HAMPIR saban pagi, jalanan di Bandung bak seorang gadis cantik yang bangun kesiangan -- riuh, semrawut, dan sering kali tergesa. Banyak jalan di Kota Bandung kiwari dijejali motor dan mobil yang berebut ruang. Aroma knalpot menggantikan harum embun pagi. Suka atau tidak, inilah paras Bandung yang terpaksa dipilih warganya saat ini. setiap hari.
Kemacetan di Bandung kini bukan lagi cerita luar biasa. Ia sudah seperti tempe dan tahu alias menu sehari-hari. Lantas, sampai kapan kita akan menganggap ini sebagai hal yang wajar?
Padahal, Bandung adalah kota yang secara geografis dan kultural sangat cocok menjadi kota sepeda, bukan sebagai kota sepeda motor dan mobil. Iklimnya yang relatif sejuk adalah anugerah yang jarang dimiliki kota besar lainnya di negeri ini.
Realita jauh dari gambaran
Mari kita bayangkan hal ini. Pagi hari di Jalan Braga, deretan sepeda meluncur pelan ditemani semilir angin dan aroma kopi yang ngahiliwir dari dalam sejumlah kafe. Tidak ada deru bunyi ngaberebet knalpot motor yang kita dengar, melainkan justru denting bel sepeda yang ramah. Senyum pengayuh bersahutan dengan sapaan pejalan kaki. Ini benar-benar sebuah potret kota yang lebih manusiawi.
Tapi, kiwari, realitanya jauh dari gambaran tersebut. Data Dinas Perhubungan Kota Bandung tahun 2023 menyebut jumlah kendaraan bermotor telah melampaui 2,2 juta unit, dan kemungkinan bakal terus bertambah. Maka, setiap tahun, jalan-jalan di Bandung bakal makin sesak. Di saat yang sama, kualitas udara dipastikan makin menurun.
Luas jalan di Kota Bandung bisa dibilang tidak bertambah secara signifikan dalam satu dekade terakhir. Kita mengalami pertumbuhan kendaraan tanpa dibarengi pertumbuhan ruang. Kondisi ini seperti kita menjejalkan lebih banyak ikan dalam sebuah akuarium yang space-nya tak pernah diperbesar.
Solusinya sudah barang tentu bukan memperlebar atau membangun jalan baru, tapi bagaimana mengubah minda alias pola pikir dan juga perilaku. Memperlebar jalan maupun membangun jalan baru pada gilirannya malah akan membuat makin banyak kendaraan bermunculan.
Nah, salah satu pola pikir yang bisa kita ubah dalam konteks makin sesaknya Bandung oleh kendaraan bermotor saat ini adalah bagaimana kita memandang sepeda. Sepeda pada hakikatnya bukan sekadar alat olahraga, melainkan moda transportasi yang sehat, murah, dan ramah lingkungan. Sepeda bisa menjadi simbol peradaban urban yang lebih bersih dan beradab.
Di Amsterdam dan Kopenhagen sana, dua kota yang identik dengan budaya bersepeda, sepeda justru menjadi alat transportasi utama. Di Kopenhagen, misalnya, 62 persen warga kota menggunakan sepeda untuk pergi bekerja atau sekolah (data Cycling Embassy of Denmark, 2023). Budaya ini tumbuh dari kesadaran kolektif, bukan sekadar kebijakan sepihak. Bayangkan sekarang jika 62 persen warga Bandung mau nyapedah. Pasti dampak positifnya luar biasa.
Baca Juga: Mencoba Lezatnya Bandeng Cabut Duri 79 di Summarecon Bandung
Apakah Bandung tidak bisa seperti Kopenhagen? Bisa, kalau mau. Yang diperlukan hanya keberanian untuk memulai dan menjaga konsistensi.
Di Bandung, saat ini sudah terdapat sejumlah jalur khusus sepeda. Juga sudah ada gerakan Bike to Work. Ini dapat menjadi modal awal berharga.
Tentu, masih banyak tantangan. Salah satunya, aspek keamanan. Banyak warga yang ragu untuk mulai bersepeda karena takut diserempet kendaraan lain. Rasa cemas itu menjadi tembok penghalang yang harus dipikirkan oleh para pembuat kebijakan kota.
Studi yang dilakukan oleh Teschke dan rekan-rekannya (2012) menunjukkan bahwa jalur sepeda yang dipisahkan secara fisik dari lalu lintas kendaraan bermotor dapat menurunkan risiko cedera hingga 90 persen dibandingkan jalur sepeda yang menyatu dengan jalan umum. Temuan ini menguatkan pentingnya infrastruktur bersepeda yang aman dan terpisah untuk mendukung mobilitas urban yang ramah lingkungan dan manusiawi.
Tantangan lainnya yaitu adalah menyangkut gaya hidup. Kita sudah terlalu nyaman naik sepeda motor. Kemana-mana ngaberengbeng tumpak motor, meski hanya untuk membeli pisang goreng di ujung gang, yang jaraknya cuma beberapa ratus meter. Gaya hidup praktis tapi tidak ramah lingkungan ini telah mengakar dalam keseharian kita. Termasuk para pelajar kita.
Padahal, bersepeda punya manfaat luar biasa bagi tubuh. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut bahwa bersepeda selama 30 menit sehari dapat menurunkan risiko penyakit jantung hingga 50 persen dan diabetes hingga 40 persen. Belum lagi dampaknya bagi kesehatan mental yang sering luput dari perhatian.
Tak hanya membawa implikasi positif pada tubuh, sepeda juga menyelamatkan udara. Data dari AirVisual IQAir mencatat bahwa polusi udara Bandung pada jam sibuk bisa mencapai PM2.5 level 112 µg/m³ -- dua kali lipat batas aman WHO. Angka ini menggambarkan kondisi darurat yang justru kerap kita abaikan.

Sudah barang tentu, andai lebih banyak yang mau mengayuh sepeda di Kota Bandung ini, angka tersebut bisa ditekan. Kita sama-sama ketahui, sepeda tidak menghasilkan emisi karbon. Bahkan, menurut European Cyclists’ Federation, bersepeda bisa mengurangi emisi hingga 21 juta ton CO₂ per tahun.
Kalau satu orang beralih ke sepeda untuk jarak tempuh 5 kilometer setiap hari, itu berarti penghematan sekitar 300 kg CO₂ per tahun. Bayangkan jika 100.000, atau lebih dari itu, warga Bandung melakukannya, setidaknya kita bisa menciptakan revolusi senyap demi udara yang layak hirup.
Dari sisi ekonomi, sepeda juga lebih bersahabat. Tidak perlu ongkos untuk beli bensin, bayar parkir, atau mungkin service bulanan. Uang yang dihemat bisa dialihkan untuk kebutuhan lain yang lebih penting.
Sesungguhnya, Bandung yang didera macet dan polusi bisa mulai "disembuhkan" bukan dengan proyek-proyek infrastruktur mahal, tapi dengan sepeda dan keberanian warganya untuk mengubah kebiasaan. Kota ini bisa menjadi pelopor jika berani memulai.
Mungkin Anda mamsih ingat lirik lagu Coldplay yang bertajuk Paradise. Salah satu bagian liriknya berbunyi “And so lying underneath those stormy skies, she said, oh I know the sun must set to rise.” Ya, kita harus melewati kebiasaan lama untuk menuju terang baru. Dan sepeda bisa menjadi cahaya pertama itu.
Langkah kecil seperti car-free day dan gerakan gowes mingguan patut diapresiasi. Namun, perlu dikembangkan jadi gerakan masif yang bukan sekadar event mingguan, melainkan strategi jangka panjang.
Sekolah bisa menjadi pionir. Berikan insentif bagi para siswa yang bersepeda ke sekolah. Bisa dalam bentuk nilai tambahan, atau sekadar apresiasi harian. Anak-anak akan tumbuh dengan kebiasaan ini dan membawanya ke masa depan. Kantor pemerintahan pun bisa memberi contoh. Bayangkan kalau setiap hari para ASN di Bandung mau bersepeda. Ini bener-bener keren.
Ramah manusia
Jan Gehl, arsitek dan perencana kota asal Denmark, menegaskan bahwa kota yang ramah pejalan kaki dan pesepeda adalah kota yang ramah manusia. Kota seperti itu menciptakan ruang untuk interaksi, bukan hanya untuk pergerakan. Dan Bandung bisa memulai dari trotoar dan jalur sepeda.
Dengan bersepeda, kita bukan hanya berpindah tempat. Kita juga membuka mata, menyapa tetangga, dan melihat kota dengan cara yang lebih perlahan, lebih manusiawi. Sebuah perjalanan yang mengembalikan rasa.
Tentu, ada yang sinis. Bandung itu penuh tanjakan. Benar sekali. Namun, teknologi sepeda pun berkembang. Ada sepeda lipat, sepeda listrik, semua bisa jadi pilihan.
Apakah semua warga Bandung harus nyapedah? Tentu,tidak. Tapi, semakin banyak yang bersepeda, semakin lapang jalan bagi yang harus berkendara dengan kendaraan bermotor. Semua saling mendukung. Inilah solidaritas dalam konteks mobilitas.
Pada akhirnya, menjadikan Bandung kota sepeda adalah tentang bagaimana menggeser paradigma dari kota konsumtif ke kota yang aktif dan sadar lingkungan. Dan dari mobilitas cepat ke mobilitas bijak.
Baca Juga: Nasib Buruh Perempuan di Tengah Ekosistem Kerja yang Segregatif
Bandung bisa berubah, jika warganya memilih untuk tidak terus-menerus memilih hidup dalam kebisingan suara mesin dan kepulan asap knalpot. Perubahan Bandung bisa dimulai dari satu kayuhan.
Kita hanya perlu satu hal untuk memulai: kemauan. Karena revolusi kadang tak datang lewat suara keras, tapi bisa dari derik pelan rantai sepeda yang bergerak menuju masa depan. Satu pedal demi satu harapan.
Kita bisa memulainya dari hari ini. Naik sepeda bukan demi gaya, tapi demi udara yang layak, tubuh yang sehat, dan kota yang lebih bersahabat untuk semua. Mari mengayuh bersama, demi Bandung yang lebih baik. (*)