AYOBANDUNG.ID -- Mustika Arsri tumbuh dari akar pertanian yang kuat. Sebagai anak petani dari Sumatera Barat, ia memahami betul tantangan dan stigma yang melekat pada profesi ini. Ketika merantau ke Bandung untuk kuliah di jurusan pertanian Universitas Padjadjaran, ia menyadari bahwa dunia pertanian sering dianggap kotor, tidak bergengsi, dan kurang diminati.
“Kalau kuliah pertanian itu kotor-kotoran. Maksudnya, bukan yang banyak diminati. Cuma dengan adanya usaha ini, kita mengajak pertanian itu nggak lagi kotor-kotoran,” ujar Mustika saat ditemui Ayobandung.
Pada 2016, bersama sang suami, Mustika mendirikan Habibi Garden, sebuah UMKM yang fokus pada pengembangan teknologi pertanian. Meski awalnya merupakan bisnis suaminya, Mustika kini menjadi penggerak utama inovasi produk yang telah digunakan oleh lebih dari seribu petani di Indonesia.
Habibi Garden lahir dari visi besar untuk membangkitkan semangat petani muda dan mendorong regenerasi tenaga kerja di sektor agrikultur. Untuk mewujudkan visi tersebut, Habibi Garden mengembangkan alat berbasis smart farming dan kecerdasan buatan bernama Kelana AI.
“Jadi Kelana alat yang untuk bikin petani itu ibaratnya kayak ke dokter.Alat ini membaca kondisi nutrisi tanaman secara presisi, sehingga pemupukan menjadi lebih efisien dan tepat sasaran,” jelas Mustika.
Teknologi ini telah digunakan secara luas sejak masa pandemi Covid-19, yang justru menjadi titik balik bagi Habibi Garden, di mana digitalisasi pertanian yang sebelumnya sulit diterima mulai mendapat tempat. “Pembelian terbanyak itu dari covid sampai sekarang, alat ini banyak digunakan,” ujar Mustika.
Namun, tantangan terbesar adalah kesenjangan generasi dan literasi digital. Banyak petani yang masih enggan percaya pada data, sehingga pendekatan Habibi Garden adalah piloting langsung di kebun agar petani bisa merasakan manfaatnya.
“Kalau ketemu petani itu pelan-pelan karena gap year kita sama petani itu 10 tahun. Jadi kita harus ngajarin dari edukasi dulu,” katanya.
Menurut data Kementerian Pertanian, hanya sekitar 300 ribu petani muda aktif di Indonesia, dari total lebih dari 33 juta petani. Padahal, sektor pertanian menyerap sekitar 29% tenaga kerja nasional. Tantangan regenerasi ini diperparah oleh minimnya adopsi teknologi dan literasi digital di kalangan petani.
Habibi Garden menjawab tantangan ini dengan pendekatan edukatif dan kolaboratif. Mereka tidak hanya menjual alat, tetapi juga membangun ekosistem pembelajaran dan pendampingan. Peran ini sangat penting mengingat masih banyak penyuluh swadaya yang belum memiliki akses ke pelatihan ekonomi dan teknologi. “Kami bantu penyuluh mengedukasi petani,” ujar Mustika.
Di Gedebage, Kota Bandung, Habibi Garden menjadi pusat edukasi teknologi pertanian. Mereka aktif mengedukasi petani muda bahwa bisnis pertanian bisa lebih menguntungkan daripada UMR. “Suami saya yang awalnya karyawan di Samsung, memilih keluar jadi petani,” ungkap Mustika.
Stigma bahwa bertani butuh modal besar dan lahan luas dipatahkan lewat pendekatan urban farming dan teknologi. Kehadiran timer otomatis, sensor kelembaban, dan AI pertanian kini tersedia luas di pasaran. “Sebenarnya untuk anak muda yang mau jadi petani nggak susah,” katanya.
Habibi Garden juga mengelola lahan hortikultura di Lembang, menanam tomato cherry, kale, cabai, dan bawang yang masuk ke supermarket.
Kolaborasi dengan perusahaan Korea menghasilkan tomato cherry manis berkat suntikan gula stevia, menjawab tren hidup sehat di Bandung. Produk-produk sepeti ini menjadi bukti bahwa pertanian bisa mengikuti tren pasar dan menghasilkan nilai tambah.
“Karena kan di Bandung tuh lagi tren hidup sehat ya, naik banget, olahraga lah bahkan salad,” jelas Mustika.
Namun, Mustika menyoroti kelemahan mendasar petani, salah satunya manajemen ekonomi. Tanpa pencatatan, keuntungan menjadi tidak terukur.
“Petani itu bertahun-tahun bertani tapi mereka tuh tidak ada manajemennya. Modal 100 juta tapi nggak tahu pengeluarannya berapa,” katanya.
Sensus Pertanian 2023 mencatat penurunan jumlah Usaha Pertanian Perorangan (UTP) sebesar 7,45% dibandingkan 2013, meski Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) meningkat 8,74%. Ini menunjukkan pergeseran pola usaha yang perlu diimbangi dengan edukasi ekonomi dan teknologi.
Habibi Garden juga membuktikan bahwa stigma modal besar dan lahan luas bisa dipatahkan. “Banyak stigma yang modal harus besar, terus lahan harus luas. Nah itu tuh semuanya bisa dipatahkan,” ujar Mustika.
Dengan pendekatan berbasis data dan teknologi, petani muda bisa membangun bisnis yang berkelanjutan. Habibi Garden bukan hanya menjual alat, tapi membangun ekosistem edukasi, manajemen, dan regenerasi. Mustika menekankan bahwa menjadi petani butuh ketahanan dan kesabaran.
“Biasanya 2-3 kali musim itu baru yang profit banget. Jadi usaha pertanian nggak ada lagi yang bilangnya itu usaha yang sia-sia,” katanya.
Habibi Garden juga mendorong petani muda untuk magang terlebih dahulu agar memahami analisa usaha tani. “Kamu mau banting profesi seperti itu harus ikut magang di suatu perusahaan pertanian dulu,” ujar Mustika.
Dengan pendekatan yang tepat, anak muda bisa membangun bisnis pertanian yang menguntungkan dan berkelanjutan. “Hitungan menjadi dia profit atau enggak itu terukur sehingga mereka tahu pas mereka bikin kebun sendiri, itu nggak langsung baru nanam sekarang besok tuh panen,” ujarnya.
Kisah Mustika Arsri dan Habibi Garden adalah bukti bahwa pertanian bisa menjadi profesi masa depan yang modern, berbasis teknologi, dan menjanjikan. Dengan pendekatan edukatif, kolaboratif, dan berbasis data, mereka membangun semangat baru bagi generasi muda untuk kembali ke tanah, bukan sebagai warisan, tapi sebagai pilihan strategis.
“Mudah-mudahan bangun nih generasi sekarang balik ke pertanian karena kan sekarang isu Indonesia itu regenerasi petani muda,” pungkas Mustika.
Alternatif produk UMKM serupa atau kebutuhan pertanian: