Ferdi Sambo (kiri) dan Brigadir Yosua (kanan).

Ayo Jelajah

Hikayat Kasus Ferdy Sambo, Terbongkarnya Konspirasi Gelap Polisi di Duren Tiga

Kamis 13 Nov 2025, 18:15 WIB

AYOBANDUNG.ID - Kasus Ferdy Sambo, yang mengguncang dunia kepolisian Indonesia pada 2022, adalah kisah nyata yang seolah ditulis oleh penulis fiksi kriminal yang kehilangan akal sehat. Semua tokohnya berpangkat, berseragam, dan bersenjata. Semua peristiwanya terjadi di rumah dinas pejabat kepolisian, dengan CCTV yang entah kenapa selalu rusak di waktu yang paling penting. Dan korban utamanya? Seorang ajudan muda yang setia, yang tidak pernah menduga bahwa kesetiaan di institusi itu ternyata memiliki tanggal kedaluwarsa.

Ferdy Sambo bukan nama kecil di kepolisian. Sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri, dia adalah “polisi dari para polisi”. Tugasnya menjaga agar anak buah tetap patuh pada kode etik. Ironisnya, justru dari tangannya lahir salah satu pelanggaran paling brutal dalam sejarah institusi itu: pembunuhan berencana terhadap ajudannya sendiri, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, yang juga dikenal sebagai Brigadir J.

Yosua bukan sekadar ajudan biasa. Lahir di Muaro Jambi, ia dikenal sebagai polisi muda pekerja keras yang kerap mengikuti Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi, ke mana pun mereka pergi. Ia bukan orang yang berani membantah perintah, dan tabiat itulah pula yang mengantarkannya menuju maut. Pada 5 Juli 2022, Yosua ikut rombongan perjalanan dari Jakarta ke Magelang bersama Putri dan beberapa ajudan lain: Bharada Richard Eliezer (Bharada E), Bripka Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf. Rombongan ini berniat berlibur di rumah peristirahatan keluarga Sambo. Tak ada yang tahu bahwa liburan itu akan menjadi awal dari sebuah drama berdarah.

Di Magelang, pada malam 6 Juli, Putri mengaku mengalami pelecehan dari Yosua. Klaim itu kemudian menjadi bahan bakar utama kemarahan Sambo. Sayangnya, semua bukti yang ada menunjukkan hal sebaliknya. Tapi Sambo, yang terbiasa mengatur urusan anak buah, tampaknya lebih percaya pada cerita daripada bukti. Ia memutuskan untuk menjadi hakim, jaksa, sekaligus algojo.

Baca Juga: Hikayat Kasus Reynhard Sinaga, Jejak Dosa 3,29 Terabita Predator Seksual Paling Keji dalam Sejarah Inggris

Pagi berikutnya, tanggal 7 Juli, Sambo menemui Putri. Setelah mendengar ceritanya, ia menghubungi Ricky Rizal dan menanyakan apakah sang sopir bersedia menembak Yosua. Ricky menolak dengan sopan. Sambo lalu beralih ke Bharada E, ajudan muda yang setia tanpa banyak tanya. “Siap, Komandan,” jawab Bharada E, kalimat sederhana yang akan menghantarnya ke pengadilan beberapa bulan kemudian. Sambo pun memberikan sekotak peluru kaliber 9 mm, memastikan rencana pembalasan berjalan mulus.

Sore harinya, rombongan itu kembali ke Jakarta. Yosua, yang mungkin hanya berpikir untuk segera kembali bertugas, duduk di mobil tanpa curiga. Tak ada yang memberitahunya bahwa di Duren Tiga, Jakarta Selatan, rumah dinas Sambo sudah disiapkan untuk menjadi panggung terakhir hidupnya.

Rombongan ini tiba sekitar pukul lima sore. Putri naik ke kamar, Yosua turun ke taman belakang. Sambo datang beberapa menit kemudian, menenteng pistol dan mengenakan sarung tangan hitam, pertanda klasik bahwa ia tidak datang untuk berdamai. Ia memanggil Kuat Ma’ruf untuk mencari Yosua, lalu menghadapi ajudannya itu di ruang tamu. Kata-kata yang keluar dari mulut Sambo singkat dan beracun. Yosua hanya sempat kebingungan sebelum diminta jongkok. Sambo lalu berteriak memanggil Bharada E, memberi perintah terakhirnya: menembak.

Bharada E, dengan tangan gemetar, menembak Yosua beberapa kali. Yosua terjatuh, tubuhnya gemetar, darahnya menggenang di lantai. Tapi Sambo belum puas. Ia mendekat, mengarahkan pistol ke kepala kiri belakang Yosua, dan melepaskan satu peluru terakhir. Brigadir J tewas seketika. Polisi menembak polisi di rumah polisi. Semua terjadi dalam waktu kurang dari sepuluh menit.

Baca Juga: Hikayat Kasus Pembunuhan Marsinah, Pahlawan Buruh yang Kini Diakui Istana

Sandiwara, Rekayasa, dan Runtuhnya Kekuasaan Sambo

Setelah darah berhenti mengalir, Sambo mulai menyusun cerita. Ia tahu sistem; ia tahu bagaimana menulis laporan. Ia menembakkan beberapa peluru ke dinding untuk menciptakan adegan baku tembak. Senjata Yosua diposisikan agar tampak seperti digunakan untuk melawan. Putri keluar kamar, berpura-pura histeris. Ricky Rizal diminta mengantarnya pulang ke rumah pribadi mereka di Saguling. Semua sudah diatur agar tampak logis, atau setidaknya cukup logis bagi yang tidak ingin tahu lebih dalam.

Pada malam itu juga, jenazah Yosua dibawa ke RS Bhayangkara Raden Said Sukanto. Jenazah dikirim ke Jambi tanpa penghormatan resmi, dan di situlah cerita resmi mulai retak.

Penembakan Brigadir J terjadi pada 8 Juli 2023, namun kasusnya baru pertama kali diungkap ke publik pada 11 Juli atau dua hari kemudian. Versi kepolisian saat itu menyebut baku tembak terjadi antara Brigadir J dan Bharada E setelah Brigadir J disebutkan melakukan pelecehan serta menodongkan senjata pistol ke kepala istri Ferdy Sambo.

Disebutkan bahwa Brigadir J sempat masuk ke kamar pribadi Kepala Divisi Propam. Di dalam ruangan itu, ada istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi. Tak lama setelah Brigadir J masuk, Putri menjerit keras. Jeritan itu membuat Brigadir J panik dan buru-buru keluar kamar. Pada saat yang hampir bersamaan, Bharada E yang berada di lantai atas mendengar suara tersebut. Ia sempat bertanya dari atas mengenai apa yang terjadi. Namun sebelum sempat mendapat jawaban, Brigadir J dikabarkan menembak ke arah Bharada E. Tembakan itu dibalas, dan baku tembak pun terjadi. Akibatnya, Brigadir J tewas dengan lima luka tembak di tubuhnya.

Baca Juga: Hikayat Pelarian Eddy Tansil, Koruptor Legendaris Paling Diburu di Indonesia

Ferdy Sambo saat menjalani persidangan.

Keluarga Yosua merasa ada yang aneh. Wajah jenazah lebam, luka-lukanya terlalu banyak untuk sekadar baku tembak. Ketika peti dibuka, mereka menemukan memar dan jahitan aneh. Sementara itu, polisi datang membawa narasi yang terlalu rapi: katanya Yosua lebih dulu menyerang, lalu dibalas oleh Bharada E. CCTV di rumah dinas rusak, ponsel Yosua hilang, dan tidak ada saksi luar. Terlalu sempurna untuk sebuah kecelakaan.

Beberapa hari setelah insiden itu, badai mulai berubah arah. Media, yang semula menelan mentah-mentah versi resmi polisi, mulai menggali sendiri. Laporan demi laporan muncul, menyoroti keanehan kronologi. Kok bisa kejadian sebesar ini ditangani dengan begitu terburu-buru? Kenapa hasil autopsi dan barang bukti seolah disembunyikan?

Tekanan publik meledak. Orang-orang yang sebelumnya tak pernah peduli urusan kepolisian kini mendadak jadi analis balistik dan ahli forensik amatir. Di sinilah titik balik penyelidikan terjadi. Desakan publik memaksa Kapolri membentuk tim khusus. Dan di titik inilah, kisah Ferdy Sambo mulai berubah dari sekadar kasus internal polisi menjadi panggung drama nasional.

Baca Juga: Saat Hacker Bjorka Bikin Polisi Kelimpungan Tiga Kali

Pada 12 Juli, Kapolri Listyo Sigit membentuk tim khusus untuk menyelidiki kasus ini. Tapi langkah itu tidak langsung mengubah keadaan. Sambo masih kuat, jaringan loyalitas di tubuh Polri terlalu lebar. Baru pada 18 Juli, setelah tekanan publik meningkat dan laporan keluarga Yosua masuk ke Bareskrim, Sambo dinonaktifkan. Angin mulai berbalik.

Tim khusus bekerja dengan cara yang tidak lagi bisa dikontrol oleh narasi lama. Mereka menemukan bahwa tak ada baku tembak, tak ada pelecehan, dan tak ada duel pistol ala film koboi. Yang ada hanyalah eksekusi. Penembakan yang dilakukan atas perintah atasan. Yosua ditembak mati di tempat, lalu TKP disulap seolah-olah ia pelaku, bukan korban.

Di internal kepolisian sendiri, suasana genting. Sambo, yang dikenal disegani bahkan oleh perwira tinggi lain, kini jadi beban institusi. Banyak yang mendadak cuci tangan. Rekan-rekan yang dulu memujanya dengan panggilan “abang” kini mulai menghindar. Di titik ini, publik kembali jadi wasit: setiap langkah polisi dipantau, setiap keterangan pers dikupas tuntas di jagat maya.

Tapi drama ini tidak berhenti di ruang penyelidikan. Ia tumbuh, mekar, dan menjalar ke ruang publik seperti rumor di warung kopi. Setiap tersangka disorot bukan hanya tindakannya, tapi juga latar belakangnya. Media menggali segala yang bisa digali: riwayat pendidikan, gaya hidup, bahkan ekspresi wajah di ruang sidang.

Putri Candrawathi, misalnya, menjadi magnet perhatian. Ada yang kasihan, ada yang mencibir. Dalam setiap kemunculannya di depan kamera, publik membaca bahasa tubuhnya seperti menebak rahasia negara. Sementara itu, Kuat Ma’ruf sang sopir tiba-tiba jadi tokoh misterius. Ia digambarkan setia, diam, tapi penuh rahasia. Di luar sidang, gosip beredar: jangan-jangan ada hubungan lebih dari sekadar majikan dan sopir. Ia disebut Om Kuat oleh beberapa outlet media. Gosip sensasional yang tak pernah terbukti, tapi cukup untuk membuat ruang komentar daring bergemuruh.

Baca Juga: Hikayat Kasus Penganiayaan Brutal IPDN Jatinangor, Tumbangnya Raga Praja di Tangan Senior Jahanam

Drama sidang pun tidak kalah megah. Setiap hari, media menyiarkan langsung dari ruang persidangan seperti sedang menayangkan serial hukum paling laku. Ferdy Sambo tampil dengan wajah tenang dan kalimat terukur, tapi publik sudah telanjur menilai. Ia dianggap aktor utama, dalang di balik skenario kelam.

Dalam ruang sidang itu, satu per satu fakta muncul. Dari pengakuan saksi, rekonstruksi, hingga bukti digital. Masing-masing menambah lapisan baru pada narasi yang sudah sesak. Publik seolah diajak menonton film kriminal dengan bab yang terus bertambah. Dan setiap bab punya cliffhanger-nya sendiri.

Otopsi kedua pada 27 Juli menjadi pukulan telak bagi Sambo. Tim forensik gabungan menemukan luka tembak jarak dekat tanpa tanda perlawanan. Tidak ada bekas kekerasan seksual. Artinya: pelecehan hanyalah cerita pengalih. Hasil itu membuat Polri tak punya pilihan selain mengakui bahwa baku tembak adalah fiksi.

Kasus kemudian dipindahkan ke Bareskrim agar lebih transparan. Bharada E akhirnya ditetapkan sebagai tersangka pada 3 Agustus, disusul Sambo pada 9 Agustus. Setelah Bharada E membuka mulut dan mengakui perintah atasan, cerita Magelang terungkap seluruhnya: tuduhan pelecehan direkayasa, peluru disiapkan sejak awal, dan pembunuhan direncanakan dengan matang. Dalam waktu sebulan, mitos Sambo sebagai polisi super runtuh. Ia berubah dari penegak etik menjadi simbol kebusukan sistem.

Pada 30 Agustus, Polri menggelar rekonstruksi akbar dengan 78 adegan di tiga lokasi: Magelang, Duren Tiga, dan Saguling. Adegan itu memperlihatkan bagaimana Sambo merencanakan pembunuhan, memberi perintah, menembak kepala korban, lalu mengatur sandiwara baku tembak. Rekonstruksi itu bukan sekadar formalitas, tapi semacam teater kebenaran: institusi yang pernah tunduk padanya kini memperagakan kejahatannya di depan publik.

Persidangan dimulai pada 17 Oktober 2022 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Lima terdakwa utama duduk berdampingan: Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bharada E, Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf. Di ruang sidang yang dingin itu, fakta-fakta diulang seperti kaset rusak: perintah tembak, tuduhan palsu, manipulasi barang bukti, dan skenario palsu. Satu demi satu saksi menceritakan ulang bagaimana loyalitas berubah menjadi alat pembunuhan.

Pada 13 Februari 2023, Sambo divonis mati. Publik bersorak, media menulis headline besar, dan kepolisian menghela napas lega—setidaknya untuk sementara. Putri mendapat 20 tahun penjara, Ricky 13 tahun, Kuat 15 tahun, dan Bharada E hanya 1,5 tahun karena dianggap jujur bekerja sama dengan penyidik. Tapi kisah ini belum selesai. Pada April 2023, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan vonis mati Sambo. Lalu Mahkamah Agung pada Agustus 2023 menurunkan hukumannya menjadi seumur hidup.

Baca Juga: Jejak Pembunuhan Sadis Sisca Yofie, Tragedi Brutal yang Gegerkan Bandung

Putri dikurangi hukumannya menjadi 10 tahun, Bharada E tetap 1,5 tahun, Ricky 8 tahun, dan Kuat 10 tahun. Sementara itu, enam perwira polisi dihukum karena menghalangi penyelidikan. Total 31 anggota Polri dijatuhi sanksi etik.

Hingga saat ini, Sambo menjalani hukuman di Lapas Cibinong. Ia tak mendapat remisi karena seumur hidup, sementara Putri, dengan alasan kemanusiaan, memperoleh potongan masa tahanan sembilan bulan. Bharada E telah bebas lebih dulu, mencoba hidup baru, meski namanya sudah melekat selamanya dalam sejarah kriminal Indonesia.

Tags:
KriminalFerdy Sambo

Hengky Sulaksono

Reporter

Hengky Sulaksono

Editor