Sering kali, istilah pluralisme agama dipahami secara keliru. Di telinga sebagian orang, pluralisme terdengar seperti upaya mencampuradukkan berbagai ajaran, menyejajarkan semua agama seolah tak ada lagi batas kekhasan, bahkan dianggap ancaman bagi religi yang sudah mapan.
Padahal justru sebaliknya. Pluralisme agama bukanlah proyek penyamarataan, melainkan cara merayakan agama-agama dalam keunikannya masing-masing. Ia bukan agenda untuk menghapus perbedaan, melainkan untuk menumbuhkan kedewasaan dalam memaknai perbedaan itu sendiri.
Di dunia yang kian terhubung dan serbacepat, manusia berjumpa dengan keragaman setiap hari. Dalam ruang publik, media sosial, tempat kerja, bahkan di lingkup keluarga. Di tengah situasi seperti ini, pluralisme hadir bukan sebagai ide asing yang dipaksakan, tetapi sebagai kebutuhan mendesak untuk hidup berdampingan secara wajar. Pluralisme tidak meminta kita mengaburkan identitas religius tertentu, melainkan mengajarkan cara baru memahami bahwa perbedaan agama bukan ancaman, melainkan bagian dari lanskap kehidupan bersama yang tak terelakkan.
Kesalahpahaman besar terjadi ketika pluralisme disamakan dengan universalisme teologis, yakni pandangan bahwa semua agama sama dan menuju pada satu sumber dan tujuan yang identik. Pandangan seperti itu sebenarnya lebih tepat disebut perenialisme, yang berfokus pada gagasan metafisik tentang kebenaran tunggal di balik semua tradisi. Pluralisme justru tidak bergerak di ranah itu. Ia tidak menuntut kita menyetujui bahwa semua agama sama, melainkan mengajak kita mengakui bahwa setiap agama memiliki cara sendiri untuk memahami, mengalami, dan mengekspresikan kebenaran.
Dengan kata lain, pluralisme tidak sesempit berurusan dengan dogma atau klaim kebenaran teologis, tetapi dengan cara manusia berelasi. Soal umat beragama bisa hidup bersama, saling menghormati, dan bekerja sama tanpa menuntut keseragaman. Bahkan pada hari ini ia bicara tentang kewargaan, bukan semata-mata soal langitan. Pluralisme adalah proyek sosial, budaya, dan politik. Tentang membangun tatanan masyarakat yang memungkinkan semua orang dengan agama apapun dapat dihargai sebagai warga yang setara.
Oleh karena itu, pluralisme menuntut kemampuan untuk berempati dan tekoneksi. Ia menolak pandangan yang menutup diri, yang hanya mau melihat dunia lewat kacamata satu interpretasi atau satu aliran. Dalam agama manapun, realitas keberagaman internal sudah menjadi kenyataan. Ada mazhab, tradisi, denominasi, corak liturgi, dan ekspresi lainnya yang berbeda. Pluralisme membantu kita melihat bahwa perbedaan di dalam satu agama saja sudah luas, apalagi di antara agama-agama. Jadi kemampuan untuk menerima keragaman eksternal seharusnya dimulai dari kesediaan mengakui keragaman dari dalam.
Dalam konteks tersebut, pluralisme menjadi bentuk penghayatan religius yang mantap. Ia bukan relativisme yang serta merta menyimpulkan semua sama saja, melainkan sikap keterbukaan. Sebuah seni mendengarkan, memahami, dan menempatkan diri. Pluralisme menumbuhkan rasa ingin tahu yang sehat terhadap pengalaman keberagamaan orang lain tanpa kehilangan akar sendiri. Ia lebih dekat pada pencarian makna ketimbang klaim kebenaran. Alih-alih bertanya “agama siapa yang paling benar?”, pluralisme mengajak kita menggali “apa keunikan dan identitas agama ini?”.

Jika pluralisme dianggap mengancam iman, barangkali karena kita masih memandang iman sebagai benteng, bukan sebagai jembatan. Padahal iman yang kokoh bukan berarti tertutup. Justru karena kuat, ia mampu menatap orang lain dengan penuh hormat tanpa takut tercemar atau kehilangan jati diri.
Pluralisme adalah latihan terus-menerus untuk menjaga keseimbangan antara agama pribadi dan keterbukaan pada dunia luar. Ia bukan sikap pasif yang dingin.
Dalam kehidupan berbangsa yang majemuk seperti Indonesia, pluralisme agama menjadi prasyarat dasar bagi keberlanjutan. Ia adalah pondasi bagi demokrasi yang sehat dan multikulturalisme yang sejati. Tanpa semangat pluralisme, keberagaman hanya akan menjadi statistik, bukan kenyataan yang hidup. Masyarakat yang plural tapi tidak pluralis mudah terseret dalam polarisasi, kecurigaan, dan politik identitas yang dangkal. Pluralisme menuntut keberanian untuk menolak narasi tunggal yang memonopoli kebenaran dan memaksakan satu wajah tunggal kebangsaan atau keagamaan.
Di samping itu, pluralisme juga sangat mengandalkan kepiawaian kita dalam menjalani hidup sehari-hari. Setiap kali kita berinteraksi dengan orang yang berbeda agama, budaya, atau pandangan politik, kita selalu hangat, laku yang sedang menubuhi pluralisme. Ia hadir dalam hal-hal kecil. Dalam cara kita menyapa tetangga yang sedang beribadah, dalam kesediaan menghadiri kedukaan yang lain, atau dalam empati terhadap penderitaan manusia tanpa melihat agamanya. Pluralisme adalah etika sosial yang tumbuh dari kebiasaan mencintai martabat kemanusiaan lebih dulu sebelum perbedaan identitas.
Lebih jauh, pluralisme juga bisa dibaca sebagai strategi bertahan. Dalam masyarakat yang terus berubah dan sering kali tegang oleh konflik berbasis identitas, kemampuan berbaur adalah keterampilan hidup yang vital.
Merayakan pluralisme berarti merayakan kehidupan itu sendiri. Sebab pada dasarnya kehidupan tidak pernah seragam. Alam pun memberi pelajaran yang sama, ekosistem yang sehat justru ditandai oleh keragaman hayati. Demikian pula masyarakat yang sehat, hanya bisa tumbuh ketika berbagai agama, pandangan, dan budaya dapat hidup berdampingan tanpa saling meniadakan. Pluralisme agama ada di antara semua itu.
Jadi jika ada yang masih memandang pluralisme agama sebagai ancaman, barangkali yang perlu direvisi bukan pluralismenya, melainkan cara kita memahami agama. Agama yang hidup bukan yang mengurung diri dalam kebenarannya sendiri, tetapi yang mampu berjumpa, berdialog, dan memberi makna bagi dunia yang terus berubah. Pluralisme pada akhirnya, bukan proyek politik atau akademik semata. Ia adalah sikap batin, sebuah cara mencintai dunia yang penuh warna, dengan kesadaran bahwa setiap warna punya spektrum cahayanya masing-masing yang membuat kehidupan menjadi lebih seru. (*)