Belakangan ini kita menyaksikan fenomena unik namun sarat makna. Jelang perayaan kemerdekaan, sejumlah sopir truk memilih tidak mengibarkan bendera merah putih di kendaraan mereka.
Padahal biasanya, tiap bulan Agustus, bendera itu berkibar megah di spion atau di tiang-tiang truk yang melintasi ribuan kilometer jalanan Indonesia. Sebagai gantinya, mereka mengibarkan bendera bajak laut "Jolly Roger" dari serial One Piece.
Tindakan itu mengundang kontroversi, tetapi juga membuka ruang bagi tafsir yang lebih mendalam, terutama jika dilihat dari perspektif ilmu komunikasi.
Dalam studi komunikasi politik, simbol visual seperti bendera tergolong sebagai komunikasi nonverbal. Ia menyampaikan pesan tanpa perlu diucapkan. Dumitrescu dalam ulasan akademiknya, Nonverbal Communication in Politics: A Review of Research Developments (2016) menyebutkan, komunikasi nonverbal memiliki kekuatan besar dalam membentuk sikap dan perilaku politik, terlebih dalam kondisi informasi yang minim.
Kanal visual seperti simbol bajak laut ternyata tidak hanya menggerakkan emosi, tetapi juga membuka ruang refleksi tentang ketimpangan, ketidakadilan, dan relasi kuasa.
Maka ketika para sopir menyampaikan kalimat "Maaf Jenderal, tahun ini tidak ada bendera merah putih di truk kami", yang terdengar bukan sekadar keluhan, tapi sinyal keresahan kolektif yang ditampung dalam lambang sederhana.
Bendera bajak laut dari dunia fiksi One Piece tidak lahir di ruang hampa. Ia terhubung dengan keresahan sosial yang nyata. Para sopir truk memprotes penerapan aturan ODOL yang dirasa timpang.
Mereka dihukum karena membawa muatan berlebih, padahal yang menyuruh adalah perusahaan ekspedisi. Bendera itu kemudian menyebar, bukan hanya di jalanan, tapi juga di ruang digital. Masyarakat dari berbagai latar ikut mengibarkannya.
Sebab dalam cerita One Piece, kita menemukan kisah perlawanan terhadap ketidakadilan yang terasa sangat dekat dengan pengalaman hidup masyarakat Indonesia.
Pemerintah dunia dalam cerita itu digambarkan melindungi elit yang semena-mena, menutup sejarah, memungut upeti tanpa timbal balik, dan memberdayakan aparat dengan kekuasaan mutlak. Semua ini, bagi banyak warga Indonesia, bukan sekadar fiksi, tetapi refleksi dari situasi riil yang mereka hadapi.
Respon Penguasa

Respon penguasa sayangnya tidak semua bijak. Menko Polhukam menyebut pengibaran bendera One Piece sebagai bentuk provokasi. Ia mengingatkan bahwa simbol negara tidak boleh dikalahkan oleh lambang lain.
Anggota MPR RI Firman Soebagyo bahkan menyebut gerakan ini berpotensi makar dan meminta aparat segera memeriksa para pelakunya. Padahal tidak semua pejabat melihatnya dengan cara yang sama.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad meminta agar masyarakat tidak dibenturkan dengan simbol negara. Menurutnya ini hanyalah bentuk ekspresi dari rasa frustrasi yang seharusnya disikapi dengan kebijaksanaan.
Ketua MPR RI Ahmad Muzani pun menyampaikan hal serupa. Baginya, fenomena ini adalah bentuk kreativitas yang tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Kecintaan masyarakat terhadap merah putih tidak akan luntur hanya karena simbol budaya populer.
Pemerintah seharusnya tidak takut terhadap simbol yang lahir dari rakyat. Justru dari sana negara bisa belajar mendengar kembali.
Kita bisa mulai dengan bertanya: mengapa simbol bajak laut lebih menggugah bagi sebagian warga? Mengapa mereka lebih memilih itu ketimbang jargon resmi?
Mungkin karena simbol itu terasa lebih jujur, lebih menyuarakan perasaan, dan lebih terhubung dengan pengalaman sehari-hari.
Para sopir truk itu tetap bekerja, tetap membayar pajak, tetap menghadapi jalanan rusak dan pungutan liar.
Mereka bukan musuh negara. Mereka adalah bagian dari rakyat yang ingin suaranya didengar. Maka sebelum tergesa menyebutnya subversif atau menghina, mari dengar dulu maksudnya.
Bisa jadi, lewat bendera itu, mereka hanya ingin bertanya: apakah negara masih mau mendengarkan? (*)