AYOBANDUNG.ID -- Industri musik Indonesia tengah mengalami transformasi besar. Di tengah gempuran teknologi dan pergeseran pola konsumsi, para lulusan seni musik dituntut untuk lebih dari sekadar berbakat. Mereka harus tangguh, adaptif, dan memiliki wawasan lintas disiplin.
Dosen musik di Universitas Taruna Bakti (TBU) sekaligus kakak kandung mendiang Nike Ardilla, Buky Wibawa Karya Guna menyuarakan pentingnya pendidikan musik yang komprehensif dalam menghadapi lanskap industri yang kian kompleks.
“Alumni jurusan musik yang mau berkarir di industri tidak bisa hanya mengandalkan bakat. Sekarang dibutuhkan pengetahuan lain, seperti manajemen musik, kekayaan intelektual, teori, dan sebagainya,” ujar Buky saat ditemui di kampus TBU, Bandung.
Menurut Buky, pendidikan formal memberikan kerangka yang lebih kokoh bagi calon musisi. Mereka tidak hanya diasah dalam hal teknik dan performa, tetapi juga dibekali dengan pemahaman tentang hukum musik, pemasaran digital, dan bahkan jurnalisme musik.
“Kalau dia punya 90% bakat tapi tidak mau belajar, ya percuma. Tapi kalau punya sedikit bakat dan mau belajar keras, saya kira dia bisa jadi musisi yang berhasil,” tegasnya.
Lulusan musik kini memiliki spektrum karier yang luas. Selain menjadi performer, mereka bisa menjadi manajer artis, pengajar, jurnalis musik, hingga pengelola venue hiburan.
Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa 62% lulusan seni musik di Indonesia kini bekerja di sektor yang tidak langsung berkaitan dengan performa panggung.
“Mereka bisa jadi entertainment manager di hotel, restoran, atau bahkan buka sekolah musik sendiri. Peluangnya banyak,” tambah Buky.
Industri musik global dan lokal telah bergeser dari konsumsi fisik ke digital. Platform seperti Spotify, YouTube, dan TikTok menjadi panggung utama bagi musisi muda. Proses rekaman pun berubah drastic dari pita analog ke software digital yang bisa diakses dari laptop pribadi.
“Dulu nasib musisi ditentukan produser. Sekarang, mereka bisa jadi pencipta, performer, manajer, dan distributor sendiri,” kata Buky.
Dengan terbukanya akses ke pasar global, musisi Indonesia harus bersaing dengan talenta dari seluruh dunia. Viralitas menjadi mata uang baru. Lagu yang viral di TikTok bisa melambungkan nama dalam semalam, tapi juga bisa tenggelam secepat itu.
Survei Jakpat 2024 menunjukkan bahwa 38% pendengar musik Indonesia kini menemukan lagu baru melalui platform video pendek. Ini menandakan pergeseran signifikan dalam cara musik dikonsumsi dan dipasarkan.
Di tengah homogenisasi global, musik etnik Indonesia menjadi aset pembeda. Buky menekankan pentingnya eksplorasi dan kolaborasi antara musik tradisional dan genre modern.
“Kita punya potensi besar dari musik etnik. Angklung, gamelan, bisa dikolaborasi dengan jazz, pop, bahkan elektronik. Itu daya beda kita,” ujarnya.
Grup musik Krakatau dan komunitas Angklung Ujo menjadi contoh sukses kolaborasi etnik-modern. Krakatau memadukan jazz dengan nuansa Sunda, sementara Angklung Ujo membawa alat musik tradisional ke panggung internasional.
“Saya berharap nanti muncul sarjana-sarjana musik yang mumpuni dan bisa membawa musik Indonesia ke dunia,” ujar Buky.
Alternatif produk kreatif musik dan UMKM serupa: