Beberapa tahun lalu, belanja adalah ritual sosial sekaligus kegiatan fisik. Kita pergi ke pasar atau toko, melihat barang langsung, menawar harga, dan yang tak kalah penting, menghitung isi dompet sebelum memutuskan “beli atau tidak”.
Ada jarak antara keinginan dan kepemilikan, jarak yang sering menjadi ruang bagi pertimbangan, apakah ini benar-benar kebutuhan, atau hanya keinginan sesaat?
Kini, jarak itu nyaris menghilang. Satu kali geser layar, klik “beli sekarang”, dan barang yang diinginkan segera meluncur dari gudang jauh menuju rumah. Waktu tunggu semakin singkat, kadang hanya hitungan jam. Kehadiran paylater menambah lapisan “keajaiban” baru, kita bisa membeli hari ini tanpa uang di tangan, lalu membayarnya nanti.
Dalam dunia yang dibangun oleh kecepatan dan konektivitas tanpa batas, paylater menjadi tiket instan untuk ikut serta dalam arus konsumsi yang tak pernah berhenti.
Namun di balik kemudahan itu, paylater adalah cermin dari budaya digital yang sedang kita jalani hari ini, budaya yang ditandai oleh kecepatan, instan, dan kepadatan tanda. Dalam budaya digital, nilai utama bukan lagi sekadar kepemilikan barang, tetapi bagaimana barang itu dapat diakses secepat mungkin dan diintegrasikan ke dalam aliran simbol di media sosial.
Kecepatan transaksi (one click away) menjadi selaras dengan kecepatan arus informasi, di mana waktu tunggu dianggap sebagai hambatan dan keterlambatan bisa berarti ketinggalan tren.
Sifat instan dari paylater mencerminkan logika digital yang menghapus jeda antara keinginan dan pemenuhan. Seperti video yang bisa diputar kapan saja atau berita yang bisa diakses real-time, barang pun kini dapat “dimiliki” tanpa harus melewati proses menabung atau menunggu gajian. Ini adalah bagian dari on-demand culture, di mana segala sesuatu diharapkan tersedia segera begitu diinginkan.
Sementara itu, “sarat tanda” merujuk pada gagasan Jean Baudrillard bahwa dalam masyarakat konsumsi, barang tidak hanya dibeli karena fungsi, tetapi karena makna simbolik yang dibawanya.
Paylater memfasilitasi konsumsi tanda ini, kita bisa segera membeli smartphone terbaru untuk menegaskan identitas digital, atau pakaian tertentu untuk tampil sesuai estetika tren TikTok, tanpa hambatan finansial di awal.
Dengan kata lain, paylater bukan hanya alat keuangan, melainkan mekanisme yang mengintegrasikan logika budaya digital ke dalam perilaku konsumsi kita (cepat dalam akses, instan dalam pemenuhan, dan penuh dengan makna simbolik yang dipertukarkan di ruang digital).
Budaya Digital dan Normalisasi Konsumsi Instan
Budaya digital dibangun di atas logika percepatan. Informasi menyebar dalam hitungan detik, pesan harus dibalas segera, dan tren berganti dalam hitungan minggu. Kecepatan ini bukan sekadar sifat teknologi, tetapi menjadi norma sosial.
Dalam ekosistem seperti ini, paylater terasa “alami”, tidak punya uang sekarang? Tak masalah. Tren baru sudah datang minggu depan? Jangan ketinggalan.
Normalisasi konsumsi instan diperkuat oleh algoritma media sosial. Kita terus-menerus diguyur konten unboxing, haul, dan review yang memicu rasa ingin memiliki. Barang yang awalnya tak terpikirkan menjadi terasa mendesak, hanya karena muncul berulang kali di linimasa. Batas antara kebutuhan dan keinginan menjadi kabur.
Jean Baudrillard (1998) menyebut bahwa di masyarakat konsumsi, orang membeli bukan semata karena fungsi barang, tetapi karena tanda dan simbol yang melekat padanya.
Tas bermerek bukan hanya tas, ia adalah tanda status, selera, dan identitas. Paylater mempercepat perburuan tanda ini: alasan “belum punya uang” kehilangan relevansinya dalam logika budaya digital.
Dari Kartu Kredit ke Dompet Digital: Pergeseran Mentalitas Konsumen

Paylater bukan sekadar inovasi finansial, ia adalah transformasi mentalitas. Jika dulu utang identik dengan komitmen jangka Panjang, KPR, kredit kendaraan, kini utang hadir dalam skala mikro dan jangka pendek, membiayai pembelian baju, tiket konser, atau gadget terbaru.
Zygmunt Bauman (2000) dalam Liquid Modernity menyebut masyarakat kita semakin cair, bergerak dari pola hidup berbasis akumulasi ke pola hidup berbasis konsumsi cepat. Barang dibeli, dinikmati sebentar, lalu diganti demi versi terbaru.
Paylater memperlancar siklus ini, membuat kepemilikan barang tak lagi membutuhkan proses panjang, melainkan hanya dorongan sesaat.
Dalam budaya digital, eksistensi kerap dibangun melalui citra yang kita tampilkan secara daring. Foto OOTD, video unboxing, atau unggahan tiket konser bukan hanya berbagi pengalaman, ia adalah praktik self-branding. Sherry Turkle (2011) dalam Alone Together menunjukkan bahwa media digital mendorong kita mengkurasi diri, menciptakan versi ideal yang mungkin berbeda dari realitas.
Paylater memfasilitasi proses ini, kita bisa “memperbarui” citra digital tanpa menunggu kemampuan finansial menyusul. Konsumsi bukan lagi hanya soal barang, tetapi juga soal validasi sosial. Dalam hal ini, paylater menjadi alat untuk mempertahankan narasi diri yang kita bangun di dunia maya.
FOMO: Psikologi di Balik Klik Paylater
Di balik dorongan membeli lewat paylater, ada fenomena psikologis khas era digital: Fear of Missing Out (FOMO). Andrew Przybylski dkk. (2013) mendefinisikannya sebagai rasa cemas bahwa orang lain sedang menikmati pengalaman yang lebih berharga tanpa kita.
Media sosial adalah mesin penghasil FOMO yang efektif. Foto liburan teman, unggahan haul influencer, atau promosi flash sale dengan hitungan mundur membentuk tekanan sosial yang halus tapi kuat. Paylater menjadi “jembatan instan” untuk menghilangkan kecemasan: barang atau pengalaman bisa langsung dimiliki tanpa menunggu kemampuan finansial.
FOMO juga menguatkan logika “sekarang atau tidak sama sekali” yang mengakar di budaya digital. Dalam pandangan Manuel Castells (2009) tentang network society, teknologi jaringan menciptakan timeless time, batas waktu tradisional lenyap, keputusan diambil dalam ritme terus-menerus. Paylater selaras dengan logika ini: tak perlu menabung berbulan-bulan, cukup klik dan bergabung dalam momen yang sedang viral.
Namun, kepuasan ini singkat. Setelah tren berganti, barang yang dibeli kehilangan nilai simboliknya, sementara tagihan tetap datang. Inilah paradoks budaya digital: teknologi membuat kita “selalu terhubung” dan “tidak tertinggal”, tapi sering dengan mengorbankan stabilitas finansial.
Pada akhirnya, paylater hanyalah salah satu wajah dari budaya digital kita, sebuah budaya yang mengajarkan segalanya bisa diraih dengan sekali klik, namun sering lupa bahwa setiap klik membawa konsekuensi. Ia memberi kita kebebasan memilih, tetapi juga menguji kesabaran dan kedewasaan kita dalam mengelola keinginan.
Di dunia yang serba instan, mungkin tantangan terbesarnya bukan sekadar mampu membayar tagihan tepat waktu, tapi juga mampu menunda hasrat demi masa depan yang lebih tenang. (*)
Referensi
- Bauman, Z. (2000). Liquid Modernity. Polity Press.
- Baudrillard, J. (1998). The Consumer Society: Myths and Structures. Sage.
- Castells, M. (2009). Communication Power. Oxford University Press.
- Przybylski, A. K., Murayama, K., DeHaan, C. R., & Gladwell, V. (2013). Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of missing out. Computers in Human Behavior, 29(4), 1841–1848.
- Turkle, S. (2011). Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other. Basic Books.