September 2024, hampir genap setahun, ketika saya dan teman-teman ingin merayakan kelulusan kuliah dengan cara yang berbeda. Kami berdiskusi saling menunjukkan berbagai macam destinasi.
Mulai dari Yogyakarta dengan julukan kota penuh kenangan. Malang dengan kota penuh apel. Tapi akhirnya kami memutuskan Gunung Gede Pangrango sebagai pilihan petualangan saat itu.
Saya berangkat dari Bandung menggunakan Bus MGI jurusan Bandung-Sukabumi. Dengan tarif Rp.42.000 saya turun di terminal Rawabango. Menyusul kedua teman saya yang berdomisili di Cianjur ke arah Alun-Alun Kota Cianjur.
Jalan menuju basecamp saat itu ditempuh dengan menggunakan motor. Jalan yang cukup terjal dan berkelok menjadi tantangan bagi kami semua. Terlebih ransel 45 liter yang kami bawa cukup mengguncang kestabilan saat tanjakan datang menerja.
Meski dag-dig-dug-ser kami hadapi dengan penuh tawa. Entah apa yang sebetulnya kami tertawakan yang jelas saat itu rasanya sangat menyenangkan.
Kami sampai basecamp pukul 08:30, sambil menata ulang barang bawaan, kami memesan satu piring nasi goreng untuk sarapan. Sinyal mulai nyala-redup, pertanda jangkauan jaringan semakin lemah. Saya berkenalan dengan beberapa teman dari Cianjur yang merupakan teman dari kedua teman saya. Kami berencana mendaki dengan jumlah sekitar delapan orang.
Setelah berdoa sekitar pukul 10:00 kami berjalan berbaris menuju lokasi pos 1 informasi. Sebelum pos 1 informasi kami diantar oleh Akamsi (Anak Kampung Sini), seorang anak laki-laki berkisar usia 12 tahun, menemani kami menyusuri kebun sayur warga dan beberapa petak sawah. Perjalanan ini tentu belum ada tantangannya karena jalur trek yang masih banyak bonusnya alias landai.
Sesampainya di Pos 1 kami beristirahat sejenak, meski trek banyak bonus tapi kalau tidak mempersiapkan diri dengan baik sebelumnya, tubuh juga akan kewalahan. Saya jadi teringat pengalaman pertama kali mendaki Gunung Merbabu, Selo Jawa Tengah.
Dengan penuh rasa percaya diri tidak mempersiapkan olahraga rutin sebelum mendaki. Belum juga sampai pos 1, dada rasanya sesak, sempat merengek ingin pulang tapi beruntung dapat dukungan dari kawan yang lain, meski saat itu kami baru pertama kali bertemu setelah mengikuti komunitas pendaki gunung via daring.
Jalur gunung gede via putri ini termasuk yang ramah untuk pemula, meski ada beberapa spot terjal penuh batu sebelum sampai pos 5 di Alun-Alun Suryakencana. Rata-rata waktu tempuh standar adalah 2-3 jam, jauh berbanding terbalik dengan trek via Cibodas yang bisa ditempuh selama 10 jam.
Jalur ini juga memiliki keunikan karena setiap posnya pasti terdapat wargun (warung gunung). Makanan yang tersaji cukup bervariasi mulai dari makanan berat, mie seduh, kopi, semangka, air mineral dan gorengan yang di masak secara dadakan.
Tapi soal harga jangan tanya, air mineral aqua yang termahal di jual Rp.5000 saja bisa naik drastis menjadi Rp.20.000. Tapi kami juga paham kenapa para penjual mematok harga demikian. Bayangkan para porter yang juga warga asli membawa dus-dus air tersebut secara tradisional dengan ditanggung. Melewati jalur yang tentunya tidak mudah, effort tersebut yang pantas mendapat apresiasi dengan harga yang sepadan.
Rombongan kami seringkali berhenti, mengakibatkan jarak yang bisa ditempuh selama 2-3 jam, menjadi 8 jam. Bagi saya inilah serunya mendaki, kami diajarkan untuk menurunkan ego masing-masing. Meski diantara kami ada yang sudah excellent tapi kebersamaan tetap menjadi prioritas.
Walau pada kenyataannya rasa kesal tentu akan terlihat dari beberapa wajah yang tidak sabar melihat pendaki pemula yang berjalan lambat bak kura-kura.
Sesampainya di pos 2 Legok Leunca kami berhenti sejenak sambil membeli beberapa potong semangka. Rasanya yang segar dan penuh dengan air cukup menambah amunisi bagi tubuh. Setelah kaki terasa ringan kami kembali melanjutkan perjalanan.
Menuju pos 3 Buntut Lutung, trek yang dilalui mirip dengan pos 2, tanah merah dengan dominasi akar pohon besar di setiap jalan. Di pos ini kami kembali beristirahat karena ada salah satu teman yang sol sepatunya terlepas.
Beruntung ternyata di warung gunung tersedia super glue dan teman kami langsung merekatkannya ke dalam sol sepatu. Sambil menunggu lem kering dan merekat dengan sempurna, kami memutuskan untuk membuka bekal makanan yang kami bawa dari rumah.
Menuju pos 4 Simpang Maleber, melihat trek dari bawah membuat lutut sedikit bergetar. Menurut kami ini adalah jalur terberat Gunung Gede sepanjang pendakian yang kami lalui via Putri. Medan yang dilalui berupa akar pepohonan dan jajaran batu besar yang minim pijakan aman.
Meski kami bisa menginjak akar pohon tapi beberapa diantaranya terasa licin. Tantangan terbesar kami harus lebih berhati-hati dan tetap memperhatikan teman rombongan yang lainnya. Bahkan tak jarang kami juga harus melewati ranting atau pohon yang tumbang. Trek ini memang benar-benar tidak ada bonus (landai).
Vegetasi pohon makin rindang, oksigen makin melimpah tapi suhu udara memang jauh lebih dingin dari sebelumnya. Bahkan di trek ini kami menemukan rombongan pendaki yang salah satu anggotanya terkena gejala hipotermia.
Tubuhnya menggigil kedinginan, bicaranya sudah melantur, wajahnya sedikit pucat, bahkan panasnya panci yang digunakan untuk merebus mie dan minuman untuknya tak juga berhasil menghangatkan tubuhnya. Perempuan itu tetap menggigil sambil diselimuti plastik wrap. Beruntungnya 30 menit kemudian tim evakuasi dari bawah datang untuk mengevakuasi perempuan itu.
Saya bersama beberapa teman juga mengalami rasa kantuk yang hebat di jalur ini. Mungkin karena kami terlalu fokus melihat kejadian sebelumnya yang tentu hal ini menjadikan tubuh kami minim melakukan gerakan. Saya bersama beberapa teman sempat memejamkan mata yang tidak lama kemudian langsung disadarkan kembali untuk segera melanjutkan perjalanan.
Beruntungnya rasa kantuk hebat itu kian memudar dan pukul 18:00 tepat adzan magrib berkumandang, kami sampai juga di Alun-Alun Suryakencana. Di sana sudah terlihat ratusan tenda bewarna-warni yang sudah terpasang. Suhu udara makin mencengkam, meski demikian ketua dalam kelompok kami menyarankan untuk jangan dulu mengenakan jaket sampai tenda selesai didirikan.
Sambil memasang tenda saya beserta kedua teman saya memasak air untuk kebutuhan seduh kopi, susu, teh dan minuman hangat lainnya. Tangan sudah kaku saking suhu udara berkisar 15 derajat. Tidak berselang lama kami langsung memasuki tenda dan segera mengenakan jaket. Kami memasak beberapa bahan yang sudah dibawa dari rumah sambil sesekali mengobrol menghangatkan suasana.
Suhu udara di bulan September cukup ekstrim karena saat itu adalah musim kemarau. Pada musim ini dipercaya suhu udara jauh lebih dingin dibandingkan dengan musim hujan. Sekitar pukul 20:00 kami memutuskan untuk tidur dan menyiapkan tenaga untuk persiapan menuju puncak.

Setiap mendaki saya selalu merasa ada hal-hal ajaib yang pada saat itu tidak bisa saya jelaskan dengan nalar. Setiap malam saya selalu merasa berjalan lambat dan panjang. Beberapa kali saya terbangun untuk memastikan jam menunjukkan pukul berapa. Meski rasanya tidur sudah panjang tapi setiap kali terbangun dan membuka kembali jam di ponsel, ternyata waktu baru berjalanan 15 menit kadang juga 30 menit.
Ternyata fenomena ini bisa dijelaskan oleh Richardo Correia, seorang Psikolog dari Universitas Turku di Finlandia. Waktu yang seolah berjalan lambat ketika kita sedang berada di alam ternyata mengubah cara kita menikmati waktu dan memberikan kita perasaan akan kelimpahan waktu.
Berada di alam membuat fokus seseorang teralihkan dari kondisi saat ini ke sebuah gambaran yang lebih besar. Kondisi ini membuat seseorang tidak impulsif sehingga bisa menunda kesenangan secara instan.
Pagi hari ada yang memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak, sementara saya beserta kedua teman lainnya tidak memaksakan naik ke puncak karena kami memahami kapasitas tubuh masing-masing. Di saat yang lain muncak kami berbagi tugas untuk memasak bahan yang masih tersisa. Sambil sesekali berfoto menikmati padang safana yang penuh dengan bunga edelweis.
Gunung Gede memang terkenal dengan hamparan bunga edelweis. Bunga yang dikenal dengan julukan "Bunga Abadi" ini termasuk ke dalam tanaman endemik yang dilindungi. Sehingga pendaki sebetulnya dilarang untuk memetik dan membawanya pulang. Meski sudah ada larangan terkadang masih ada pendaki nakal yang tidak mentaati peraturan.
Sekitar pukul 12:00 kami memutuskan untuk turun dan membawa kembali sampah-sampah plastik bekas makanan. Perjalanan pulang terasa lebih cepat dan ditempuh hanya 5 jam saja. Selain tas sudah ringan dengan bahan makanan, trek turunan pun lebih cepat untuk dilewati.
Meski demikian tetap harus berhati-hati agar tidak tergelincir dan terperosok ke sisi jurang. Ancang-ancang kaki dan lutut yang kuat mesti menjadi perhatian, karena meski lebih mudah lutut menjadi tompangan yang besar bagi tubuh dan barang bawaan. Tak heran ketika turun kaki pasti akan terasa jauh lebih pegal.
Ini menjadi pengalaman yang berharga untuk kami juga sebagai bentuk apresiasi karena sudah berjuang selama empat tahun lamanya untuk menempuh pendidikan. (*)