Ilustrasi suku Sunda. (Sumber: Pexels/Muhammad Endry)

Ayo Netizen

Sunda dan Identitas yang Dibikin Kemarin Sore

Senin 22 Sep 2025, 15:03 WIB

Sunda terus jadi sorotan. Konten-konten orang Sunda di TikTok berseliweran, seperti Eomma Fitri di Korea, Teteh Lucy di Jerman, sampai LY’ana di Arab. Pikiran langsung teringat pada tren yang sempat viral senasional, “Pa Dédi yeuh, bawa ka barak”. Dan satu lagi Dede Inoen Si “Puncak Rantai Makanan.”

Bicara Sunda rasanya tidak afdol kalau tidak mengungkit klaim Rangga Sasana lewat kontroversinya Sunda Empire. Sunda tiba-tiba diakui sebagai pusat peradaban dunia yang digdaya, di samping citra populernya yang terkenal lugu dan sederhana. Orang bilang kan Sunda itu lucu seperti Kabayan, cantik seperti di sinetron-sinetron. Dialeknya kaya serial Preman Pensiun, gombalannya kaya Si Dilan.

Pada hal yang serius, Sunda seringkali diidentikan pakai iket kepala dan kabaya. Katanya penanda tradisi, benarkah begitu? Mungkin iya di permukaan. Tapi bolehkah ragu? Tentu sangat boleh, apalagi sejak awal sudah dibiasakan memandang kebudayaan bukan sebagai sesuatu yang final. Termasuk pada soal Sunda yang belakangan tampak mengarah pada gejala esensialisme lewat penonjolan atribusi dan status.

Nah sekarang, kita sudah sampai di sini, untuk mengulas Sunda dari sisi yang agak menukik. Mari menerjang kerapuhan sketsa Sunda yang hanya dipahami sebagai ornamen kekuasaan.

Etnis Rekaan Politik

Sunda sudah lama dikenal sebagai sebuah suku bangsa. Kujang, tari merak, dan lagu És Lilin sering dianggap sebagai wajah Sunda yang umum diketahui. Padahal kujang sejatinya adalah alat pertanian, bukan sekadar senjata perang apalagi dalam arti militer.

Lagu És Lilin pun bukan lagu rakyat kuno, melainkan lagu pop Sunda awal yang muncul sekitar pertengahan 1930-an. Begitu juga tari merak, baru diciptakan oleh maestro Tjetje Somantri sebagai karya tari kreasi baru pada 1950-an.

Kita mungkin baru sadar ketika sedikit saja mencoba gelisah untuk mempertanyakan segala hal yang dikatakan sebagai kebudayaan Sunda. Kesadaran historis semacam ini penting untuk memahami bahwa kebudayaan tidaklah lahir di ruang hampa. Termasuk menelusuri Sunda selaku warisan Orde Baru, rezim yang terobsesi mempromosikan identitas daerah melalui buku-buku atlas dan dokumentasi resmi semata menjaga stabilitas nasional.

Coba pikirkan pelan-pelan. Urang Sunda tidak jauh digambarkan sebagai pengantin ménak Priangan, yang cewek pakai siger, samping dilamban, dan yang cowok memakai bendo dengan slopnya. Penguasa memang hebat, mengajak kita tenggelam dalam gelombang wacana keseragaman wajah Sunda.

Padahal jika kita melamun sejenak, orang Sunda mana yang sehari-harinya memakai busana “tradisional” semodel itu? Lagi pula wacana ini tidak bekerja untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagaimana mungkin coba negara memberikan definisi tentang kebudayaan hanya sebagai kesenian belaka? Tidak tahu atau tidak diungkapkan dengan gamblang?

Sunda sebagaimana etnis-etnis lain, terlanjur dipandang sebagai aset kebudayaan daerah. Akhirnya tidak mengherankan, jika Sunda yang kita pahami tidak lebih dari mata pelajaran muatan lokal. Dengan penyediaan guru pengajar yang seadanya, dengan Priangan sebagai standar kebudayaannya. Dengan terbatas pada hafalan nama-nama kekembangan dan anak sasatoan.

Tentu wacana ini berbahaya, kekuasaan menemu-ciptakan Sunda dari prototipe aristokrat lokal. Bentuk simbiosis mutualisme canggih yang menguntungkan penguasa lokal dan rezim yang lebih luas.

Maung yang Dipersenjatai

Logo Kerajaan Sunda Empire. (Sumber: Reroduksi Wikimedia)

Sunda juga mengalami militarized masculinity, salah satunya terlihat jelas pada ikon Maung Siliwangi yang berada di lingkungan TNI, khususnya Kodam III yang beroperasi di Jawa Barat dan Banten. Harimau yang pada awalnya melambangkan kekuatan gaib dalam kosmologi lokal Sunda, kini bertransformasi menjadi simbol maskulinitas hegemonik. Kita mempersepsikannya dengan kedisiplinan, penuh kendali, dan penjaga batas-batas teritorial.

Dalam kerangka ini, citra prajurit laki-laki muncul sebagai pahlawan dan pejuang, sekaligus pertunjukan dominasi dan keberanian.

Transformasi simbol ini tidak hanya berhenti di ranah militer formal. Kendali kekuasaan ini diduplikasi oleh berbagai ormas kesundaan, paramiliter seakan mendapat teladan untuk menjadi “maung” bagi sesama sipil. Fenomena ini patut diwaspadai, karena kebanggaan etnik bisa berpotensi berbelok arah menjadi eksklusivitas, purisme, dan praktik premanisme. Akhirnya kekuatan yang seharusnya melindungi justru digunakan untuk menindas.

Berbagai tafsir kebudayaan mengenai maung tentu sah-sah saja. Namun dalam konteks tertentu, terutama yang terkait dengan kekerasan kultural, penggunaan simbol ini perlu mendapat perhatian.

Ekspresi maskulin tidak selalu bermasalah, sebagaimana terlihat pada bobotoh Persib, yang memaknainya sebagai simbol identitas kolektif, semangat, solidaritas, dan kebanggaan lokal. Bahkan maung sang jagoan bisa tampil berbeda dalam tradisi pencak silat, seperti Cimande dan Cikalong. Di sini kekuatan dan ketangguhan diekspresikan secara terkontrol dan ritualistis, bukan untuk arogansi atau dominasi.

Sekarang kita bisa merenung. Ternyata kini Siliwangi telah menjadi nama bagi aparatus kekuasaan, dengan akses pada peralatan, strategi, dan pengetahuan tempur yang mematikan. Perhatian serupa juga perlu diberikan pada Maung Lodaya yang bersenjata. Kepolisian Daerah Jawa Barat, misalnya, mengadopsi identitas yang hampir sama dengan dua kujang yang berjaga, menegaskan simbol kekuatan tradisional diintegrasikan ke ranah sipil modern.

Cara pikir semacam ini terus berkembang. Tidak terkecuali pada Tim “Prabu”, satuan patroli di Polrestabes Bandung, yang turut membingkai citra  kepolisian dengan nuansa nyunda. Wacana tersebut kerap muncul di media populer, misalnya dalam liputan Siap 86 di televisi nasional.

Dari fenomena ini, kita diingatkan bahwa simbol budaya tidak pernah netral. Ia bisa menjadi sumber solidaritas dan kebanggaan, tetapi juga punya kekuatan tersembunyi untuk menyuburkan kekerasan dan dominasi jika tidak dikontekstualisasi dengan bijak dalam ruang sipil. Apa yang bisa kita amati terkait masalah ini pada kasus yang terbaru?

Sepertinya semua orang tahu, langkah Dedi Mulyadi Gubernur Jawa Barat yang mengirimkan pelajar bermasalah ke barak militer.

Pelestarian Budaya

Cukup melelahkan, semakin banyak tahu nasib Sunda yang dikepung berbagai kepentingan, kebudayaan yang kerap dijadikan legitimasi kekuasaan.

Kita mungkin sudah paham, tapi sulit berbuat banyak. Termasuk dalam berbagai program dan regulasi, wacana Sunda sering diarahkan ke masa lalu. Ia bersemayam dalam rasa rindu, menjelma Sunda sebagai kenang-kenangan zaman. Atas nama penyelamatan tradisi, semuanya berputar-putar pada slogan “pelestarian”. Masalahnya, itu pun berjalan setengah hati. Lihat saja proyek pemugaran Candi Bojongménjé di Rancaékék yang masih mangkrak.

Kalau begitu pelestarian mana yang sedang diperjuangkan? Jika toponimi lokal yang semula dikenal dengan nama ranca, tegal, pasir, babakan, kini berubah menjadi grand, town square, atau green residence. Kawasan perumahan, industri pariwisata, dan pihak-pihak pengembang modern terus beroperasi menyulap identitas lemah cai Sunda menjadi asing.

Apakah ruang hidup urang Sunda turut dilestarikan? Ruang yang menjadi sumber cerita rakyat dan aneka tradisi lisan?

Rasa-rasanya kita telah gagal miindung ka waktu mibapa ka jaman. Kebudayaan Sunda sudah terpenggal menjadi komoditas yang dikapitalisasi.

“Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum”, kini beralih jadi dalih yang dicari-cari untuk justifikasi praktik pemerkosaan terhadap alam. Ujung Genteng, Pangandaran, Papandayan, sebatas kawasan buat menyebut-nyebut adanya program pemberdayaan masyarakat lokal. Yang ternyata hanya terbatas pada peluang jualan souvenir dan jasa parkir. Kita hanya sibuk membangun tugu oleh-oleh, nanas Subang atau tauco Cianjur.

Mencari Sunda

Iustrasi orang Sunda. (Sumber: Unsplash/Zulfikar Arifuzzaki)

Sunda adalah kandaga kebudayaaan yang luas, meliputi wilayah-wilayah yang kerap dianggap periferal. Ada yang bernuansa Banten, ada yang berinteraksi dengan Betawi. Sunda tidak “semurni” yang kita kira. Kita belum banyak bicara Cirebonan di Wétan, termasuk Sunda yang berada di pesisir laut Utara.

Kita terlalu menyanjung Priangan, lebih-lebih menyandarkan patok pada feodalisme Sunda ménak dan santana. Terlena mencurahkan perhatian pada perkembangan budaya di lingkungan elit Sunda.

Jadi kategori apa sebenarnya Sunda itu, apalagi jika konstruksinya baru dirumuskan “kemarin sore”? Apakah benar ia penanda identitas primordial kita? Yang jelas, Sunda tidak pernah selesai dibentuk. Jauh sebelum negara ikut campur, kolonial Belanda sudah lebih dulu merancangnya.

Tokoh seperti K.F. Holle bahkan kerap disebut sebagai karuhun urang Sunda modern. Ia menulis cerita Sakadang Monyét jeung Sakadang Kuya, mengenalkan model pertanian ideal, sekaligus mendorong penulisan bahasa Sunda dengan aksara latin.

Pada masa itu pula, mulai banyak disusun kamus-kamus Sunda. Bahkan S. Coolsma berhasil merumuskan kajian tata bahasa Sunda. Tuh kan, kian digali, malah berujung menemukan status Sunda yang dibangun oleh kolonialisme.

Kajian bahasa dan sastra Sunda modern ini secara serius dikaji oleh Mikihiro Moriyama melalui karyanya “Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19” (Edisi Revisi, 2014). Bahkan Holy Rafika Dhona dalam bukunya “Subjek Sunda: Genealogi, Kelahiran, dan Kewilayahan” (2024) berani menyimpulkan bahwa kedirian Sunda ternyata baru muncul pada awal abad ke-19, pada masa pergerakan nasional.

Semua ini memang bagian dari refleksi yang menantang. Ada perasaan antara bimbang dan senang, Sunda itu tidak sekaku yang ditampilkan pada buku-buku umum, brosur wisata, apalagi patung dan tugu. Kita jadi teringat pada pepatah, kawas monyét nu ngagugulung kalapa, terpikat pada cangkang bukan pada isi. Barangkali kata-kata leluhur itu sedang menyindir kita yang sibuk pada Sunda di permukaan.

Kita menjadi takut untuk kritis pada identitas sendiri, seolah-olah hanya ada satu cara mencintai Sunda dengan berhenti pada simbol dan menjaga slogan. Padahal cinta yang sama sahnya tidak terlena pada usaha mengawetkan kulit saja, melainkan berani merawat isi meski kadang dengan cara membongkar, menguji, bahkan menantang warisan yang sudah mapan. (*)

Tags:
identitas budayasuku Sundaidentitas sosial

Arfi Pandu Dinata

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor