AYOBANDUNG.ID -- Di tengah arus budaya urban yang dipenuhi aroma kopi dan gelombang tren minuman kekinian, teh perlahan tapi pasti mulai merebut kembali ruangnya.
Namun kali ini, teh tampil dengan wajah yang segar dan penuh gaya. Melalui teknik mixtealogi, minuman warisan nenek moyang ini diangkat menjadi kreasi kontemporer yang mengajak masyarakat modern untuk kembali mengenal, mencicipi, dan mencintai budaya ngeteh.
“Bahwa kita bisa membuat dan menyajikan teh menjadi minuman yang lebih kreatif dan ekspresif, seperti anak muda saat ini,” ujar Fajar Ichsanny, RnD Specialist Roemah Kentang 1908 kepada Ayobandung.
Mixtealogi, yang terinspirasi dari mixology -teknik meracik minuman ala bartender- merupakan upaya menyulap teh menjadi minuman inovatif tanpa alkohol, dengan memadukan berbagai bahan lokal seperti buah, bunga, dan rempah yang cocok di lidah masyarakat Indonesia.

“Pertama kali kenapa disebut mixtealogi karena diambil dari mixology, di mana minuman bercampur dengan alkohol. Kalau mixtealogi ini non alcohol karena bahan dasarnya teh yang kita campurkan dengan bahan-bahan baku tertentu yang bisa masuk di lidah dari masyarakat Indonesia,” jelas Fajar.
Meski Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil teh terbesar di dunia, konsumsi teh lokal masih tergolong rendah. Mayoritas teh hijau, misalnya, belum begitu populer di kalangan masyarakat urban.
Mixtealogi hadir sebagai jembatan yang mencoba mendekatkan teh dengan gaya hidup masa kini, bukan dengan merombak warisan, melainkan dengan merayakannya secara kreatif.
“Karena untuk dunia hospitality ini terutama minuman, aku gimana caranya untuk naikin nama teh bisa lebih vibe lagi di Indonesia,” tegas Fajar.

Di balik eksplorasi rasa dan estetika penyajian, terdapat misi yang lebih besar. Mixtealogi bukan sekadar teknik meracik, melainkan kampanye budaya yang bertujuan mengangkat derajat teh di panggung nasional, memperluas apresiasi terhadap petani teh, dan mempertahankan keberlanjutan industri lokal.
Dengan berbagai varian teh yang dimiliki Indonesia, mulai dari green tea, black tea, white tea, hingga herbal, potensi eksplorasi sangat besar. Mixtealogi membuka ruang untuk menggali karakteristik tiap jenis teh, memadukannya dengan bahan alami, dan menyajikannya dengan metode kekinian yang atraktif.
Meski lulus dari bangku kuliah ilmu penerbangan, Fajar sendiri belajar mixtealogi secara autodidak, tanpa latar belakang formal meracik minuman. “Sebetulnya memang udah ada sekolahnya untuk zaman sekarang, cuma kalau untuk saya pribadi lebih ke otodiak untuk belajar cara nge-mixing atau cara meracik minuman," ungkapnya.
Proses peracikan teh pun tidak instan. Ada tahapan infusi, suhu yang perlu diturunkan secara presisi, dan waktu ekstraksi yang harus diperhatikan agar rasa keluar optimal. “Kita baru bisa memproses tehnya pas si teh itu udah mengekstrak,” tutur Fajar.

Kehadiran mixtealogi di berbagai kafe di Bandung telah memperlihatkan geliat baru dalam industri minuman. Meski gaungnya belum sebesar kopi, potensi teh untuk meraih hati generasi muda sangat terbuka lebar.
“Sekarang kan banyak naiknya kopi, nah aku mau naikin teh nih. Teh juga bukan sekedar teh, karena teh pun masih bisa bikin variasi yang lain,” kata Fajar sambil menegaskan bahwa budaya ngeteh Indonesia layak diperjuangkan agar tak hilang dalam hiruk-pikuk tren global.
Melalui upaya seperti ini, teh kembali bersuara. Bukan sebagai nostalgia semata, tapi sebagai pilihan gaya hidup yang menyatu dengan kreativitas, keberlanjutan, dan kebanggaan akan warisan lokal.
Alternatif produk teh dan UMKM serupa: