Restoran cepat saji KFC. (Sumber: Pexels/Huu Huynh)

Ayo Netizen

#BudayaBeberes KFC adalah Kampanye Absurd dan Tidak Nasionalis

Kamis 07 Agu 2025, 19:34 WIB

Sudah beberapa tahun terakhir ini saya gerah dengan kampanye #BudayakanBeberes di KFC. Setiap kali makan di meja bisnis kapitalis ini dan melihat gambar serta tulisan itu di dindingnya, gejolak batin ini langsung berontak.

Bagi saya, kampanye ini benar-benar absurd dan tidak nasionalis.

KFC pernah dikritik soal ini, dan jawaban menohok dari admin Instagram mereka justru menyalak, “Itu kan sampahmu sendiri, kenapa gak kamu bersihin sendiri?

Mulailah bermunculan di kolom komentar para SJW (Sudden-sudden Jadi Wijaksana) yang ramai-ramai membela KFC dengan dalih yang polanya sama, “Apa susahnya sih bantu pekerjaan orang?”, “Menjaga kebersihan itu sebagian dari iman!”, dan “Di luar negeri juga begitu, kok!”

Sekali lagi saya katakan, ini absurd. Mari kita bedah satu per satu.

Pertama, tidak ada korelasi antara membuang sampah bekas makan di meja KFC dengan menjaga lingkungan atau gerakan Go Green yang mereka tunggangi.

Sederhananya begini, jika Anda makan dine-in di KFC dan tidak membereskan bekas makan Anda sendiri, tetap akan ada orang yang membereskannya. Siapa? Ya, petugas kebersihan KFC, karena itu tugas mereka.

Mereka digaji untuk memastikan meja bersih dan siap digunakan oleh pelanggan berikutnya. Kebersihan dan estetika restoran adalah tanggung jawab penyedia , bukan konsumen.

Tidak mungkin KFC secara sengaja membiarkan bekas makanan yang tidak dibereskan itu tetap di atas meja karena itu akan mengurangi nilai estetika dan menyebabkan meja tidak dapat digunakan oleh pengunjung lain. Siapa yang rugi jika dibiarkan? Tentu saja KFC.

Kedua, argumen “membantu pekerjaan orang lain” ini adalah jebakan logika. Ada yang namanya Doorman Fallacy.

Screenshoot komentar admin @kfcindonesia di Instagram

Bayangkan di sebuah apartemen mewah, para penghuninya dengan bijaksana selalu membuka pintu sendiri dan dengan perasaan bangga "membantu" meringankan pekerjaan si penjaga pintu (doorman). Si penghuni akan merasa bahwa dia baik hati karena mengurangi beban si doorman.

Namun, jika semua penghuni melakukan hal yang sama secara masif dan konsisten, apa yang terjadi kemudian? Manajemen apartemen itu akan berpikir, "Hmm, posisi doorman ternyata tidak lagi dibutuhkan, ya? Kan, semua orang bisa buka pintu sendiri, self-service." Ujung-ujungnya apa? Si doorman kehilangan pekerjaannya.

Jika sesekali Anda membereskan bekas makanan Anda sendiri, jelas ini akan membahagiakan atau “membantu” petugas kebersihan KFC. Namun, jika ini dilakukan secara masif, justru posisi mereka sebagai petugas kebersihan di KFC inilah yang dipertaruhkan.

Anggaplah biasanya satu outlet KFC memiliki 2-3 orang petugas kebersihan, mungkin jika #BudayaBeberes sudah sukses, mereka hanya perlu satu petugas kebersihan saja sudah cukup.

Percayalah, ini bukan soal kampanye moral, apalagi soal environmental ethics. Ini hanya akal-akalan jangka panjang untuk mengurangi tenaga kerja.-TITIK.

Jika masih tidak percaya, coba sesekali perhatikan betapa sibuknya pelayan KFC. Fenomena understaffing di KFC sudah jadi rahasia umum. Satu orang staf bisa punya tiga jobdesk. Dia yang jadi kasir, dia juga yang catat pesanan, dia juga yang lari-lari menyiapkan pesanan.

Dia bisa melakukan ini sendirian sampai kewalahan dan bikin antrean panjang. Kenapa? Ya, karena pihak perusahaan enggan me-hire lebih banyak tenaga kerja.

Dari sini kita bisa lihat bahwa KFC jelas punya DNA untuk menekan pengeluaran untuk tenaga kerja sekeras mungkin. Kampanye #BudayaBeberes ini seolah-olah memberikan satu tugas tambahan bagi pengunjung yang seharusnya bisa jadi satu jobdesk khusus untuk satu orang tenaga kerja.

Ketiga, argumen “Di luar negeri juga begitu”, selain bentuk flexing si pembuat komentar agar kelihatan pernah ke luar negeri, ini juga menunjukkan inferiority mentality atau mentalitas inlander yang sering kali kambuh pada masyarakat kita.

Jangan lupa juga bahwa tidak semua yang menurut masyarakat negara maju itu baik, lantas harus kita adopsi. Itu adalah sesat pikir (fallacy).

Di luar negeri, khususnya negara maju, upah per jam itu tinggi, sehingga budaya swalayan menjadi solusi menekan biaya. Di sana, restoran cepat saji seperti KFC dan McD itu setara Warteg dan rumah makan padang paket ceban di negeri kita. Di Indonesia, konteksnya beda. KFC menjadi makanan kelas menengah dengan pajak dan biaya layanan yang tinggi. Ditambah lagi, kita sedang surplus tenaga kerja. Mengadopsi budaya self-service tanpa melihat konteks dan situasi di negeri sendiri adalah sebuah kenaifan.

Ini yang saya sebut tidak nasionalis. Dalam situasi ekonomi sulit seperti ini, kita justru secara tidak langsung malah membantu KFC (yang notabene korporasi asing) untuk menekan biaya operasionalnya dan malah mengancam lapangan pekerjaan saudara-saudara kita, para petugas kebersihan di KFC ini.

Terakhir, jika memang mau sepenuhnya Go Green dan bicara soal etika lingkungan seperti yang digaungkan, harusnya KFC mengalihkan fokus mereka. --Tolong, jangan cherry-picking, deh.

Kenapa masih ada wadah plastik saus? Kan, bisa langsung dituang ke wadah makan. Kenapa malah pakai karton untuk wadah nasi, bukannya pakai piring dan gelas keramik yang bisa dicuci? Ah, atau jangan-jangan tidak mau menambah biaya untuk satu orang lagi yang tugasnya mencuci piring?

Dan kenapa masih memasukkan CD musik ke dalam paket pembelian, padahal sudah tahu sedikit orang yang menginginkannya? Bukankah CD itu, digunakan atau tidak, nantinya akan tetap jadi sampah yang sulit terurai? Hadeh. (*)

Tags:
#BudayaBeberes KFCkampanye

Yaser Fahrizal Damar Utama , S.I.Kom

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor