Seorang kawan menyapa dan bertanya saat bertemu di pinggir jalan Manis Cibiru Bandung, tepatnya di pudunan Masjid Al-Hidayah
"Tidak menulis kasus yang viral di Bekasi. Ajaran Umi Cinta, masuk surga bayar sejuta?"
"Hente acan!"
"Kenapa biasanya rajin nulis soal pemahaman keagamaan?"
"Masih milarian info sareng ngantosan kaputusan MUI"
"Iya, harus hati-hati. Cek dan ricek. Jangan asal tulis yang viral. Apalagi kalau ternyata hoaks"
"Muhun. Asal tong hohoak wae!"
Wanita berinisial PY alias Umi Cinta angkat bicara terkait pengajiannya yang dinarasikan menjanjikan masuk surga bayar Rp 1 juta di Cimuning, Mustikajaya, Kota Bekasi.
Umi Cinta membantahnya. "Seperti yang sudah saya sampaikan kepada Bapak Ketua MUI dan jajaran, itu tidak benar (soal Rp 1 juta). Semua berita yang simpang siur selama ini, membayar Rp 1 juta dijamin masuk surga, itu tidak benar," ujarnya.
Umi Cinta mengaku sudah bersumpah di atas Al-Qur'an dan menegaskan informasi terkait 'masuk surga bayar sejuta' hoax.
"Saya sudah bersumpah tadi di atas Al-Qur'an, itu tidak benar. Semua berita-berita yang sudah viral sampai ke YouTube, itu tidak benar. Yang benar tidak ada menyimpang, tidak ada pembayaran 1 juta dijamin masuk surga dari saya itu, tidak benar," imbuhnya.
Dalam penjelasannya uang yang diberikan jemaahnya itu dalam bentuk sedekah. Umi mengaku tidak mematok besaran uang untuk sedekah yang diberikan. "Kalau sedekah itu di kotak amal itu saya nggak tahu. Ada yang ngasih Rp 5.000, Rp 2.000 kok buktinya dibuka itu, ya segitu saya nggak tahu," imbuhnya.
Simpulan MUI

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bekasi telah melakukan pertemuan dengan wanita berinisial PY alias Umi Cinta terkait kontroversi pengajian yang diviralkan 'masuk surga bayar sejuta'. MUI Kota Bekasi menyatakan pengajian Umi Cinta tidak melenceng dari ajaran Islam.
"Bahwa pengajian tersebut tidak ada indikasi melenceng dari ajaran Islam. Saya ulangi, pengajian tersebut tidak ada indikasi melenceng dari ajaran Islam," kata Ketua MUI Kota Bekasi Saifuddin Siroj.
Kegiatan pengajian di rumah Umi Cinta dihentikan sementara untuk mengurus perizinan. Pengajian akan dipindahkan ke Masjid Al-Muhajirin, Cimuning.
"Untuk sementara, pengajian yang dilaksanakan di rumah Ibu Putri ini dihentikan untuk selanjutnya meminta izin warga untuk mengurus perizinan terhadap warga," tuturnya.
Pihak kepolisian bersama Pemkot Bekasi dan MUI Kota Bekasi akan terus melakukan pendampingan. (detikNews Kamis, 14 Agu 2025 17:25 WIB)
Kemunculan aliran dan kelompok agama baru merupakan salah satu peristiwa yang menonjol dalam dinamika sosial, politik dan agama di Jaw Barat pada beberapa tahun terakhir di era reformasi. Jumlahnya di Bumi Pasundan ini cukup signifikan.
Dalam data yang disampaikan Nahdhatul Ulama (NU), pada rentang 2001-2007 terdapat sekitar 250 aliran keagamaan yang muncul di Indonesia dengan 50 kelompok aliran keagamaan diantaranya muncul dan berkembang di Jawa Barat.
Jumlah lebih banyak dikemukakan Kepala Kantor Wilayah Kementrian Agama (Kemenag) Jawa Barat, Saeroji yang menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 200 aliran keagamaan yang berkembang di Tanah Parahiyangan.
Kemunculan aliran dan kelompok agama baru tidak hanya terjadi pada umat Islam tetapi juga pada Jamaat agama Kristen di Jawa Barat. (Julian Millie dan Dede Syarif [Editor], 2015:30)
Pemicu Tumbuh Suburnya Aliran
Memang kehadiran aliran, sekte, keagamaan baru ini dianggap cukup meresahkan masyarakat, lembaga agama (ulama, pemuka agama), bahkan terkadang merepotkan negara.
Ini yang diyakini oleh Abdul Djamil, lahirnya kelompok-kelompok “keagamaan baru” ini akibat persoalan panjang dari berkurangnya dimensi profetis agama untuk mengangkat harkat dan martabat manusia, membebaskan manusia dari ketertindasan secara sosial, ekonomi, politis, dan kultural.
Apalagi masyarakat tengah mengalami himpitan di sana-sini, sementara solusi alternatif dari insitusi agama yang ada kurang memuaskan.
Dari sinilah, menjadi penting untuk memahami lebih jauh tentang akar-akar sosial, ekonomi, dan kultural atas keberadaan kelompok-kelompok agama baru yang sangat marak dewasa ini.
Upaya ini menjadi prasyarat untuk melakukan langkah-langkah yang lebih mendasar dalam memahami golongan ini. Usaha ini sangat diperlukan dalam kerangka membangun dialog antarkomunitas agama, maupun mencarikan jalan keluar dengan pemberdayaan dan tranformasi kehidupan keagamaan di tanah air menuju kehidupan agama yang lebih mencerahkan. (M. Mukhsin Jamil, 2008:viii)
Kehadiran agama-agama yang mapan (established religions, organized religions) mampu atau tidak menawarkan kepada komunitas kampung-dunia (global village), khususnya pasar-raya keagamaan (religious market place) suatu konstruk tenda-pengayom suci (sacred canopy) yang sanggup memberikan keamanan (security) bagi kehidupan manusia dan memberitahukan makna dan maksud mewujudnya di dunia ini serta memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya di dunia ini.
Konsep metafora tentang tenda-pengayom suci ini biasanya dinilai ampuh ketika masyarakat yang diayomi itu masih homogen, terbatas jumlahnya, dan terletak jauh dari interaksi dengan masyarakat luar.
Saat masyarakat itu semakin besar jumlah anggotanya, heterogen, dan mulai berinteraksi dengan masyarakat dan budaya lain, maka metafora sacred canopy itu menghadapi sejumlah tantangan. Masyarakat yang heterogen tidak lagi mudah puas mendapatkan jawaban dari satu sumber, sehingga mendorong lahirnya upaya pencarian jawaban alternatif.
Salah satu bentuknya dengan memunculkan gerakan keagamaan sempalan ini. Interaksi dengan masyarakat dan budaya luar yang semakin intensif lantaran kemajuan teknologi transportasi, informasi menyebabkan konsep-konsep, ide-ide dari suatu tradisi keagamaan dengan mudahnya diperbandingkan, dinilai, dimodifikasi, dipertukarkan, bahkan dibuang oleh pemilik asalnya.
Bagi M. Atho Mudzhar, menjelaskan kemunculan gerakan keagamaan tidak selalu hanya karena faktor-faktor keagamaan di dalam, melainkan dapat juga bergabung dengan faktor lain yang sifatnya ingin mengubah sistem lingkungan yang ada di sekitarnya.
Biasanya suatu organized religion mempunyai empat kepentingan yang dituntut harus ada dalam lingkungan di sekitarnya. Kalau tidak maka agama itu akan melakukan gerakan yang bersifat keluar (exogenous religious movements)
Keempat kepentingan itu diantaranya: pertama, lingkungan sekitar harus memberikan jaminan akan keberlangsungan hidup agama. Jika tidak maka agama itu akan memunculkan reaksi; kedua, kepentingan-kepentingan ekonomi agama itu harus terlayani.
Jika tidak maka agama itu akan bereaksi; ketiga, lingkungan itu harus memberikan ruang yang cukup untuk agama itu berperan. Jika tidak maka agama itu akan bereaksi; dan keempat, lingkungan sekitar itu harus berideologi sesuai dengan agama. Jika tidak maka agama itu akan bereaksi.
Ketika suatu gerakan keagamaan yang bersifat exogenous itu muncul, biasanya agama itu keluar dengan menggandeng gerakan-gerakan sosial pada umumnya sambil memberikan legitimasi keagamaan atas gerakan-gerakan itu.
Jenis gerakan lain dalam rangka merespon tantangan modernisasi terhadap agama ialah sekularisasi kegiatan publik dan privatisasi agama.Untuk mengurus soal-soal publik, masyarakat pemeluk suatu agama tidak ingin lagi bertanya kepada konsep yang ditawarkan oleh sacred canopy, tetapi langsung disusunnya sendiri, bahkan dengan kewaspadaan penuh agar tawaran jawaban dari sacred canopy jangan sampai ada yang masuk ke dalamnya.
Jalan ini biasanya ditempuh oleh masyarakat suatu negara-bangsa yang para warganya heterogen dari segi agama agar mereka dapat hidup bersama dalam tata aturan yang sama.
Sebagai konsekuensinya, masalah kehidupan keagamaan (ritual, hukum agama tentang makanan, dll.) harus disimpan dalam kehidupan pribadi, tidak boleh dibicarakan sebagai masalah (di depan) publik, sehingga pendidikan agama pun tidak boleh diajarkan di sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah. Hal yang bersifat agama itu baru boleh dibuka ketika mereka berkumpul dengan sesama mereka. (Nuhrison M. Nuh ed., 2011: XI-XVI)
Martin van Bruinessen tentang aliran (gerakan sempalan) menguraikan, “gerakan sempalan berarti bertolak dari suatu pengertian tentang ortodoksi, mainstream (aliran induk); karena gerakan sempalan adalah gerakan yang menyimpang atau memisahkan diri dari ortodoksi yang berlaku. Tanpa tolok ukur ortodoksi, istilah sempalan tidak ada artinya. Untuk menentukan mana yang sempalan, kita pertama-tama harus mendefinisikan mainstream yang ortodoks. Dalam kasus umat Islam Indonesia masa kini, ortodoksi barangkali boleh dianggap diwakili oleh badan-badan ulama yang berwibawa seperti terutama MUI, Majelis Tarjih Muhammadiyah, Syuriah NU, dan sebagainya.”
Bruinessen menegaskan: “Dalam pendekatan sosiologis, ortodoksi dan sempalan bukan konsep yang mutlak dan abadi, namun relatif dan dinamis. Ortodoksi, mainstream adalah faham yang dianut mayoritas umat —lebih tepat, mayoritas ulama; golongan ulama yang dominan. Sebagaimana diketahui, sepanjang sejarah Islam telah terjadi berbagai pergeseran dalam faham dominan--pergeseran yang tidak lepas dari situasi politik. Dalam banyak hal, ortodoksi adalah faham yang didukung oleh penguasa, sedangkan faham yang tidak disetujui dicap sesat; gerakan sempalan seringkali merupakan penolakan faham dominan dan sekaligus merupakan protes sosial, politik.” (Harmoni, Jurnal Multikultural & Multireligius Volume VIII, Nomor 31, April - Juni 2009:5-6)

Mencari Keseimbangan Baru dalam Sistem Sosial yang Ada
Dalam catatan sejarah Indonesia terdapat aliran-aliran “sempalan” dari Islam: Al-Qiyadah Al-Islamiyah, aliran Kitab Suci, Ajaran Mahdi, Amanat Keagungan Ilahi, Hidup Di Balik Hidup, Al-Haq, Pengajian Nurul Yaqin, Islam Baru, Islam Sejati, Ahmadiyah; Kristen: Children of God, Sidang Jemaat Kristus, Aliran Kepribadian, Aliran Kepercayaan Manunggal, Siswa Alkitab Saksi Yehova, Gereja Setan, sekte Hari Kiamat; Buddha: Nichiren Sosu Indonesia, Buddha Mahayana; Hindu: Hare Krishna, Aliran Sadar Mapan.
Secara sosial agama memiliki lima fungsi (the social functions of religion), yaitu: pertama, fungsi sebagai perekat social bagi para pemeluknya karena mempercayai yang sama dan beribadah dengan cara yang sama secara berulang-ulang; kedua, fungsi memberikan arti (nilai) bagi hidup manusia dengan memperkenalkan konsep pahala dan adanya kehidupan setelah kehidupan di dunia ini; ketiga, sebagai pemberi dukungan psikologis dalam siklus kehidupan manusia baik suka maupun duka; keempat, fungsi sebagai kontrol sosial melalui ajaran nilai dan hukum agama; dan kelima, fungsi mendorong perubahan sosial melalui bimbingan etika dan hukum agama yang terus mengajak pemeluk agama untuk memperhatikan nasib sesama.
Dengan demikian, jenis gerakan ini akan menggantikan (membuang) agama itu sama sekali, termasuk gerakan melarang agama dipeluk oleh suatu masyarakat di suatu negeri. Gerakan ini biasanya dapat terjadi hanya dengan tekanan politik dan kekuasaan, karena agama nampaknya tidak dapat dihilangkan dari kehidupan manusia di dunia ini.
Meskipun, gerakan-gerakan keagamaan itu dilakukan untuk mencari keseimbangan baru dalam sistem sosial yang ada. Seperti halnya pemberlakuan hukum dan sanksinya dalam masyarakat dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan baru dalam masyarakat, maka terjadinya gerakan sempalan dan respon terhadap gerakan itu juga bertujuan untuk mencari keseimbangan baru dalam suatu masyarakat.
Bila keseimbangan masyarakat itu disebut dengan social equilibrium, yaitu suatu posisi keseimbangan di mana berbagai kekuatan, kecenderungan yang saling bertentangan kemudian dapat saling menetralisir satu sama lain. Maka ketika keseimbangan itu tidak terganggu, keadaan itu disebut static equilibrium, dan ketika keseimbangan itu terganggu dan gangguan itu kemudian diakomodasi sebagai varian di dalamnya, maka keadaan kedua itu disebut dengan moving equilibrium dan itulah yang disebut perubahan sosial yang tertib (an orderly process of social change). (Nuhrison M. Nuh ed., 2011:XVI-XVIII)
Tentunya, keberadaan aliran-aliran ini mengundang perhatian seluruh elemen masyarakat sekaligus dipersepsikan sebagai ancaman bagi mereka yang dikategorikan sebagai mayoritas besar.
Kiranya, dalam menyikapi maraknya “aliran ganjil” (termasuk Umi Cinta) ini diperlukan keterlibatan seluruh komponen bangsa yang harus mendapatkan dukungan dari semua elemen masyarakat mulai dari tokoh pemuka agama, tokoh masyarakat, sampai kepada pemerintah (polisi, pejabat, politisi) yang tidak harus ikut dalam posisi menyatakan sesat atau tidak sesat. Apalagi ikut andil dalam melakukan tindakan kekerasan, pengrusakan tempat ibadah dan pembunuhan.
Terwujudnya masyarakat Jabar yang adil, damai, menghargai perbedaan menjadi cita-cita bersama dalam membangun bangsa dan negara yang beradab ini. Semoga. (*)