AYOBANDUNG.ID - Cicadas tidak pernah lahir sebagai kawasan pinggiran yang tenang. Sejak awal abad ke-20, wilayah ini sudah tercatat dalam peta dan arsip kolonial sebagai simpul penting pergerakan manusia, barang, dan kekuasaan di sisi timur Kota Bandung. Letaknya yang berada di jalur utama penghubung timur–selatan menjadikan Cicadas lebih dulu ramai dibanding banyak kawasan lain yang kini dianggap “tua” di Bandung.
Jejak nama Cicadas sudah muncul dalam arsip kolonial sejak awal abad ke-20. Pada peta Bandung terbitan Inggris tahun 1945, kawasan ini tercatat sebagai wilayah strategis di tikungan Engelenweg, jalan yang kini dikenal sebagai Jalan Cikutra. Di masa itu, Cicadas diapit oleh wilayah-wilayah yang kini terdengar akrab di telinga warga Bandung Timur: Sekepondok, Lemahneundeut, Cidurian, Cimuncang, hingga Jelekong. Sungai Cibeunying menjadi batas alam yang sekaligus berfungsi sebagai penanda bahwa kawasan ini berada di ambang antara kota dan pinggiran.
Sebelum Bandung melebar seperti sekarang, Cicadas memegang peran penting sebagai gerbang kota dari arah timur. Jalur utama yang melintasinya terhubung langsung ke simpang selatan menuju Stasiun Kiaracondong. Jalan ini merupakan bagian dari Groote Postweg, jalan raya pos legendaris yang menjadi tulang punggung transportasi Pulau Jawa. Seiring waktu, namanya berubah-ubah hingga akhirnya menetap sebagai Jalan Ahmad Yani, salah satu arteri terpadat di Bandung.
Baca Juga: Hikayat Kiaracondong, Tujuan Urbanisasi Kaum Pekerja Zaman Baheula
Tapi, posisi strategis tidak selalu berarti reputasi baik. Pada dekade 1920-an, Cicadas dikenal sebagai kawasan yang bikin orang berpikir dua kali untuk melintas saat malam tiba. Wilayah ini sering dicap rawan, keras, dan penuh urusan yang lebih cocok diselesaikan dengan otot ketimbang musyawarah. Polisi jarang terlihat, sementara pencuri dan pemabuk justru merasa seperti tuan rumah. Cicadas pun menjadi alamat pertama yang dituju aparat setiap kali terjadi kejahatan di pusat kota.
Kendati demikian, sejarah Cicadas tidak berhenti pada label gelap itu. Memasuki pertengahan 1930-an, wajah kawasan ini mulai berubah. Pasar rakyat didirikan dan menjadi pusat ekonomi baru yang mengundang keramaian sejak pagi hingga sore. Kehadiran pasar membuat Cicadas tak lagi sekadar jalur lintasan, melainkan tujuan. Orang datang bukan hanya untuk lewat, tetapi untuk bertransaksi, berjumpa, dan membangun kehidupan.
Tak lama berselang, fasilitas kesehatan mulai hadir. Klinik sederhana yang kelak berkembang menjadi Rumah Sakit Santo Yusup berdiri dan menjadi penopang penting bagi warga Bandung Timur. Dari sinilah Cicadas perlahan bergeser dari kawasan pinggiran yang dicurigai menjadi ruang hidup yang dibutuhkan. Pemerintah kolonial bahkan sempat merancang berbagai fasilitas publik lain, termasuk tempat perawatan kesehatan jiwa, sebuah gagasan yang pada zamannya terbilang progresif.
Peran Cicadas semakin penting dengan hadirnya pusat pengembangan tekstil. Sejak awal abad ke-20, kawasan ini menjadi rumah bagi institusi tekstil yang kelak berpengaruh besar terhadap industri rakyat di Priangan. Dari sinilah teknologi alat tenun bukan mesin diperkenalkan, memungkinkan produksi kain tanpa ketergantungan pada listrik. Dampaknya menjalar jauh hingga Majalaya, melahirkan generasi pengrajin dan fondasi industri tekstil rakyat Jawa Barat. Cicadas pun diam-diam berperan sebagai laboratorium ekonomi yang hasilnya dinikmati wilayah lain.
Baca Juga: Hikayat Bandung Lautan Sampah, Kota yang Hampir Dikubur Ulahnya Sendiri
Tapi sejarah lempeng itu kemudian berkelok. Masa revolusi kemerdekaan meninggalkan luka mendalam. Kawasan ini menjadi salah satu titik terpadat kekuatan bersenjata rakyat. Situasi itu menjadikannya sasaran serangan udara pada akhir 1945. Bom-bom dijatuhkan, bangunan runtuh, rumah warga hancur, dan korban sipil berjatuhan. Jalan utama berlubang, bukan oleh usia, melainkan oleh ledakan perang. Tragedi itu menorehkan memori kelam yang lama tersimpan di balik hiruk-pikuk keseharian.
Pasca revolusi, Cicadas justru tumbuh semakin padat. Pasar diperluas, toko-toko bermunculan, kantor pos dan pos polisi dibangun, selokan diperbaiki, dan arus pendatang tak terbendung. Jalan Raya Timur berubah menjadi jalur ekonomi yang hidup. Kawasan ini menjelma salah satu pusat urban Bandung Timur, bersaing dengan Kosambi dan kawasan pusat kota lama.
Gang-gang di sekitar Cicadas pun membentuk dunia kecilnya sendiri. Nama-nama gang yang kini akrab terdengar seperti peta ingatan kolektif warga Bandung Timur. Bioskop-bioskop sempat berjaya, pusat hiburan berdiri, lalu satu per satu tumbang ditelan zaman. Cicadas selalu bergerak, kadang maju dengan cepat, kadang tersandung oleh masalah klasik kota besar.
Pada era modern, Cicadas menjadi kawasan pendidikan, perdagangan, dan hunian yang kompleks. Kampus-kampus berdiri, rumah sakit berkembang, pasar bertransformasi menjadi pusat niaga terpadu. Industri mikro konveksi tumbuh di sela gang, sementara apartemen dan hotel mulai menjulang, membawa kelas sosial baru ke lingkungan lama. Cicadas menjadi contoh bagaimana kota tumbuh bukan dengan menghapus masa lalu, melainkan menumpuknya lapis demi lapis.
Baca Juga: Geger Bandung 1934, Pembunuhan Berdarah di Rumah Asep Berlian

Pernah jadi Sarang Penyamun dan Kriminal
Tak lengkap membicarakan sejarah Cicadas tanpa menyinggung julukan legendarisnya: Negara Beling. Di antara ratusan kawasan yang menjalar di Kota Bandung, Cicadas memiliki tempat tersendiri dalam ingatan kolektif warganya. Bukan karena keindahan arsitekturnya atau pesona alamnya, melainkan karena sebuah julukan yang melekat seperti stigma: Negara Beling. Nama itu terdengar asing sekaligus menakutkan, seolah menandai sebuah wilayah yang berada di luar jangkauan hukum formal, tempat di mana aturan main ditentukan oleh logika jalanan yang keras dan tak kenal kompromi.
Sosok Antropolog Joshua Barker dari University of Toronto yang melakukan penelitian mendalam di kawasan Cicadas memberikan penjelasan komprehensif tentang asal-usul istilah ini dalam bukunya State of Authority. Barker mencatat dua etimologi rakyat yang beredar di kalangan masyarakat Bandung. Yang pertama merujuk pada banyaknya tukang beling di kawasan tersebut, yakni orang-orang yang mengumpulkan pecahan kaca dan menjualnya kembali. Dalam imajinasi populer masyarakat urban, profesi ini sering dikaitkan dengan kegiatan ilegal dan dunia gelap. Etimologi kedua lebih metaforis: Cicadas disebut negara beling karena daerah itu dianggap berbahaya, tajam, dan bisa melukai seperti pecahan kaca.
Baca Juga: Sejarah Kopo Bandung, Berawal dari Hikayat Sesepuh hingga Jadi Distrik Ikon Kemacetan
Kedua pengertian tersebut, menurut Barker, sama-sama menekankan aspek kriminal dari lingkungan ini. Pada dekade 1990-an, julukan negara beling atau kampung beling tidak hanya disematkan pada Cicadas, tetapi juga pada sejumlah wilayah lain di Bandung seperti Liogenteng, Nyengseret, Pasirkoja, Sukapakir, dan Babakan Irigasi. Semua kawasan ini memiliki kesamaan: kelas ekonomi menengah ke bawah dengan tingkat kejahatan yang tinggi. Namun Cicadas tampaknya menjadi yang paling ikonik, bahkan mendapat sebutan alternatif "Kawasan Ninja" yang menambah dimensi mistis dan berbahaya pada citranya.
Citra Cicadas sebagai Negara Beling kemudian melekat kuat dalam ingatan masyarakat dan tidak dapat dipisahkan dari mitos kekerasan serta legenda kelompok pemuda yang berkembang pada tahun 1970-an hingga 1990-an. Pada akhir 1970-an muncul kelompok Ravana dan Sakarima, disusul Dollar Club pada 1980-an, serta Ninja Cicadas pada 1990-an. Selain kelompok-kelompok tersebut, Cicadas juga dikenal memiliki tokoh-tokoh lokal yang dihormati di wilayah Bandung Timur, seperti Maman Sport, Nana Berlit, Maman Skogar, dan Eman Suhada, serta figur jeger dan jawara yang berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat.
Dalam pada itu, Cicadas identik dengan premanisme, kepadatan ekstrem, dan konflik jalanan. Kelompok-kelompok pemuda dengan nama-nama sangar menguasai wilayah, menciptakan sistem keamanan informal yang ironisnya justru memberikan rasa aman bagi warga lokal. Hukum negara sering kali kalah cepat dibanding aturan gang. Siapa yang kuat, dia yang didengar.
Yang menarik, penelitian Barker mengungkapkan bahwa kawasan kumuh seperti Cicadas bisa menjadi domain yang berada di luar batas otoritas negara modern. Di sini berlaku sistem pemerintahan informal yang didasarkan pada kharisma personal dan kemampuan fisik, bukan pada legitimasi hukum formal. Ini menjelaskan mengapa masyarakat Cicadas lebih patuh pada para jeger ketimbang pada aparat negara. Keberadaan para figur otoritas informal ini justru memberikan rasa aman bagi warga lokal, meski bagi orang luar terlihat menakutkan.
Kepadatan penduduk yang sangat tinggi di Cicadas melahirkan ketegangan-ketegangan yang terkadang berujung pada berbagai bentuk tindak kriminal. Satu keluarga di kawasan ini rata-rata memiliki lebih dari tiga orang anak. Para pendatang yang terus berdatangan menambah kepadatan yang sudah tinggi. Kondisi ekonomi yang sulit memaksa banyak warga untuk bertahan hidup dengan cara apa pun, termasuk melakukan kejahatan. Dalam konteks ini, Negara Beling bukan hanya label geografis, tetapi juga representasi dari kondisi sosial-ekonomi yang marginal.
Tapi waktu punya cara sendiri untuk melunakkan sudut-sudut tajam. Memasuki abad ke-21, wajah Cicadas perlahan berubah. Para tokoh lama menghilang, generasi baru muncul, organisasi warga dibentuk, dan upaya membangun identitas baru mulai dilakukan. Negara beling beralih fungsi menjadi cerita nostalgia yang diceritakan ulang dengan tawa setengah getir.
Baca Juga: Sejarah Lembang, Kawasan Wisata Primadona Bandung Sejak Zaman Kolonial
Hari ini, Cicadas bukan lagi kawasan yang hanya dikenal karena stigma. Ia adalah simpul penting Bandung Timur, dengan segala problem dan potensinya. Sanitasi, sungai tercemar, kemacetan, dan kepadatan masih menjadi pekerjaan rumah, tetapi di balik itu ada energi komunitas yang terus bergerak. Cicadas mengajarkan bahwa kota bukan sekadar bangunan dan jalan, melainkan ingatan kolektif yang terus dinegosiasikan.
Sejarah Cicadas Bandung pada akhirnya adalah kisah tentang bertahan. Dari gerbang kota, medan perang, pusat tekstil, negara beling, hingga kawasan urban modern. Ia mungkin tidak selalu rapi, tetapi justru di sanalah Bandung menemukan wajahnya yang paling jujur.
