Hikayat Kasus Pembunuhan Marsinah, Pahlawan Buruh yang Kini Diakui Istana

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Senin 10 Nov 2025, 18:36 WIB
Marsinah Pah;awan Buruh. (Sumber: Serikat Pekerja Seluruh Indonesia)

Marsinah Pah;awan Buruh. (Sumber: Serikat Pekerja Seluruh Indonesia)

AYOBANDUNG.ID - Pagi itu, 9 Mei 1993, udara di Desa Wilangan, Nganjuk, masih lembap oleh embun. Seorang petani yang hendak menengok sawah menemukan sesuatu yang tak biasa di gubuk kecil di tengah hamparan padi. Tubuh seorang perempuan muda tergeletak kaku, penuh luka. Di bajunya, masih menempel debu dan tanah.

Tak ada identitas, hanya wajahnya yang memucat, menyimpan cerita panjang tentang ketidakadilan yang menelan nyawanya. Perempuan itu adalah Marsinah, buruh pabrik jam tangan di Sidoarjo, yang kemudian menjadi simbol perjuangan kelas pekerja Indonesia.

Tiga puluh dua tahun berlalu sejak hari kelam itu. Baru pada 10 November 2025, negara akhirnya mengucapkan kalimat yang seharusnya diucapkan sejak lama: Marsinah adalah Pahlawan Nasional.

Bagi banyak orang, keputusan itu seperti surat maaf yang datang bertahun-tahun setelah pemakaman. Tapi untuk para buruh, aktivis, dan orang-orang yang mengenangnya setiap tanggal 1 Mei, ini adalah pengakuan yang layak, meski datang terlambat. Sebab bagi mereka, Marsinah bukan hanya nama, melainkan cermin keberanian perempuan yang melawan sistem yang bahkan laki-laki pun sering tak berani menentangnya.

Baca Juga: Hikayat Tragedi Bom Bali 2002, Teror Terbesar dalam Sejarah Indonesia

Sosok Marsinah lahir pada 10 April 1969 di Desa Nglundo, Nganjuk. Ia bukan anak pejabat, bukan pula keturunan bangsawan. Ayahnya, Mastin, dan ibunya, Sumini, hidup dari kerja keras dan kesederhanaan. Setelah orang tuanya berpisah, Marsinah diasuh oleh nenek dan bibinya. Dari merekalah ia belajar dua hal penting: bertahan hidup dan tidak takut berkata jujur.

Sejak kecil, Marsinah terbiasa berjualan makanan ringan untuk membantu keluarga. Ia menempuh pendidikan di SD Negeri Karangasem 189 dan SMP Negeri 5 Nganjuk. Pernah pula menuntut ilmu di pesantren Muhammadiyah, tapi karena keterbatasan biaya, sekolahnya terhenti. Seperti banyak perempuan muda di desa pada masa itu, satu-satunya jalan realistis adalah menjadi buruh pabrik.

Pada akhir 1980-an, ketika industrialisasi di Jawa Timur sedang menggeliat, Marsinah merantau. Ia sempat bekerja di pabrik sepatu Bata, lalu pindah ke PT Catur Putra Surya, pabrik jam tangan di Porong, Sidoarjo. Gajinya kecil, jam kerjanya panjang, tapi Marsinah bukan tipe pekerja yang hanya diam dan patuh. Ia aktif bertanya, membaca aturan, dan mulai membicarakan soal hak-hak buruh. Di masa Orde Baru, tindakan seperti itu dianggap nekat.

Di pabrik, Marsinah dikenal cerdas, berani, dan lugas. Ia sering menjadi juru bicara teman-temannya ketika terjadi masalah di tempat kerja. Ia tahu cara berbicara dengan atasan tanpa kehilangan wibawa, dan tahu kapan harus melawan. Dalam sistem yang menuntut kepatuhan mutlak, keberanian seperti itu dianggap dosa. Tapi Marsinah tak peduli. Ia percaya, jika buruh tidak bersuara, maka tak ada yang akan mendengar.

Pemogokan yang Berujung Kematian

Pada awal 1993, Pemerintah Jawa Timur mengeluarkan imbauan agar pengusaha menaikkan gaji 20 persen. Imbauan yang tentu saja, seperti banyak kebijakan di masa itu, tidak ada giginya. PT CPS menolak menaikkan upah. Buruh pun gelisah. Marsinah, yang sudah terbiasa membaca surat keputusan dan aturan ketenagakerjaan, tahu betul bahwa penolakan itu tidak sah. Maka, ia mengorganisir rekan-rekannya.

Ia yang sudah terbiasa membaca aturan ketenagakerjaan, tahu bahwa penolakan itu tidak sah. Ia pun mendorong rekan-rekannya untuk menuntut hak mereka. Tuntutannya sederhana: naikkan upah harian dari Rp1.700 menjadi Rp2.250. Bagi sebagian orang, jumlah itu tampak kecil, tapi bagi buruh, itulah bedanya antara bisa makan tiga kali sehari atau tidak.

Baca Juga: Hikayat Tragedi Lumpur Lapindo, Bencana Besar yang Tenggelamkan Belasan Desa di Sidoarjo

Tanggal 3 Mei 1993, para buruh melakukan aksi mogok kerja. Aksi berlangsung damai, hingga aparat militer dari Koramil setempat datang. Mereka menganggap mogok kerja sebagai ancaman terhadap stabilitas. Dalam waktu singkat, suasana berubah tegang. Belasan buruh ditangkap dan dibawa ke Kodim Sidoarjo. Di sana mereka dipaksa menandatangani surat pengunduran diri.

Kabar itu sampai ke telinga Marsinah. Ia mendengar kabar itu dan memutuskan pergi ke Kodim untuk menanyakan keberadaan teman-temannya. Itu tindakan yang sangat berani. Ia tahu betul bahwa tentara bukan pihak yang bisa diajak berdialog santai. Tapi Marsinah pergi juga. Setelah malam itu, ia tidak pernah kembali.

Empat hari kemudian, tubuhnya ditemukan di gubuk sawah di Nganjuk, sekitar 70 kilometer dari pabrik. Ia disiksa, diperkosa, tulang-tulangnya patah. Hasil otopsi menunjukkan luka parah di seluruh tubuh. Tak ada keraguan, Marsinah dibunuh dengan kejam.

Kabar kematiannya menyebar cepat. Di kalangan buruh, namanya menjadi simbol perlawanan. Di antara aparat, menjadi rahasia yang harus dikubur dalam-dalam.

Kasus Marsinah memicu kemarahan publik. Lembaga internasional seperti ILO mencatat pembunuhannya sebagai kasus nomor 1773. Tekanan masyarakat sipil makin besar. Pemerintah Orde Baru terpojok. Mereka perlu kambing hitam.

Sembilan orang ditangkap, semuanya pegawai dan satpam pabrik. Mereka dipaksa mengaku. Tahun 1994, mereka diadili dan dijatuhi hukuman. Tapi pengakuan mereka ternyata diperoleh dengan penyiksaan. Setahun kemudian, Mahkamah Agung membebaskan mereka semua. Tidak ada satu pun aparat militer yang disentuh hukum. Negara menutup buku. Kasusnya dianggap selesai. Tidak ada penyelidikan ulang. Tidak ada permintaan maaf. Marsinah, dalam catatan resmi, hanya disebut sebagai korban pembunuhan yang belum terungkap.

Kakak dan adik Marsinah saat menerima pengahrgaan pahlawan nasional untuk Marsinah. (Sumber: Biro Setpres)
Kakak dan adik Marsinah saat menerima pengahrgaan pahlawan nasional untuk Marsinah. (Sumber: Biro Setpres)

Baca Juga: Hikayat Pelarian Eddy Tansil, Koruptor Legendaris Paling Diburu di Indonesia

Di mata rakyat, ia adalah korban dari kekuasaan yang takut pada suara kecil seorang perempuan.

Reformasi datang membawa janji kebebasan, tapi kasus Marsinah tetap menggantung. Meski begitu, namanya tidak pernah padam. Setiap 1 Mei, para buruh di berbagai kota menyalakan lilin dan membawa poster wajahnya. Di dinding kampus, wajah Marsinah muncul dalam mural dengan tulisan sederhana: Dia tidak mati.

Tahun 2025, tiga dekade setelah pembunuhan itu, negara akhirnya mengakui sesuatu yang rakyat sudah tahu sejak lama. Presiden Prabowo menandatangani Keputusan Presiden Nomor 116/TK/2025 yang menetapkan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional.

Kepahlawanan yang Tak Tuntas

Dalam upacara di Istana Negara, keluarga Marsinah datang dari Nganjuk. Adiknya, Wijiati, dan kakaknya, Marsini, menerima penghargaan di bawah kibaran Merah Putih. Lagu Indonesia Raya berkumandang, dan sejenak semua orang menahan napas.

Tapi, ada sesuatu yang ganjil sekaligus mengharukan di momen itu. Sosok perempuan desa yang dulu diperlakukan sebagai ancaman, kini namanya disebut di istana dengan hormat. Tapi bayangan pertanyaan tak bisa dihapus begitu saja. Jika Marsinah adalah pahlawan, siapa yang membunuhnya?

Dalam upacara yang sama, nama Soeharto juga disebut. Negara mengingat jasanya dalam membangun jalan, bendungan, dan “stabilitas nasional”. Ironisnya, jalan itu dibangun di atas ketakutan, bendungan itu menahan derasnya suara rakyat, dan stabilitas itu dibayar dengan darah orang-orang seperti Marsinah.

Sejarah 2025 ini menyajikan pemandangan yang luar biasa ganjil: seorang korban dan seorang penguasa, kini sama-sama disebut pahlawan. Yang satu gugur karena melawan ketidakadilan, yang lain menegakkan ketertiban dengan ketakutan.

Baca Juga: Urban Legend Gedung BMC, Rumah Sakit Terbengkalai Gudang Cerita Horor di Bandung

Sebagian aktivis menyambut gelar itu dengan haru, sebagian lain dengan getir. Mereka menyebut negara menobatkan pahlawan tapi lupa mencari pembunuhnya. Namun mungkin memang begitu cara bangsa ini berdamai dengan masa lalunya, dengan memberi bunga di atas luka yang belum sembuh.

Walau demikian, pengakuan itu tetap penting. Ia membalik narasi lama bahwa perjuangan buruh adalah ancaman. Ia membuktikan bahwa perempuan miskin dari desa bisa menjadi simbol keberanian nasional.

Ia tidak punya pangkat, tidak punya senjata, tidak punya partai. Yang ia punya hanyalah keyakinan bahwa ketidakadilan harus dilawan. Dengan keyakinan itu, ia melangkah sendiri menghadapi sistem yang bahkan para pengacara pun enggan menentangnya.

Kini, setelah tiga dekade, namanya diabadikan di daftar resmi para pahlawan bangsa. Tapi bagi banyak orang, Marsinah sudah lama menjadi pahlawan, jauh sebelum negara sadar.

Dalam ingatan kolektif bangsa ini, Marsinah bukan hanya korban. Ia adalah peringatan bahwa keadilan bisa dibungkam tapi tidak bisa dihapus. Ia adalah saksi dari masa ketika suara buruh dianggap gangguan, dan keberanian perempuan dianggap ancaman.

Sejarah mencatatnya bukan sebagai angka atau kasus. Tapi sebagai jiwa yang memilih melawan ketika diam berarti tunduk.

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 12 Nov 2025, 10:24 WIB

Bandung Macet, Udara Sesak: Bahaya Asap Kendaraan yang Kian Mengancam

Bandung yang dulu dikenal sejuk kini semakin diselimuti kabut polusi.
Kemacetan bukan sekadar gangguan lalu lintas, tapi cerminan tata kelola kota yang belum sepenuhnya adaptif terhadap lonjakan urbanisasi dan perubahan perilaku mobilitas warganya. (Sumber: Ayobandung.id)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 09:47 WIB

Ketika Integritas Diuji

Refleksi moral atas pemeriksaan Wakil Wali Kota Bandung.
Wakil Wali Kota Bandung, Erwin. (Sumber: Pemprov Jabar)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 09:36 WIB

Perpaduan Kenyal dan Lembut dari Donat Moci Viral di Bandung

Setiap gigitan Mave Douchi terasa lembut, manisnya tidak giung, tapi tetap memanjakan lidah.
Donat mochi lembut khas Mave Douchi dengan tekstur kenyal yang jadi favorit pelanggan (Foto: Zahwa Rizkiana)
Ayo Jelajah 12 Nov 2025, 08:39 WIB

Sejarah Letusan Krakatau 1883, Kiamat Kecil yang Guncang Iklim Bumi

Sejarah letusan Krakatau 1883 yang menewaskan puluhan ribu jiwa, mengubah iklim global, dan menorehkan bab baru sejarah bumi.
Erupsi Gunung Krakatau 1883. (Sumber: Dea Picture Library)
Ayo Biz 11 Nov 2025, 21:04 WIB

Mama Inspiratif dan Perjuangan Kolektif Mengembalikan Sentuhan Nyata dalam Pengasuhan

Tak sedikit orang tua yang merasa gamang menghadapi kenyataan bahwa anak-anak kini tumbuh dalam dunia yang tak bisa lepas dari layar.
Ilustrasi. Tak sedikit orang tua yang merasa gamang menghadapi kenyataan bahwa anak-anak kini tumbuh dalam dunia yang tak bisa lepas dari layar. (Foto: Freepik)
Ayo Biz 11 Nov 2025, 18:39 WIB

Dari Studio Kecil hingga Panggung Nasional, Bandung Bangkit Lewat Nada yang Tak Pernah Padam

Bandung bukan hanya kota dengan udara sejuk dan arsitektur kolonial yang memesona tapi juga 'rahim' dari gelombang musik yang membentuk identitas Indonesia sejak era 1960-an.
Bandung bukan hanya kota dengan udara sejuk dan arsitektur kolonial yang memesona tapi juga 'rahim' dari gelombang musik yang membentuk identitas Indonesia sejak era 1960-an. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Jelajah 11 Nov 2025, 17:22 WIB

Hikayat Buahbatu, Gerbang Kunci Penghubung Bandung Selatan dan Utara

Pernah jadi simpul logistik kolonial dan medan tempur revolusi, Buahbatu kini menjelma gerbang vital Bandung Raya.
Suasana Buahbatu zaman baheula. (Sumber: Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat)
Ayo Biz 11 Nov 2025, 17:00 WIB

Proyeksi Ekonomi Jawa Barat 2025: Menakar Potensi dan Risiko Struktural

Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat tahun 2025 diproyeksikan tetap solid, meski dibayangi oleh dinamika global dan tantangan struktural domestik.
Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat tahun 2025 diproyeksikan tetap solid, meski dibayangi oleh dinamika global dan tantangan struktural domestik. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 11 Nov 2025, 15:20 WIB

Bakmi Tjo Kin Braga Jadi Ikon Kuliner yang Tak Lekang Waktu

Sejak 1920 Bakmi Tjo Kin telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kuliner Bandung, sebuah warung tua yang bernuansa klasik ini terletak di Jalan Braga No. 20
Tampak Depan Warung Bakmi Tjo Kin (Foto: Desy Windayani Budi Artik)
Ayo Netizen 11 Nov 2025, 14:38 WIB

Bandung, Antara Heritage dan Hype

Bangunan heritage makin estetik, tapi maknanya makin pudar. Budaya Sunda tersisih di tengah tren kafe dan glamping.
Salah satu gedung terbengkalai di pusat Kota Bandung. (Sumber: Pexels/Muhamad Firdaus)
Ayo Netizen 11 Nov 2025, 14:21 WIB

Mengintip Cara Pengobatan Hikmah Therapy yang 'Nyentrik' di Bandung

Praktik pijat organ dalam di Bandung yang memadukan sentuhan, doa, dan ramuan herbal sebagai jalan pemulihan tubuh dan hati.
Ibu Mumut berada di ruang depan tempat praktik Hikmah Therapy. (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Fira Amarin)
Ayo Netizen 11 Nov 2025, 14:00 WIB

Potret Inspiratif Cipadung Kidul dari Sales Keliling hingga Kepala Seksi Kelurahan

Budi Angga Mulya, Kepala Seksi Pemerintahan Cipadung Kidul, memaknai pekerjaannya sebagai bentuk pengabdian.
Kepala Seksi Pemerintah Kelurahan Cipadung Kidul, Budi Angga Mulya (Foto: Zahwa Rizkiana)
Ayo Netizen 11 Nov 2025, 13:05 WIB

Menapak Jejak Pandemi dalam Galeri Arsip Covid-19 Dispusipda Jawa Barat

Dispusipda Jawa Barat menghadirkan Galeri Arsip Covid-19 sebagai ruang refleksi dan edukasi bagi masyarakat.
Koleksi Manekin Alat Pelindung Diri (APD) dikenal dengan nama baju Hazmat yang mengenakan tenaga kesehatan dalam menangani Covid 19 (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Fereel Muhamad Irsyad A)
Ayo Netizen 11 Nov 2025, 11:25 WIB

ASN Frugal Living, Jalan Selamat ASN dari Jerat Cicilan dan Inflasi?

Dengan frugal living, ASN dapat menjaga integritas dan stabilitas keuanganny
Ilustrasi ASN. (Sumber: Pexels/Junior Developer)
Ayo Netizen 11 Nov 2025, 10:41 WIB

Goyobod Legendaris Harga Kaki Lima Kualitasnya Bintang Lima

Goyobod Nandi sudah berjualan sejak 1997 yang tetap bertahan hingga sekarang.
Ilustrasi es goyobod. (Sumber: Wikimedia Commons | Foto: Afrogindahood)
Ayo Netizen 11 Nov 2025, 09:47 WIB

Bandung Lautan Macet Saat Liburan Akhir Pekan

Bandung yang sering dielu-elukan karena memiliki beberapa spot yang bisa mendatangkan ketenangan.
Sejumlah kendaraan terjebak kemacetan di Jembatan Layang Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Kota Bandung, Jumat 19 September 2025. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 11 Nov 2025, 09:17 WIB

Air Mata Bahagia di Balik Toga, Kisah Keluarga yang Mengantar Mimpi ke Panggung Wisuda

Di balik gemuruh tepuk tangan dan toga yang melambai, tersimpan kisah haru sebuah keluarga sederhana.
Seorang wisudawan berpose bersama keluarganya di depan Fakultas, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Jajang Shofar Khoerudin)
Ayo Netizen 11 Nov 2025, 07:58 WIB

Berjuang itu Mudah, Bertahan itu Sulit: Kisah Sosok Santri yang Tangguh

Kisah inspiratif Defani Raspati yang Mendapatkan Juara 1 Lomba Membaca Kitab Kuning pada Hari Santri Nasional di Persiapan Waktu yang Singkat.
Pemberian Piala Juara 1 Membaca Kitab Kuning kepada Defani Raspati, salah satu Santri Yayasan Pondok Pesantren Sukamiskin. (Istimewa)
Ayo Biz 10 Nov 2025, 19:25 WIB

Jawa Barat Menuju 2029: Sinergi Ekonomi Biru, Industri 5.0, dan Pemerintahan Progresif untuk Pertumbuhan Inklusif

Arah pembangunan Jawa Barat kini difokuskan pada sinergi antara ekonomi biru dan industri 5.0 sebagai fondasi baru untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Arah pembangunan Jawa Barat kini difokuskan pada sinergi antara ekonomi biru dan industri 5.0 sebagai fondasi baru untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)