Sebuah video berdurasi 9 menit 9 detik yang sudah diposting oleh Instagram @rumah_teduh_sahabat_iin, membuat hati saya tercabik-cabik, meringis kesakitan, penuh perasaan sesak yang menghimpit dada.
Betapa mirisnya negeri ini, negeri yang baru saja merayakan kemerdekaan yang ke-80 ini. Penuh euforia dengan jajaran para pemangku negara yang berjoget ria saat selesai melaksanakan upacara. Penuh girang hingga menari-nari saat mereka (para anggota dewan) selesai menghadiri sidang tahunan MPR.
Mendengar pidato Prabowo yang katanya sudah membawa nakhoda pembangunan selama 10 bulan dengan on the track, baik perihal swasembada, baik perihal penegakan hukum, baik perihal "kesejahteraan rakyat", baik perihal makanan bergizi dan lain sebagainya. Katanya ini adalah bentuk kegembiraan kawan-kawan.
Kesejahteraan mana yang dimaksud? Video di atas justru menjadi cuplikan nyata bagaimana kondisi masyarakat yang terabaikan negeri ini. Bagaimana sistem birokrasi mempersulit masyarakat untuk mendapatkan fasilitas pelayanan baik kesehatan atau data kependudukan. Bagaimana sistem yang nir empati di negeri ini mengombang-ambing kehidupan yang sedang berada di ambang batas.
Raya seorang balita yang baru berusia 4 tahun yang berasal dari Kampung Padangenyang Desa Sianaga di pelosok Sukabumi Jawa Barat. Seorang balita yang kurang beruntung karena hidup pada garis kemiskinan. Diurus oleh seorang ibu yang ternyata memiliki kesehatan mental (ODGJ, nenek buyut yang sudah tua renta juga ketidakberdayaan sang Ayah yang sedang mengidap TBC. Raya adalah salah satu bentuk nyata buramnya potret kesehatan di Indonesia.
Kilas Balik Raya Memperjuangkan Hidupnya
Minggu, 13 Juli 2025, Rumah Teduh Teh Iin mendapat laporan dari call center ambulan tentang kondisi raya dan saat dijemput kondisinya sudah tidak sadarkan diri. Di tengah akses jalan yang sulit karena infrastruktur yang rusak, Rumah Teduh membawa raya ke IGD RSUD dan pihak rumah sakit segera memasukan raya ke ruangan PICU. Bentuk penanganan dengan respon yang baik untuk ukuran RSUD.
Rumah Teduh baru menyadari bahwa raya ternyata tidak memiliki kartu identitas yang secara otomatis tidak memiliki kartu BPJS baik bantuan pemerintah apalagi mandiri. Rumah Teduh menjaminkan raya ke bagian administrasi dan pihak rumah sakit memberikan waktu 3x 24 jam untuk mengurus kartu identitas dan kartu BPJS dengan catatan jika melampaui waktu yang telah disepakati, maka administrasi raya akan dihitung sebagai pasien dengan pembayaran tunai.
Dalam waktu yang singkat relawan Rumah Teduh berusaha mencari bantuan dana untuk raya. Mirisnya relawan tersebut di ombang-ambing oleh para aparat setempat, mulai dari Dinsos Kota ke Dinsos Kabupaten, Sampai Dinsos Kabupaten ke Kabid Limjansos, dari Kabid Limjansos ke Dinas Kesehatan Sukabumi dan kemudian mendapatkan pernyataan sebagai berikut:
Namun bagaimana Rumah Teduh bisa mengikuti saran dari Dinkes Kabupaten yang meminta raya dipindahkan ke rumah sakit yang lebih kecil di Jampang. Di mana kondisi raya sudah kritis dan bahkan RSUD Kota Sukabumi sebagai rumah sakit yang lebih besar kewalahan menangani kasus raya.
Rabu, 16 Juli 2025 batas yang diberikan oleh RSUD sudah habis namun bantuan dari pemerintah tak kunjung datang. Tidak ada satu pun pihak dari dinas yang tersentuh melihat kondisi yang dialami oleh raya.
Padahal Rumah Teduh sudah menunjukan ke berbagai aparat setempat terkait CT-Scan dan rontgen raya yang menunjukkan ratusan cacing sudah bersemayam dalam kepalanya. Rumah Teduh menunjukkan bagaimana cacing gelang sepanjang 15 cm ditarik secara langsung dari hidungnya.
Bagaimana cacing yang masih hidup keluar juga dari mulut raya. Rumah Teduh menunjukkan bagaimana ratusan cacing keluar dari kemaluan dan anus raya. Rumah Teduh menunjukkan kondisi raya sudah kritis dan bahkan 1 kg cacing yang dikeluarkan dari tubuhnya tidak juga kunjung habis.

Pada akhirnya tagihan harus dibayar secara tunai dan Rumah Teduh menanggung biaya perawatan raya selama 3 hari sebesar Rp.11.669.950. Sebetulnya ini juga tidak mudah, terlebih Rumah Teduh juga memiliki operasional yang besar untuk membayar kontrakan yang disewa oleh 21 Rumah Teduh yang tersebar di berbagai kota.
Namun karena tidak ada satupun dari pihak pemerintah yang bersedia bertanggung jawab, Rumah Teduh turut mengambil tanggung jawab tersebut.
Bahkan setelah raya meninggal tagihan yang mesti dibayar berkisar 23 juta. Meski demikian pihak Rumah Teduh tidak pernah menyesalinya karena sudah berusaha sampai batas maksimal kehidupan raya.
Pada akhirnya raya menyerah kepada Panggilan-Nya, berpulang pada Kamis sore, 22 Juli 2025 setelah 9 hari mendapatkan perawatan secara intensif. Raya seorang balita yang bahkan belum tahu apa makna sebuah kehidupan. Tapi kehidupannya sendiri sudah dirampas kejam oleh garis kemiskinan. Bahkan ketika masih memiliki kesempatan untuk hidup, orang sekitar, kerabatnya dan aparat setempat justru mengabaikan raya, seolah satu nyawa bernama raya ini tidak berarti keberadaannya.
Bukti Nyata Hak Kesehatan Belum Merata
Kesehatan masyarakat menjadi penyirat bagaimana bobroknya kondisi ekonomi sebuah negara. Kesehatan tidak hanya mahal karena harga obat yang melambung tinggi, perawatan yang bisa menyentuh belasan hingga ratusan juta tapi juga karena sistem birokrasi yang kerap kali mempersulit administrasi serta penanganan berkelanjutan.
Kondisi ekonomi keluarga raya yang kurang dari kata cukup, membuat raya sempat di bawa ke gunung untuk mencari kayu bakar, saat usianya masih 2 bulan. Kondisi rumah raya tampak seperti rumah panggung yang terbuat dari GRC. Jauh dari kata layak karena fasilitas MCK yang ala kadarnya. Bahkan raya bayi hidup berdampingan dengan tanah, peliharaan ayam juga kotoran lainnya yang secara tidak langsung berpotensi masuk ke dalam tubuhnya.
Kondisi ayah raya yang mengidap TBC seharusnya mendapatkan pengobatan secara intensif selama 6-9 bulan tergantung dengan tingkat keparahan penyakit. Saya pernah memiliki teman seorang Apoteker yang bertugas di Puskemas di Kab. Bandung.
Teman saya sempat bercerita bagaimana para tenaga kesehatan yang berada di Puskesmas tersebut bekerja sama untuk memantau, memberikan edukasi, membujuk hingga melakukan tahap pendampingan bagi warga sekitar yang terjangkit penyakit TBC.
Saya berpikir awalnya penyakit TBC itu penanganannya ringan, asal meminum obat secara rutin dan memulai gaya hidup sehat, semuanya akan selesai dan kembali lagi normal. Namun ternyata pemikiran saya keliru, justru TBC merupakan penyakit yang tidak mudah disembuhkan. Bukan karena obatnya tidak manjur tapi efek yang ditimbulkan pasien setelah mengkonsumsi yang justru menjadi permasalahan baru.
Bayangkan ketika seseorang harus mengkonsumsi 4 macam obat dalam sehari dengan aroma yang kurang sedap juga bisa merubah warna air liur dan air seni menjadi merah. Obat yang secara rutin harus dikonsumsi setiap hari tanpa ada waktu yang terlupa. Jika lupa atau terlewat maka pasien harus mengulangi pengobatan dari awal. Kasus ini memperlihatkan bahwa pasien yang sedang sakit, mau tidak mau mesti disiplin.
Permasalahan baru dari efek samping konsumsi obat TBC adalah rentan mengalami kesehatan mental seperti, rasa cemas, depresi, perasaan putus asa, ketidakberdayaan mental akibat diagnosa penyakit kronis serta stigma sosial buruk yang disematkan masyarakat terhadap pasien pengidap TBC.
Bahkan Apoteker yang saya kenal menceritakan ada beberapa kasus pasien TBC yang meninggal dengan cara mengakhiri hidupnya karena tidak mendapat dukungan moral dari keluarga, lingkungan sekitar serta dampingan dari pihak tenaga kesehatan yang memantau perkembangan keteraturan konsumsi obat.

Sebetulnya rumah berbahan dasar GRC tidak secara langsung bisa menyebabkan penyakit TBC, karena penyebab terbesarnya adalah Mycrobacterium Tuberculosis. Namun kondisi lingkungan rumah yang buruk seperti teralu lembab, gelap dan kurangnya sirkulasi udara dapat membuat bakteri tersebut bertahan hidup lebih lama dan meningkatkan resiko penularan.
Saya tidak tahu persis kenapa ayah raya tidak mendapatkan pengobatan atau perhatian dari fasilitas kesehatan setempat. Sementara di sisi lain, bidan setempat mengaku sering memberikan obat cacing secara rutin kepada raya dan anak kecil setempat selama 2x dalam setahun. Bahkan Bidan setempat mengaku selalu memprioritaskan bantuan susu dan makanan yang diberikan pemerintah untuk raya.
Hanya saja tidak ada informasi khusus yang menjelaskan, apakah obat cacing tersebut dipastikan dikonsumsi raya atau tidak. Mengingat kondisi ibunya yang memiliki keterbatasan bersikap rasional karena kesehatan mental yang dideritanya. Juga menjadi pertanyaan kembali, ketika beberapa kali petugas kesehatan datang ke rumah raya tapi justru kondisi ayahnya luput dari pemantauan petugas kesehatan setempat.
Bahkan menurut Yanyan Rusyandi selaku PLT Dirut RSUD R Syamsudin penyebab penyakit pada raya bisa disebabkan oleh adanya meningitis TB (Kondisi radang pada selaput otak) yang disebabkan oleh adanya TBC selain karena penyebab utamanya dari infeksi cacing gelang.
KDM Menyoroti Kinerja Aparat dan Dinas Setempat
Setelah viralnya video yang diunggah oleh Rumah Teduh pada tanggal 14 Agustus 2025, ternyata berita ini sampai ke telinga KDM. Dalam sebuah video yang ditayangkan beberapa media KDM terlihat menyampaikan bela sungkawa sambil sesekali menangis sesak menceritakan ketanggapan dinas setempat dalam menanggulangi kasus raya.
Dalam video yang berdurasi kurang lebih 2 menit KDM memberikan sanksi dengan memberhentikan bantuan desa karena disinyalir aparat setempat tidak bisa mengurus rakyatnya. Bahkan kepala desa setempat yang juga mengaku sebagai bagian dari keluarga ayah raya, justru mengaku tidak mengetahui jika raya menjangkit penyakit tersebut. Menjadi fenomena miris untuk raya, bahkan orang-orang sekitarnya abai terhadap penderitaan raya.
Saat diwawancarai oleh Kompas Tv Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat (dr. Vini Adian) mengaku pemerintah provinsi Jawa Barat sudah banyak memfasilitasi dinas kota/ kabupaten. Bahkan pihak terkait sudah menyimpan dan menyiapkan dana SKTM yang tidak tercover oleh BPJS untuk masyarakat miskin.
Pihaknya mengaku dinas mengeluarkan dana sebesar 1.2 Triliun tiap tahun untuk membantu pemenuhan BPJS kota dan kabupaten serta pembayaran diluar BPJS.
Namun Teh Iin selaku aktivis kemanusian sekaligus founder Rumah Teduh menanggapi pernyataan ketua dinkes yang disinyalir pernyataan tersebut tidak sesuai dengan realitas yang terjadi di lapangan.
Kondisi di atas menyiratkan bahwa birokrasi seringkali menghambat pelayanan kesehatan di negeri ini. Hal ini diperparah dengan komunikasi yang buruk antara dinas terkait.
Beberapa tahun ke belakang saya juga sempat memiliki pengalaman dengan dinas kesehatan terkait di kota Bandung saat memperpanjang STRTTK (Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian) dan SIP (Surat Izin Kerja). Saat itu surat tersebut membutuhkan tanda tangan pejabat dinas terkait.
Saya sempat bolak-balik karena dijanjikan selesai pada beberapa waktu tapi setiap kali saya datang, petugas setempat selalu membuat jadwal ulang pengambilan surat tersebut. Alasannya surat bersangkutan belum ditandatangan karena petugas terkait sedang dinas di luar kantor.
Belum lagi kasus perihal perizinan fasilitas kesehatan berupa apotek juga seringkali mengalami hal yang demikian. Pengaju seringkali bolak-balik untuk menambahkan persyaratan yang tak kunjung berakhir.
Sekelas fasilitas berupa apotek yang dananya saja dikeluarkan oleh pihak pribadi masih juga dipersulit. Padahal apotek sendiri di masa depan akan menjadi penyumbang pajak bagi negara. Untuk hal yang bersifat tidak merugikan pemerintah pun, birokrasi tetap mempersulit. Apalagi jika masalah terkait membutuhkan dana bantuan langsung dari pemerintah, tak heran jika kasus raya luput dari perhatian.
Sebagaimana yang KDM sampaikan bahwa adanya kegagalan pelayanan dasar kesehatan dalam kasus ini. Kritik sebelumnya yang pernah saya tulis perihal kehadiran apotek desa yang menjadi program koperasi merah putih justru menjadi relevan ketika keberadaannya bukan menjadi solusi efektif yang ada untuk masyarakat.
Seharusnya pemerintah memaksimalkan peran puskesmas dan posyandu yang ada untuk memantau secara langsung kondisi masyarakat tiap desa atau kota. Bukan mendirikan atau memperbanyak fasilitas baru yang fungsinya justru tidak relevan dengan masalah yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Menilik kasus raya, ini sudah menjadi sebuah fakta bahwa peran puskesmas dan posyandu setempat belum berjalan sebagaimana mestinya.
Seharusnya dana yang bisa digelontorkan pemerintah melalui apotek desa bisa disalurkan untuk fasilitas rakyat setempat dalam meningkatkan taraf hidup kesehatan yang lebih sejahtera. Melalui dana yang bisa dimaksimalkan dan diolah secara tepat oleh puskesmas dan posyandu setempat demi kebermanfaatan masyarakat. (*)