BANDUNG sudah lama menyandang julukan sebagai Kota Kembang. Meski begitu, sejatinya, Bandung bukan sekadar Kota Kembang. Ia juga kota yang tahu caranya tampil keren.
Mau pagi, siang, atau malam, selalu ada saja orang yang bergaya. Bahkan, tukang cilok pun kadang terlihat lebih modis daripada mahasiswa semester awal.
Nah, kalau kita bicara soal mode berbusana di Bandung, rasanya tidak lengkap tanpa menyebut kata ‘distro.’ Kata tersebut merupakan singkatan dari distribution store.
Di Bandung sendiri, distro lebih dari sekadar toko. Ia adalah simbol perlawanan anak muda yang ingin punya gaya sendiri.
Semangat independen
Dulu, sekitar akhir 1990-an, distro lahir dari semangat independen. Anak-anak muda bosan pakai baju merek luar negeri yang mahal. Mereka lantas bikin desain sendiri, nyablon sendiri, jual sendiri. Keren, kan? Mirip DIY punk, tapi versi lebih rapi.
Maka, jadilah distro bukan sekadar tempat jualan kaos, melainkan juga ruang pertemuan ide. Orang datang bukan hanya beli baju, tapi juga ngobrol, nongkrong, dan tentu saja pamer gaya.
Di sinilah Bandung mungkin berbeda dengan kota lain. Kalau di Jakarta, gaya sering kali ditentukan oleh majalah fesyen mahal. Di Bandung, gaya ditentukan oleh imajinasi anak kos yang lagi cari modal sablonan.
Itu sebabnya, banyak distro awalnya buka di garasi rumah. Konsepnya sederhana: ada kaos, ada logo, ada komunitas. Dan tetiba semua jadi tren.
Yang bikin unik, tak sedikit distro punya identitas. Ada yang fokus pada skateboard, ada yang ke musik underground, ada yang campuran. Jadi, beli baju di distro itu rasanya seperti masuk ke subkultur tertentu.
Ibukota distro

Tak ayal, Bandung pun pelan-pelan mendapat julukan “ibukota distro Indonesia. Orang dari Jakarta, Surabaya, bahkan Kalimantan rela datang ke Bandung hanya untuk belanja di distro.
Bayangkan, dulu ada istilah “belanja baju ke Bandung”, yang jadi kebanggaan. Itu sama prestisenya dengan “liburan ke Singapura” buat generasi sekarang.
Namun, masa kejayaan itu tentu tidak berlangsung selamanya. Seperti tren lain, dunia distro juga mengalami pasang surut. Awal 2000-an, distro meledak. Tapi setelah 2010-an, banyak yang mulai lesu. Persaingan ketat, gaya cepat berubah, dan e-commerce mulai menjamur.
Tapi, jangan salah, dari rahim distro inilah lahir banyak brand lokal yang keren dan beken. Sebut, misalnya, C59, Ouval Research, UNKL347, sampai Screamous. Nama-nama itu tidak asing buat mereka yang pernah jadi anak gaul Bandung.
Para pendiri distro pun bukan sekadar pedagang. Mereka seniman, musisi, dan desainer yang paham bahwa kaos bisa jadi medium ekspresi.
Karena banyak yang lahir dari scene musik dan komunitas, hubungan distro dengan dunia musik jadi tak terpisahkan. Band-band indie Bandung sering menjual merchandise lewat distro. Jadi, baju distro itu semacam identitas.
Pada titik inilah refleksi menarik pun muncul. Bandung sejak lama punya tradisi kreatif yang lahir dari keterbatasan. Karena tidak bisa beli merek mahal, orang-orang Bandung menciptakan gaya baru.
Dan dari keterbatasan itulah muncul kemandirian. Bandung tidak menunggu majalah Vogue turun ke Braga. Bandung bikin tren sendiri, lalu justru diikuti oleh kota lain.
Kalau direnungkan, ini mirip teori Pierre Bourdieu tentang distinction. Orang Bandung tidak sekadar pakai baju, mereka membangun identitas sosial lewat mode.
Bedanya, kalau di Eropa distinction lahir dari aristokrat dan kaum elite, di Bandung justru lahir dari anak kosan yang mungkin modalnya pas-pasan. Dan ini keren.
Label Kota Kreatif
Tren distro kemudian menjadi fondasi lahirnya fashion district di Bandung. Kawasan seperti Cihampelas, Riau, atau Dago menjadi destinasi belanja. Bukan cuma karena ada mall besar, tapi karena kreativitas mode yang melahirkan distro yang mewarnai sudut kota.
Maka. tak perlu heran jika muncul pula wisata belanja sebagai paket khusus. Orang datang ke Bandung bukan hanya untuk kulineran, tapi juga untuk beli baju.
Yang menarik, pemerintah kemudian ikut melabeli Bandung sebagai kota kreatif. UNESCO pun mengakui Bandung sebagai Creative City of Design. Ini bukan pencapaian kecil.
Namun, di balik prestasi itu, ada tantangan baru yang tidak kalah berat. Dunia fesyen sekarang bergerak ke arah fast fashion. Kalau tidak hati-hati, brand lokal bisa tergilas.
Bandung perlu mempertahankan kekuatan otentiknya, yakni desain orisinal, cerita lokal, dan komunitas yang solid. Karena pada akhirnya, baju itu bukan hanya kain. Ia adalah narasi yang dipakai.
Distro dulu sukses karena ada cerita di balik kaos. “Kaos ini bikinan teman saya.” “Logo ini simbol komunitas kami.” Itu yang membuatnya berbeda dengan baju massal dari pabrik besar. Jadi, kuncinya bukan sekadar bikin baju murah meriah, tapi bikin baju yang punya makna.
Orang sekarang makin sadar soal etika fesyen. Isu lingkungan, tenaga kerja, dan keberlanjutan menjadi penting. Bandung bisa masuk ke wilayah ini.
Bayangkan, kalau kaos bikinan Bandung bukan hanya keren, tapi juga ramah lingkungan. Dunia pasti melirik lebih jauh. Dan tentu saja, humor khas Bandung jangan pula hilang. Karena mode Bandung itu bukan mode yang kaku, tapi yang santai, kadang nyeleneh, tapi tetap estetik.
Mungkin itulah alasan kenapa orang selalu merasa muda ketika belanja baju di Bandung. Ada semangat rebel sekaligus playful yang terus hidup.
Pada akhirnya, Bandung telah ikut mengajarkan bahwa gaya tidak harus lahir dari kemewahan. Gaya bisa lahir dari kreativitas, dari keberanian berbeda, dan tentu saja, dari semangat ngeunah pisan ala anak muda Bandung. (*)