Ema Suranta, pendiri komunitas Bukit Berlian (Sumber: PT Permodalan Nasional Madani (PNM))

Ayo Biz

Ember Sampah yang Mengubah Nasib: Kisah Ema Suranta dan Bank Sampah Bukit Berlian

Kamis 05 Jun 2025, 16:03 WIB

AYOBANDUNG.ID -- Nama Bukit Berlian mungkin terdengar mewah, tapi aktivitas komunitas ini jauh dari kesan glamor. Para anggotanya, yang mayoritas ibu-ibu, berurusan dengan sesuatu yang sering dianggap menjijikkan yaitu sampah.

Namun bagi Ema Suranta, pendiri komunitas ini, nama adalah doa. Seperti berlian yang berasal dari batu biasa sebelum menjadi sesuatu yang berharga, ia percaya sampah pun bisa berubah menjadi sesuatu yang bernilai.

Komunitas Bukit Berlian lahir pada 2019 dengan konsep sederhana yakni menampung sampah anorganik seperti plastik, botol, dan kertas. Ema mengajak ibu-ibu di lingkungan RW-nya di Desa Kertamulya, Kabupaten Bandung Barat, untuk ikut serta.

Agar semakin menarik, komunitas ini menerapkan sistem barter, di mana warga bisa menukar sampah dengan peralatan rumah tangga. Responsnya luar biasa, dalam waktu singkat, 83 orang bergabung.

Namun, seiring waktu, Ema menyadari bahwa masalah sampah tak akan selesai jika hanya fokus pada sampah anorganik. Sampah organik justru lebih mendominasi, terutama limbah dapur seperti sisa nasi dan sayuran.

Sebagai warga Bandung Raya, Ema masih ingat tragedi TPA Leuwigajah di Cimahi pada 21 Februari 2005, ledakan gas metana dari gunungan sampah setinggi 60 meter menewaskan 157 orang dan menimbun dua kampung.

“Bandung Lautan Sampah kembali terjadi,” ujarnya saat mengingat bagaimana kebakaran TPA Sarimukti pada 2023 menyebabkan krisis limbah yang membuat kota penuh dengan tumpukan sampah.

Melihat situasi ini, Ema berpikir bahwa solusi harus dimulai dari hulu, bukan hanya di hilir. Ia kemudian berkolaborasi dengan Bening Saguling Foundation, sebuah yayasan konservasi lingkungan yang membudidayakan maggot Black Soldier Fly.

Maggot ini mampu mengurai sampah organik dan sekaligus memiliki nilai ekonomi tinggi sebagai pakan ternak dan ikan. Awalnya, Bukit Berlian hanya mengirim sampah ke Bening Saguling, tetapi akhirnya komunitas ini memutuskan untuk mengelola sendiri limbah organik mereka.

Ema Suranta, pendiri komunitas Bukit Berlian. (Sumber: PT Permodalan Nasional Madani (PNM))

Hambatan terbesar saat itu adalah pendanaan. Beruntung, Ema mengenal Mekaar, program pembiayaan ultramikro dari PT Permodalan Nasional Madani (PNM). Melihat inisiatif komunitasnya, PNM memberikan modal awal Rp3 juta, yang langsung digunakan untuk membeli biopond dan perlengkapan budidaya maggot. Tahun berikutnya, PNM kembali memberikan bantuan Rp35 juta untuk pembangunan kandang maggot pertama, lalu Rp100 juta untuk kandang kedua.

Kini, Bukit Berlian memiliki 120 anggota aktif yang mampu mengolah 15 ton sampah organik per bulan dan memanen 2 ton maggot setiap 24 hari. Hasilnya beragam, mulai dari fresh maggot, dry maggot, tepung maggot, hingga pelet ikan hias.

Awalnya, komunitas ini menjual maggot ke peternak ayam petelur, tetapi ketika pembeli utama berhenti beroperasi, mereka memutuskan mengembangkan kolam ikan lele sendiri. “Sekarang kami serap sendiri produk maggot untuk ternak lele,” kata Ema.

Dukungan juga datang dari Kepala Desa Kertamulya, yang menyumbangkan 5.000 ekor bibit lele. Saat panen, Bukit Berlian mengundang warga untuk menyaksikan hasil kerja keras mereka, dan setiap orang yang hadir pulang membawa oleh-oleh ikan hasil panen.

Dari perjalanan panjangnya, Ema menyimpulkan bahwa sampah tidak seharusnya hanya dibuang, tetapi diolah agar memiliki nilai ekonomi dan sosial. “Makanya, kami ingin Pak KDM bisa berkunjung ke Bukit Berlian di Kertamulya untuk melihat apa yang kami sudah lakukan,” harapnya.

Atas dedikasi dan inovasinya, Ema menerima Mata Lokal Award 2025 dalam kategori Local Ace in Organic Waste Transformation. Kisah emak-emak Bukit Berlian membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari lingkungan kecil. Dari trauma tragedi TPA Leuwigajah, Ema bergerak. Dari satu ember sampah, ia menciptakan perubahan.

Tags:
Bukit BerliankomunitassampahTPA LeuwigajahTPA Sarimuktimaggotnilai ekonomiMekaarPNMPT Permodalan Nasional Madani

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Reporter

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Editor