Karena upaya mitigasi menyangkut nyawa manusia, maka upaya ini mempunyai nilai kemanusiaan yang sangat tinggi. Inilah yang menyebabkan melakukan upaya mitigasi sesungguhnya merupakan perwujudan nyata dari rasa kasih-sayang kepada sesama manusia.
Planet Bumi diciptakan Tuhan dengan segala keteraturan dan dinamikanya. Di tengah-tengah bola Bumi ada inti bumi yang panasnya mencapai 6.000 derajat C. Karena super panas itulah, menyebabkan terjadinya dorongan yang sangat kuat untuk melepaskan energinya. Inilah yang menjadi awal dari kerak bumi yang tebalnya bervariasi sampai 70 km di beberapa tempat, menjadi terpecah-pecah, menjadi lempeng-lempeng raksasa yang terus bergerak. Ada lempeng bumi yang bergerak saling menjauh, menyebabkan yang sekarang bernama Benua Amerika terpisah jauh dari Benua Afrika.
Di antara kedua benua itu terbentuk Samudra Atlantik, yang di dasarnya membentuk Pematang Tengah Atlantik, menjadi tempat untuk magma naik ke permukaan membentuk kerak samudra yang baru. Sedangkan kerak bumi yang saling mendekat, kemudian terjadi saling menekan, lempeng samudra menunjam ke dalam lempeng benua. Itulah yang terjadi di kedalaman dasar Samudra Hindia di barat dan di selatan Kepulauan Indonesia.
Zona penunjaman itulah yang menjadi kawasan yang sangat labil, memberikan jalan bagi magma, batuan cair pijar yang panasnya mencapai 1.200 derajat C, menerebos kerak bumi, yang melahirkan gunung-gunungapi, yang teruntai membentuk pulau-pulau. Di zona ini pun menjadi sumber gempabumi.
Mekanisme panas dari inti bumi inilah yang telah melahirkan rona bumi ini menjadi sangat megah. Ada gunung-gunung yang menjulang, ada lembah yang dalam, ada patahan yang memanjang, dan beragam bentuk pantai, ada teluk dan tanjung, sesuai dengan batuan yang membentuknya. Rona bumi itu semakin disempurnakan pesonanya oleh panas siang hari dan dingin pada malam hari, curahan air meteorik yang menyuburkan tanaman, menghasilkan oksigen pada siang hari, kesejukan, dan sumber sandang, pangan, dan papan bagi manusia yang kemudian berdatangan di kawasan yang menakjubkan itu.
Sejak penciptaannya, bumi terus bergerak sesuai irama semesta yang berjalan untuk keseimbangannya. Energi panas dari dalam inti bumi yang terus menekan kuat kerak bumi tiada henti, menyebabkan letusan-letusan gunungapi yang menebarkan abu kesuburan, dan energinya yang tertahan kemudian lepas, membentuk patahan dan menimbulkan gempabumi yang mengguncang, meninggalkan torehan-torehan bumi yang memanjang.
Ada kawasan yang relatif turun, ada yang relatif naik, dan ada yang terdorong secara mendatar. Terbentuklah tebing-tebing yang menjulang, tanah tinggi yang memanjang, danau-danau yang besar, dan letusan-letusan gunungapi. Itulah kemegahan alam yang selama berpuluh-puluh tahun, beratus-ratus tahun dapat dinikmati oleh manusia yang melihatnya, yang datang dan menetap di sana.
Inilah yang saat ini disebut bencana alam, karena dinamika bumi yang berjalan untuk menjaga keseimbangannya, telah dikelilingi oleh manusia yang datang kemudian. Karena ada manusia di kawasan yang “laten bencana” itulah, gagasan mitigasi ini lahir, untuk saling mengingatkan, untuk saling berbagi pengetahuan, berbagi pengalaman, bagaimana cara berlatih, semuanya bermuara pada yang saling membantu dalam upaya kemanusiaan.
Dalam tulisan ini akan dibahas satu “butir nasi” latihan mitigasi dari “satu bakul nasi” mitigasi yang sangat banyak kait-mengaitnya. Pendekatan mitigasinya mengadopsi cara berlatih penca Cikalong (Cianjur). Cara latihan penca ini diceritakan oleh murid Aki Muhidin (guru penca di Cikalong), yaitu (Abah) Iwan Abdurahman, anggota WANADRI, yang juga telah menggubah sekitar 50 lirik dan lagu.
Berlatih gerakan penca itu harus terus-menerus dilakukan, oleh siapa pun, baik oleh murid maupun oleh guru, sesuai dengan kapasitasnya masing-masing, agar gerakan jurusnya tetap berumah dalam jiwa, dalam raga, dan dalam rasa.
Bagaimana berlatih gerakan satu, atau satu jurus satu, yang merupakan satu kesatuan gerakan: merunduk – berjongkok - melindungi tengkuk dan kepala - berpegangan kuat. Gerakan satu atau jurus satu ini dahulu dilatihkan, dapat dimulai dari sekolah-sekolah, pesantren, terus berjenjang sampai luas ke berbagai kalangan, seperti ke karyawan di kantor-kantor, di pabrik-pabrik, di pasar-pasar, di rumah, dll.
Pada tahap awal, bila mengacu pada hirarki latihan penca Aki Muhidin (seperti dituturkan oleh (Abah) Iwah Abdurahman, gerakan satu merunduk – berjongkok - melindungi tengkuk dan kepala - berpegangan kuat itu agar semua pelajar nyaho, mengetahui tentang gerakan satu. Karena nyaho can tangtu ngarti, tahu belum tentu mengerti, maka harus teruslah berlatih sampai pelajar itu mengerti mengapa perlu terus berlatih berulang-ulang gerakan satu atau jurus satu ini. Misalnya setiap tiga hari sekali latihan gerakan satu dilaksanakan ketika bel istirahat dibunyikan, dan pada saat bel pulang dibunyikan.
Tujuan berlatih ngarti, agar para pelajar menjadi bisa, menjadi mampu untuk melakukan gerakan satu dengan cepat dan tepat. Karena berlatih terus berulang, maka para pelajar itu akan tuman, akan mahir dalam melakukan gerkan satu dengan cepat dan tepat. Bila terus berlatih, maka gerakan satu: merunduk-berjongkok-lindungi tengkuk dan kepala-berpegangan kuat, akan matuh, akan menetap, akan berumah di dalam jiwa, di dalam raga, dan di dalam rasa. Inilah puncak pencapaian berlatih, sehingga ketika ada stimulus guncangan gempabumi, maka akan direspon dengan cepat-tepat-seketika.
(Abah) Iwah Abdurahman menuturkan, bahwa berlatih gerak penca seperti yang dianjurkan oleh Aki Muhidin, harus tuksel, harus terus-menerus. Begitu pun berlatih gerakan satu dalam mitigasi, agar gerakan satu ini terus matuh, terus menetap. Bila tidak dilakukan, maka respon cepat-tepat-seketika akan turun kadarnya.
Cara berlatih mitigasi gaya penca seperti ini, dapat juga diterapkan bagi para pemegang kebijakan, dengan membuat pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan tupoksinya. Dengan pertanyaan-pertanyaan itu akan diketahui, apakah tingkatannya baru berada pada tahap nyaho (tahu), atau sudah ngarti (mengerti), sudah bisa (mampu), sudah tuman (mahir), atau sudah ngajadi, matuh (menetap)? Kalau yang ditanya menjawab, “dokumen kontingensi sudah ada, hasil para pakar di Perguruan Tinggi”, kita akan mengetahui, posisinya berada dalam tahap mana. (*)