AYOBANDUNG.ID -- Sejak fajar menyingsing di Desa Lebakmuncang, Ciwidey, Kabupaten Bandung, suara langkah para petani sudah terdengar di ladang. Dengan topi lusuh, sarung tangan, hingga sepatu bot, mereka menapaki tanah basah yang menjadi sumber penghidupan.
Bukan sekadar rutinitas, aktivitas ini adalah denyut kehidupan yang menjaga pasokan pangan bagi jutaan orang di Jawa Barat. Desa Lebakmuncang dikenal sebagai salah satu simpul penting hortikultura Jawa Barat. Sayuran dari desa ini mengalir ke pasar-pasar besar di Sukabumi, Cipanas, hingga Lampung.
Rantai distribusi yang panjang menjadikan desa ini bagian vital dari ekosistem pangan regional, meski para petaninya sendiri masih bergulat dengan ketidakpastian.
Kondisi pertanian di Jawa Barat saat ini mencerminkan paradoks. Di satu sisi, jumlah petani terus meningkat. Berdasarkan data Open Data Jabar, dari 2022 ke 2023 jumlah petani bertambah 26.269 jiwa, dan dari 2023 ke 2024 naik lagi 6.702 jiwa.
Angka ini menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi pilihan utama masyarakat untuk bertahan hidup. Namun di sisi lain, kesejahteraan mereka tidak selalu ikut meningkat.
Panen yang melimpah sering kali tidak sejalan dengan permintaan pasar. Gudang-gudang di desa penuh dengan sayuran yang tak laku dijual, sementara biaya produksi terus menekan.
Petani harus menanggung ongkos pupuk, penyemprotan hama, dan tenaga kerja, yang sering kali lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh.

Ayi, seorang petani sayuran dari Lebakmuncang, mengisahkan jalur distribusi yang ia tempuh. “Biasanya saya kirim ke Caringin, Sukabumi, Cipanas, sampai Lampung,” ujarnya saat berbincang dengan Ayobandung.
Namun terkadang, biaya tenaga kerja menjadi tantangan tersendiri. Dalam kondisi normal, ia membayar Rp120.000–Rp150.000 per hari. Tetapi saat pasar lesu, upah pekerja bisa turun drastis. “Kalau pemasaran lagi menurun omzetnya, upah yang kerja juga menurun,” katanya.
Menurut Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Barat, produksi sayuran strategis seperti cabai, tomat, dan kentang masih tinggi hingga 2024. Tetapi distribusi dan harga sering kali tidak stabil. Ketidakpastian ini membuat petani sulit merencanakan masa depan, karena keuntungan bisa hilang hanya dalam hitungan minggu.
Agus, seorang tengkulak sayur, mengakui kerugian yang dialami petani. Dia menegaskan bahwa masalah distribusi bukan hanya dirasakan petani, tetapi juga para tengkulak yang menjadi perantara. “Untuk saya sendiri sebenernya ganggu juga karena kalau kondisi gini mah banyak kerugiannya buat para petani,” ungkapnya.
Deden, buruh tani di desa wisata Lebakmuncang, menambahkan bahwa hasil panen sering menumpuk di gudang. Alhasil, kondisi ini membuat kualitas sayuran menurun, sehingga harga di tingkat petani ikut merosot. “Karena kalau tak bisa dijual, otomatis sayuran lebih lama tersimpan di gudang,” ujarnya.
Situasi ini menggambarkan paradoks besar, di mana Jawa Barat sebagai salah satu lumbung hortikultura nasional, tetapi petaninya masih bergulat dengan ketidakpastian harga dan distribusi. Ketahanan pangan memang terjaga, tetapi kesejahteraan petani tetap rapuh.
Nilai Tukar Petani (NTP) hortikultura Jawa Barat pada 2025 menunjukkan fluktuasi. Menurut BPS Jawa Barat, NTP sempat turun di bawah 100, menandakan daya beli petani lebih rendah dibanding biaya produksi. Angka ini menjadi indikator bahwa meski produksi tinggi, keuntungan yang diterima petani tidak sebanding dengan pengeluaran.
Tak kalah menantang, perubahan iklim menambah beban. Curah hujan yang tidak menentu membuat pola tanam bergeser. Data BMKG mencatat intensitas hujan ekstrem di Jawa Barat meningkat dalam lima tahun terakhir, berdampak langsung pada produktivitas hortikultura. Petani harus beradaptasi dengan risiko gagal panen yang semakin besar.

Pemerintah daerah mencoba menjawab tantangan ini dengan program revitalisasi lahan dan peningkatan akses pupuk. Namun, implementasi di lapangan sering kali tidak merata. Banyak petani kecil yang masih kesulitan mendapatkan pupuk subsidi, sementara biaya pupuk nonsubsidi terus melonjak.
Petani berharap ada kepastian harga dan distribusi. Pasalya tanpa itu, kerja keras mereka hanya berbuah kerugian. Harapan ini bukan sekadar keinginan, melainkan kebutuhan mendesak agar sektor pertanian tetap bertahan.
Meski begitu, semangat bertahan tetap ada. Petani Jawa Barat termasuk di Desa Lebakmuncang sadar bahwa mereka adalah penjaga pangan, meski kesejahteraan belum sepenuhnya berpihak. Mereka terus bekerja, menanam, dan memanen, meski hasilnya sering kali tidak sebanding dengan jerih payah.
Desa Lebakmuncang menjadi contoh nyata bagaimana produktivitas tinggi, namun masih dihadapkan dengan pasar yang rapuh. Kondisi ini mencerminkan wajah pertanian Jawa Barat secara keseluruhan, di mana kerja keras petani belum sepenuhnya dihargai oleh sistem ekonomi.
Harapan besar pun tetap hidup di hati para petani. Mereka percaya bahwa dengan dukungan kebijakan yang tepat, sektor pertanian bisa lebih stabil. Dukungan pemerintah dalam hal distribusi, harga pupuk, dan akses pasar menjadi kunci untuk memperbaiki kondisi. “Pengin mah stabil, tapi yaudah saya jalani aja tiap hari,” pungkas Ayi.
Alternatif kebutuhan bertani atau produk serupa: