Buku Sex Education For Children, Karya Atreya Senja (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)

Ayo Netizen

Demi Stop Pelecehan, Perlu Bijak Sex Education sejak Anak Usia Dini

Minggu 27 Jul 2025, 20:19 WIB

Seperti kutipan di atas, penulis setuju, jika pendidikan seks merupakan langkah awal untuk melindungi anak-anak dari pelecehan dan penyimpangan seksual.

Anak yang sudah dibekali ilmu sejak kecil mengenai batasan-batasan akan lebih aware terhadap dirinya sendiri. Sebagai orang tua tentu tidak selalu bisa mengawasi anak dalam waktu 24 jam.

Keterbatasan inilah yang seringkali membuat orang tua khawatir akan keamanan anak. Maka memberikan wejangan sedari dini menjadi hal yang patut diperhatikan oleh setiap orang tua.

Banyak yang salah menginterpretasikan jika pendidikan seks hanya mengajarkan anak tentang bagaimana cara melakukan hubungan seks aja.

Padahal pendidikan seks bisa menjadi upaya untuk memberikan pemahaman kepada anak mengenai perubahan dan perkembangan tubuh secara biologis, psikologis, kultural dan psikoseksual.

Pemahaman mengenai pendidikan seks juga lebih luas dan disesuaikan dengan tingkat usia pada anak.

Selain itu anak-anak juga bisa memahami bagaimana fungsi-fungsi alat seksual hingga hasrat dan naluri yang bisa datang kapan saja.

Lantas tanggung jawab siapa untuk memberikan pendidikan seks pada anak? Sejauh ini pasti jawabannya pihak sekolah. Memang tidak salah tapi alangkah bijaknya jika orang tua memiliki kesadaran lebih untuk mengajarkannya di rumah.

Justru pendidikan sejak dini akan lebih mudah dilakukan dibandingkan anak sudah beranjak dewasa. Kesulitan ini diakibatkan anak sudah memahami terlebih dulu penjelasan pendidikan seksual dari perspektif yang berbeda bahkan bisa saja salah.

Memang rasanya tidak mudah ketika mengajarkan pendidikan seks pada anak. Terlebih di Indonesia sendiri, hal ini masih dipercaya sebagai hal yang tabu.

Maka respons orang tua menjadi sangat penting ketika seorang anak bertanya mengenai menstruasi, melahirkan, hubungan seksual atau apapun yang berhubungan dengan hal tersebut.

Respons yang cenderung ketus dan tertutup justru tidak memuaskan rasa ingin tahu seorang anak. Hal ini yang berujung pada anak yang mencari referensi dari lingkungan lain yang mungkin saja bisa salah.

Maka orang tua seharusnya tidak perlu marah jika anak bertanya mengenai hal-hal tentang seks.

Orang tua perlu bersikap tenang kemudian menjadi sahabat dan bersikap terbuka saat menjelaskan. Sehingga anak merasa aman, rasa ingin tahunya dapat tervalidasi dan dia memiliki perspektif yang benar tentang pendidikan seksual.

Banyak orang tua yang menganggap bahwa hasrat seksual pada anak akan muncul saat usia pubertas.

Padahal menurut teori psikoseksual yang dibuat oleh Sigmund Freud menyatakan bahwa anak sudah menunjukkan ketertarikan seksualnya sejak dini.

Sehingga pada proses perkembangannya peran orang tua sangat penting untuk melihat bagaimana perilaku anak yang memiliki kecenderungan rasa ingin tahu yang tinggi (inquisitiveness).

Berdasarkan teori ini anak-anak mengalami 5 fase psikoseksual di antaranya:

(1) Fase Oral 0-2 tahun, dimana bayi merasakan kepuasan melalui aktivitas oral seperti menyusu, mengisap jempol atau mengoceh.

(2) Fase Anal 2-3 tahun, dimana kepuasan pada anak berada pada aktivitas anus saat mengeluarkan kotoran secara lancar.

(3) Fase Falik 3-7 tahun, dimana anak mulai menyadari adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Pada fase ini juga anak sudah menyadari akan aktivitas seksual.

(4) Fase Genital 3-7 tahun fase dimana anak sudah memiliki ketertarikan akan lawan jenis dan sudah ada dorongan seksualitas.

(5), Fase Laten 7-11 tahun, pada fase ini justru aktivitas seksual sudah tidak terlihat jelas karena anak sedang fokus mengejar kesenangan dan meraih prestasi.

Melalui penjelasan ini diharapkan orang tua bisa lebih bijak dalam memahami dan menanggulangi perilaku anak sesuai dengan usia tumbuh kembangnya.

Bagaimana Caranya ?

Demi cegah pelecehan seksual, perlu sex education sejak dini. (Sumber: Pexels/Markus Winkler)

Langkah pertama yang sederhana ternyata dimulai dari pemberian nama anak sesuai dengan jenis kelamin. Hal ini membuat anak-anak bisa membedakan perbedaan dirinya dengan lawan jenis secara lebih sederhana.

Identitas yang jelas membuat seseorang bisa melihat diri kita secara utuh. Dengan demikian pola pikir anak akan berkembang menuju memperlakukan teman lawan jenisnya seusia dengan norma yang berlaku.

Apa yang boleh dan tidak boleh, mana hal yang pantas dan tidak pantas dilakukan. Sehingga nampak jelas hal ini bisa menjadi langkah utama bagi anak untuk terhindar dari tindak pelecehan seksual.

Selanjutnya orang tua harus memiliki kesadaran dalam memisahkan kamar tidur untuk anak yang memiliki jenis kelamin berbeda. Ada baiknya jika hal ini dilakukan sejak anak masih kecil untuk menjaga anak bertindak agresif secara seksual.

Setelah itu anak harus diberi pembelajaran mengenai fungsi organ dalam tubuhnya, termasuk alat kelamin.

Sejauh ini orang tua seringkali membiaskan makna kelamin yang sebenarnya dengan bahasa yang dianggap lebih sopan. Misalnya saja payudara seringkali disebut 'nenen' atau penis seringkali disebut dengan 'burung'.

Padahal penyampaian kata yang tidak sesuai justru akan melahirkan multi tafsir pada pemahaman anak-anak. Biasakan untuk menyebutkan organ sesuai dengan namanya sehingga perlahan kata 'tabu' akan menghilang ketika berbicara perihal pendidikan seksual di lingkungan masyarakat.

Terakhir yang tidak kalah penting adalah memperhatikan apa yang anak-anak tonton di televisi dan media sosial.

Kecanggihan teknologi memang tidak bisa dihindari. Salah satu cara orang tua adalah mengawasi dan membatasi waktu atau konten apa saja yang ditonton.

Kemudahan dalam mengakses informasi sudah sepatutnya menjadi dampak positif sebagai sumber informasi dan edukasi. Jangan justru sebaliknya, internet menjadi lahan bagi anak untuk terekspos hal yang negatif.

Mengintip Penyimpangan Seksual

Ada beberapa jenis penyimpangan seksual yang harus diberikan informasinya kepada anak. Jangan sampai anak menormalisasi hal yang negatif karena ketidaktahuannya.

Beberapa jenis penyimpangan seksual diantaranya, pemerkosaan, biasanya dilakukan dengan cara memaksa orang lain untuk berhubungan seks.

Kedua, ekshibisionisme, sebuah tindakan untuk membuat orang lain terkejut saat pelaku menunjukkak alamat kelaminnya di depan umum. Maka beri pemahaman pada anak ketika berinteraksi di ruang publik untuk selalu waspada.

Ketiga, voyeurisme, tindakan yang dilakukan pelaku dengan mengintip orang yang mandi, berganti pakaian hingga beraktivitas seksual.

Keempat, froteurisme, tindakan yang dilakukan pelaku dengan cara menggesekkan kelamin ke tubuh orang lain untuk mendapatkan kepuasan.

Selain keempat hal itu masih banyak penyimpangan seksual yang mesti diketahui maknanya, misalnya pedofil, sadomasokis, sadisme, transvestisme, nekrofilia, zoofilia, sodomi dan beastiality (aktivitas seksual pada binatang).

Tindak kejahatan seksual harus segera diberantas dengan kerjasama antara pihak orang tua, guru di sekolah dan tatanan sosial masyarakat yang hidup bersama.

Tetap waspada di zaman yang sudah semakin tidak terkendali akibat pengaruh dan penggunaan yang kurang bijak terhadap internet dan media sosial. (*)

Tags:
pelecehan seksualsex educationpendidikan seksual

Dias Ashari

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor