Tak pernah terbayang kondisi manajemen Persib Bandung dengan fansnya yang terkenal fanatik, Bobotoh, sedikit demi sedikit mulai mencair dari kebekuan.
Terajutnya kembali tali ukhuwah keduanya paling terlihat dalam video peluncuran jersey untuk Super League 2025/2026. Persib menunjuk Ketua Umum Viking Persib Club (VPC), Tobias Ginanjar sebagai model utama.
Ya, Tobias memang eye catching di depan lensa; perwakannya yang jangkung, wajah blasteran karena memang ada darah Jerman dan Maroko yang menambah kesan cameraable. Tetapi bukan parasnya yang ingin dijual Persib, jika ditangkap makna simboliknya, kurang-lebih
“Yeuh, hubungan manajemen jeung Bobotoh ayeuna mah teu kunanaon, teu siga nu saacanna”. Lah, memang apa yang terjadi dengan sebelumnya?
Dua tahun lalu, saya berkesempatan mewawancarai Tobias di sebuah siniar media online Jawa Barat. Kedatangannya untuk menjelaskan apa yang terjadi di balik aksi boikot di laga kandang pertama Liga 1 2023/2024 lawan Madura United. Kala itu Bobotoh yang biasanya memberi dukungan penuh hingga akhir malah melakukan aksi keluar tribun di menit 75.
Tobias bercerita banyak, mulai dari manajemen Persib yang enggan diajak duduk bersama terkait sejumlah persoalan, hingga segala kebijakan yang berdampak pada Bobotoh tak pernah melalui mekanisme sosialisasi.
Singkatnya, Bobotoh kecewa hanya dianggap komoditas dagang bukan entitas yang mesti bersenyawa dan berjalan beriringan. Maka boikot adalah sikap dari buta dan tulinya manajemen!
Meski “pundung” di tribun, Tobias kala itu mengaku tetap tak ingin terus menerus ada dalam situasi demikian. Yang rugi bukan sekadar manajemen-Bobotoh, tapi juga kepada pemain yang dikhawatirkan kehilangan sima di lapangan hijau.
Sebab dalam rentang sejarah, setiap lawatan tamu ke kandang Persib terkenal dengan keangkerannya. Maka upaya-upaya lain untuk memecahkan kebekuan terus diupayakan.
Selepas take siniar, di penghujung malam tepat pada 1 Agustus 2023 tiba-tiba ponsel saya dikirim pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal.
“Halo, Kang. Ini Tobi,” katanya.
Dengan gercep saya pun membalas untuk menanyakan keinginannya. Ternyata Tobias meminta ada bagian tertentu dari isi siniar yang harus dipotong. Pertimbangannya, ia tak ingin kondisi semakin panas serta terus mengikhtiarkan agar bisa berdialog.
“Iya biar ga baper,” sambungnya menguatkan agar bagian tersebut benar-benar dipotong.
Rezim berganti, gaya berubah

Selepas puasa gelar selama 9 tahun berakhir di musim “konflik” itu (2023/2024), dapur manajemen Persib berganti. Estafeta dilanjutkan Adhitia Putra Herawan.
Di beberapa kesempatan siniar, pria dengan latar belakang IT dan juga katanya pernah jadi atlet E-Sport itu mulai mengubah gaya komunikasi dengan Bobotoh.
Ia menyadari bahwa selama ini treatment Persib kepada Bobotoh lebih dominan hubungan jual-beli. Tak menyentuh nilai-nilai kultur yang sudah mengakar. Alhasil kondisi di lapangan terus resisten.
Untuk itu, di tahun pertamanya hingga saat ini yang ia ubah adalah gaya komunikasi, salah satunya berupaya turun ke akar rumput untuk mendengar apa yang diinginkan Bobotoh.
“Ya, kita mencoba untuk bediskusi. Sekalipun tak semuanya akan sepaham, kita sebisa mungkin berusaha mencari jalan tengah,” paparnya di salah satu siniar.
Jelang kick off musim baru, Adhitia pun turut menghadiri District Gathering VPC pada 1 Agustus 2025 lalu. Ada satu cerita menarik dari kawan yang hadir. Di tengah-tengah diskusi, Adhit diminta untuk membuka baju sebagai tanda “kepersiban” dan “kebobotohan”-nya. Ia pun mengamini permintaan itu.
Jika dirunut, ada banyak hal yang berubah dari cara komunikasi manajemen kepada Bobotoh. Ini salah satu progres yang mesti diapresiasi. Selebihnya, Bobotoh terorganisir atau tidak, akan terus pada sunnatullah-nya; “Alus dipuji, butut dikekeak!”
Sudah Semestinya “Ka al-Jasadi al-Wahid”

Istilah ini jamak dikenal di kalangan umat Islam sebagai manifesto setiap muslim satu sama lain seperti tubuh yang sama. Jika satu bagian sakit, maka berdampak pada bagian lainnya. Adagium ini jika ditarik pada “Pepersiban” tentu ada relevansinya. Perbedaannya, pemaknaan dalam Islam menyangkut akidah, ibadah, dan muamalah.
Untuk Persib-Bobotoh, biarkan itu dimaknai pada fitrahnya, hubungan klub dan fansnya. Sebagaimana sosiolog Talcott Parsons dalam teori strukturalis fungsional, sederhananya ia menekankan bahwa satu subsistem dengan subsistem lain harus beriringan agar terjadi keseimbangan.
Dalam Islam, istilah “Ka al-Jasadi al-Wahid” diambil dari hadis:
مَثَلُ المؤمنينَ في توادِّهِمْ وتراحُمِهِمْ وتعاطُفِهِمْ مَثَلُ الجسدِ، إذا اشتكى منه عضوٌ تداعَى له سائرُ الجسدِ بالسَّهَرِ والحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam kasih sayang, cinta, dan kelembutan di antara mereka seperti satu tubuh; apabila salah satu anggota tubuh sakit, seluruh tubuh ikut merasakannya dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.”
(HR. Bukhari no. 6011, Muslim no. 2586)
Imam an-Nawawi dalam “Syarah an-Nawawi ‘ala Muslim” menjelaskan ada 3 kriteria dalam hadis tersebut. Tawaddu تَوَدُّ (saling mencintai), tarahum (saling mengasihi dan memaafkan kesalahan), dan ta’athuf (saling membantu dan menguatkan). Ketiganya bukan sekadar tertanam dan terwujud dalam perasaan, lebih dari itu mesti hadir dalam perilaku nyata.
Kriteria pertama soal tawaddu yang berakar dari kata وُدّ (wudd) yang artinya cinta, kasih, sayang yang tulus. Berbicara soal ini, kecintaan Bobotoh atas Persib tak perlu diragukan lagi. Persib sudah menjadi kosa kata keseharian: jadi bahan obrolan di warung kopi, di pangkalan ojek, dan sudut-sudut lain.
Penulis yang juga Bobotoh, Zen RS, mengkomparasikan fenomena suporter dengan kelompok agama yang semangat menghadiri kegiatan keagamaan, tak lain ingin mengharap pahala.
Sementara Bobotoh (juga suporter lain) mereka berbondong-bondong kandang maupun tandang bertaruh risiko. Sebab bagi mereka, mendukung bagian dari jihadnya: “jauh dijugjug, anggang diteang”.
Kedua, tarahum. Konflik-konflik yang terjadi menandakan cinta Bobotoh bertepuk sebelah tangan. Maka langkah introspeksi yang diikhtiarkan Adhitia semoga terus membuahkan jawaban demi jawaban atas berbagai masalah dan kegelisahan sebelumnya.
Ketiga, ta’athuf. Nilai ini harus menjadi value Persib dan Bobotoh ke depannya. Bobotoh melalui VPC-nya sudah menunjukkan hal-hal positif di luar lapangan dengan aksi-aksi sosialnya.
Teranyar ada program beasiswa pendidikan yang diluncurkan. Bobotoh yang notabene kelompok sosial yang dipersatukan melalui sepak bola, kini mulai sadar, kekuatannya bisa disalurkan secara positif melalui hal-hal lain di luar si kulit bundar.
PR-nya, belakangan ini banyak diperbincangkan Bobotoh kehilangan gairah untuk datang ke stadion. Manajemen jangan menganggap sepele terkait ini. Mesti dicari jalan keluarnya, terlebih di kondisi lesunya kondisi ekonomi seperti saat ini.
Di sinilah peran manajemen Persib mesti mencari formula baru membangkitkan gairah. Kata kuncinya satu; يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا، (permudahlah, jangan dipersulit).
Terakhir, dalam konteks modernitas, suporter dan klub bukan dua pihak yang berdiri sendiri. Melainkan satu kesatuan yang saling memengaruhi. Jika satu subsistem “sakit” akan berdampak pada yang lainnya; atmosfer pertandingan, motivasi pemain, bahkan (amit-amit) prestasi. (*)