan aroma kopi tubruk, kota ini selalu sibuk.
Tapi, pernahkah kita iseng mengapungkan sebuah tanya: apakah kota ini masih waras?
Waras, tentu saja, bukan sekadar bebas dari macet atau bersih dari polusi. Waras lebih dari itu. Waras adalah keseimbangan, kemampuan membaca batas, dan keberanian mengatakan cukup sebelum semuanya berantakan.
Mari, kita bayangkan sejenak jalan Dago di sore hari. Orang berlalu-lalang, anak-anak asyik main papan luncur, sementara ibu-ibu membawa belanjaan. Ada hidup yang normal di tengah kepadatan. Itulah Bandung yang waras, di mana kota yang tetap manusiawi di tengah gembita urbanisasi.
Berlari setiap detik
Sejarawan kota kerap bilang bahwa kota yang baik adalah kota yang bisa membuat warganya bertahan hidup tanpa harus berlari setiap detik. Itu salah satu prinsip sederhana yang mungkin jarang kita sadari.
Kota waras tidak menuntut warganya untuk selalu produktif sampai kelelahan. Tidak setiap ruang harus menjadi pasar atau mall. Ada ruang untuk berhenti. Bernafas. Dan melihat langit.
Pakar psikologi lingkungan, Roger Ulrich, pernah mengutarakan bahwa lingkungan yang sehat secara psikologis mendukung pemulihan manusia dari stres. Trotoar yang rindang, taman yang bersih, sungai yang tak tercemar, itulah obat paling murah tapi paling ampuh bagi warga.
Bandung punya potensi. Bukit-bukitnya, sungainya, bahkan angin yang datang dari daerah utara, seharusnya menjadi bagian dari terapi kota. Pertanyaannya sekarang, apakah kita sudah merawatnya? Mungkin belum sepenuhnya.
Sering kali pembangunan kota justru melupakan kewarasan. Jalan raya diperlebar, mall dibangun, ruang hijau dan ruang publik terpangkas. Kecepatan menjadi ukuran, bukan kenyamanan.
Kota yang waras menekankan keteraturan tanpa harus mengekang kreativitas. Keberadaan para pedagang kaki lima, seniman jalanan, komunitas literasi adalah pertanda kota masih hidup, bukan chaos.
Tapi, realitanya, sebagian aturan kota malah membuat mereka terpinggirkan. Di sini, waras berarti mampu menyeimbangkan antara aturan dan fleksibilitas.
Bandung harus punya otak yang waras dan hati yang peka. Kedua hal ini perlu berjalan bersamaan, di mana logika menjaga tata kota, empati menjaga kehidupan warganya.
Misalnya, tata ruang harus mempertimbangkan banjir dan longsor. Karenanya tak cukup hanya dengan infrastruktur beton, tetapi juga membuat ruang hijau sebagai peredam alami, sekaligus tempat warga berinteraksi.
Infrastruktur penting. Tapi, tanpa estetika, kota hanya menjadi labirin beton yang menekan jiwa. Bandung punya peluang untuk tampil beda sehingga bisa waras dan juga indah sekaligus.
Ujian kota waras

Fenomena gentrifikasi dapat menjadi ujian kota waras. Harga properti naik, sementara warganya terdorong pergi. Waras bukan hanya milik yang mampu membayar mahal. Waras adalah milik semua orang.
Pakar ekonomi urban, Edward Glaeser, menulis bahwa kota yang sehat adalah kota yang memungkinkan mobilitas sosial, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi. Prinsip ini harus bisa diimplementasikan di Bandung.
UMKM lokal, kafe kecil, tukang bubur dan tukang bajigur, mereka adalah nadi kota. Kota yang waras memastikan mereka tetap bertahan, bukan tergusur demi proyek-proyek besar.
Transportasi publik juga bisa sebagai ukuran warasnya kota. Tidak hanya cepat, tapi nyaman, aman, dan terjangkau. Kota yang memaksa warganya selalu numpak motor karena pilihan lain mahal atau tak tersedia, belumlah waras.
Lingkungan sosial tak kalah penting dalam membantu kota menjadi waras. Bandung harus jadi kota di mana warga saling mengenal, saling membantu, bukan sekadar tetangga yang lewat cepat-cepat tanpa menyapa.
Bukan sekadar hiburan
Budaya juga bagian dari kewarasan. Festival musik, mural, teater jalanan, itu semua bukan sekadar hiburan. Itu pengingat bahwa kota ini hidup, bukan mati di balik gedung-gedung beton.
Kota waras juga menjaga sejarahnya. Braga, Alun-Alun, Gedung Sate bukan hanya ikon, tapi bagian dari identitas. Merobohkan sejarah demi modernisasi bukan tindakan waras.
Kota yang waras mampu belajar dari kesalahan. Longsor, banjir, kemacetan, itu bukan aib, tapi pelajaran untuk membangun sistem yang lebih baik.
Di sisi lain, teknologi bisa menjadi teman atau musuh kota waras. Aplikasi transportasi, smart city, sistem informasi publik, semuanya membantu jika digunakan dengan visi manusiawi, bukan sekadar efisiensi semu.
Namun, barangkali, yang paling sulit yaitu waras berarti menahan diri. Tidak setiap proyek harus dikejar, tidak setiap target harus buru-buru tercapai.
Baca Juga: Mendidik dengan Ikhlas, Mengabdi dengan Cinta: Kisah di Balik Seragam Cokelat Herna Wati
Waras bukan slogan, bukan hashtag. Waras adalah praktik sehari-hari. Melihat, menilai, bertindak dengan kepala dingin, tapi hati nan hangat.
Bandung waras bukan utopia. Itu adalah proses. Setiap keputusan, setiap langkah pembangunan, setiap aturan baru adalah ujian. Jika gagal, kita belajar. Jika berhasil, kita rayakan.
Waras itu sederhana tapi berat. Sederhana dalam makna, yakni cukup, seimbang, manusiawi. Berat dalam praktik, lantaran membutuhkan keberanian, kesabaran, dan komitmen semua pihak. (*)