Nasib Buruh Perempuan di Tengah Ekosistem Kerja yang Segregatif

Yayang Nanda Budiman
Ditulis oleh Yayang Nanda Budiman diterbitkan Rabu 28 Mei 2025, 19:37 WIB
Ilustrasi buruh perempuan. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)

Ilustrasi buruh perempuan. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)

Setiap 1 Mei, dunia secara kolektif memperingatkan Hari Buruh Internasional. Khususnya di Indonesia, euforia ini kerap berlangsung dalam nuansa seremonial—lengkap dengan demonstrasi, bentangan spanduk tuntutan, mimbar bebas hingga pidato resmi dari sejumlah tokoh terkemuka. 

Namun, idealnya, peringatan ini semestinya menjadi media reflektif bagi semua pihak untuk mengamati lebih detail kondisi aktual para pekerja, khususnya bagi mereka yang berada di posisi yang rentan. Salah satu kelompok yang kerap luput dari sorotan utama adalah para pekerja perempuan. 

Dalam ekosistem ketenagakerjaan nasional yang dirasa masih segregatif, pekerja perempuan menghadapi tantangan berlapis. Mereka tidak hanya berjuang melawan disparitas upah atau status kerja yang tak menentu, tetapi juga membongkar stereotip gender yang mengakar dalam budaya industri. 

Berdasarkan sejumlah informasi yang termuat di internet, pekerja perempuan masih mendominasi sektor informal, dengan upah yang rendah, serta posisi non-manajerial. Sementara itu, akses terhadap pelatihan, promosi jabatan, serta jaminan sosial dan kesehatan fisik maupun mental pun belum terakomodasi secara merata. Keadaan ini menciptakan jurang ketimpangan yang kian curam antara pekerja laki-laki dan perempuan. 

Mengamati temuan yang berasal dari survei Women’s Equality in the Workplace yang dilakukan oleh Populix belakangan ini, sebanyak 45% perempuan di Indonesia mengaku pernah mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan selama di lingkungan kerja. Survei ini juga mengungkapkan bahwa bias gender masih menjadi persoalan yang kerap dihadapi perempuan di dunia kerja. 

Bahkan, bias tersebut tidak hanya timbul dalam bentuk perlakuan, tapi juga berkelindan dengan ketimpangan upah serta representasi di level kepemimpinan. Sekitar 48% responden perempuan menyatakan bahwa mereka menerima gaji yang lebih rendah jika dikomparasikan dengan rekan laki-laki untuk posisi atau tanggung jawab yang serupa.

Selain itu, keterlibatan laki-laki yang dominan dalam jabatan strategis masih terlihat kuat, dengan 53% posisi leader di perusahaan masih dipegang oleh laki-laki. Sementara itu, hanya 43% perempuan yang berhasil menempati posisi serupa di tempat mereka bekerja. 

Pemisahan ini semakin terlihat pada kondisi segregasi secara horizontal—di mana perempuan terkonsentrasi pada sejumlah sektor tertentu—masih menjadi pola dominan. Tak sedikit pula perempuan yang mesti memilih pekerjaan dengan intensitas dan fleksibilitas tinggi karena harus membagi waktu dengan tanggung jawab domestik mereka. Sayangnya, pekerjaan semacam ini tidak jarang dipandang sebelah mata dari aspek ekonomi maupun perlindungan hukum. 

Laporan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mencatat bahwa dalam lanskap global, perempuan lebih banyak bekerja di sektor jasa. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juni 2020 pun memperlihatkan trend serupa di Indonesia, dengan proporsi tenaga kerja perempuan di sektor usaha jasa mengalami peningkatan sampai hampir 59% pada tahun 2019. 

Salah satu peneliti gender dan ketenagakerjaan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), mengungkapkan bahwa segregasi berdasarkan jenis pekerjaan masih sangat tinggi di Indonesia. Menurutnya, akses perempuan terhadap peluang kerja relatif terbuka, namun cenderung terkonsentrasi pada sektor jasa yang dianggap lebih “feminim”.

Sementara itu, pada tataran struktural, kebijakan perburuhan seringkali masih bersifat bias gender. Artinya, meski tidak secara eksplisit mendiskriminasi, namun realitanya ia gagal mengakomodasi kebutuhan otentik pekerja perempuan, seperti cuti melahirkan, ruang laktasi, atau perlindungan dari segala bentuk kekerasan seksual di tempat kerja. 

Ironisnya, di tengah industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang terus digencarkan pemerintah, suara minor buruh perempuan seringkali hanya terdengar sayup. Mereka seakan menjadi catatan kaki dalam setumpuk wacana besar pembangunan ekonomi. Padahal, kontribusi mereka nyata, bahkan menjadi tulang punggung di banyak sektor produksi. 

Jurang Kesenjangan Partisipasi Pekerja Perempuan 

Ilustrasi buruh perempuan. (Sumber: a | Foto: Kavin Faza)
Ilustrasi buruh perempuan. (Sumber: a | Foto: Kavin Faza)

Kendati komposisi penduduk laki-laki dan perempuan di Indonesia nyaris seimbang, namun partisipasi perempuan dalam dunia kerja masih jauh tertinggal. Merujuk Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa pada tahun 2023, jumlah penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas relatif seimbang secara gender.

Penduduk laki-laki tercatat sebesar 50,32%, sementara penduduk perempuan berjumlah 49,68%. Meski demikian, kesetaraan jumlah penduduk tersebut belum merefleksikan dalam partisipasi di dunia kerja. Hal itu terus bertahan hingga Februari 2024 dimana jumlah perempuan masih jauh tertinggal dibanding laki-laki. 

Berdasarkan laporan Keadaan Pekerja di Indonesia Februari 2024, dari total keseluruhan 65.582.464 pekerja, sebanyak 66,48% atau 43.598.794 adalah laki-laki. Sementara itu, perempuan hanya 33,52% atau 21.983.670 pekerja. 

Disparitas yang terjadi memperlihatkan adanya kesenjangan gender yang signifikan dalam partisipasi dan kesenjangan ekonomi. Secara rasio, perbandingan jumlah pekerja laki-laki dan perempuan hampir mencapai 2 banding 1. Dengan kata lain, untuk setiap dua pekerja laki-laki, hanya terdapat satu pekerja perempuan.

Baca Juga: Menata Ulang Arah Kurikulum Pendidikan Hijau di Tengah Bayang-Bayang Krisis Iklim

Minimnya keterwakilan perempuan dalam dunia kerja memperlihatkan bahwa masih terdapat kendala struktural yang membentengi perempuan untuk berpartisipasi secara maksimal dalam kegiatan perekonomian, meskipun secara peta demografis jumlahnya hampir setara dengan laki-laki. 

Meskipun pemerintah gemar menggembar-gemborkan inklusivitas, bahkan sesekali melampirkan frasa gender equality dalam sejumlah pidato resmi. Namun, kenyataannya jauh panggang dari api. Perempuan kerap terdepak dari ruang partisipasi kerja karena kombinasi kebijakan yang bias gender, beban domestik yang tak terbagi, hingga stigma sosial yang belum selesai. 

Suara Lantang Buruh Perempuan Melawan Ruang Kerja Segregatif

Selama bertahun-tahun, narasi dominan tentang buruh selalu melekat dengan statistik dan angka: pertumbuhan ekonomi, produktivitas, kontribusi tenaga kerja terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Tapi angka, seringkali, gagal merekam wajah manusia dari perjuangan itu. Mereka yang pendapatanya tak setara, yang tak punya ruang menyusui di pabrik, dipaksa memilih antara keluarga atau karier—tak pernah cukup termuat dalam grafik. 

Pekerja perempuan bukan pelengkap dalam dunia kerja. Mereka adalah aktor utama serupa laki-laki yang turut andil menyangga banyak sektor industri, dari manufaktur hingga layanan kesehatan. Namun, alih-alih diberikan pengakuan, mereka kerap “diakomodasi”—suatu istilah yang cukup samar, dan seringkali berakhir pada marginalisasi tersembunyi. 

Baca Juga: Sejarah yang Terlupa, Mosi Integral Mohammad Natsir dan Kelahiran NKRI

Negara tidak boleh lagi sekedar menjadi penonton yang pasif. Regulasi yang progresif, pengawasan yang ketat, dan keberpihakan anggaran mesti menjadi bagian dari strategi konkret menutup kesenjangan ini. Oleh karena itu, kesetaraan bukan hadiah, melainkan hak yang mesti diperjuangkan, direbut dan diwujudkan. Dan hak itu tak bisa terus ditunda atas nama efisiensi atau budaya. 

Sudah saatnya refleksi Hari Buruh tak boleh selesai pada pengeras suara di mobil komando dan tuntutan kenaikan upah. Ia harus mampu mengimplementasikannya ke dalam ekosistem ketenagakerjaan yang memanusiakan, melindungi, dan mengakui semua pekerja—terutama bagi mereka yang selama ini tenggelam dari sorotan. Karena pembangunan yang sejati adalah ia yang mampu berdiri di atas keadilan, bukan sebatas angka pendapatan. (*)

Yayang Nanda Budiman
Lawyer Intern, Kolumnis dan Penulis Lepas

Berita Terkait

News Update

Ayo Biz 30 Mei 2025, 16:06 WIB

Dari Tradisi Subuh ke Aroma Kopi: Perjalanan WKCK Coffee di Bandung

Bagi Anda Rohanda, WKCK Coffee adalah simbol dari perjalanan panjang yang bermula dari kebiasaan sederhana, ngopi bareng usai salat subuh berjamaah.
Bagi Anda Rohanda, WKCK Coffee adalah simbol dari perjalanan panjang yang bermula dari kebiasaan sederhana, ngopi bareng usai salat subuh berjamaah. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 30 Mei 2025, 12:38 WIB

Lawlaka: Jejak Spiritualitas dan Kreativitas Ronal Surapradja dalam Fesyen

Lewat Lawlaka, keindahan yang Ronal Surapradja maknai tidak hanya bersifat filosofis, tetapi juga tercermin dalam kecintaannya pada kain Nusantara.
Lewat Lawlaka, keindahan yang Ronal Surapradja maknai tidak hanya bersifat filosofis, tetapi juga tercermin dalam kecintaannya pada kain Nusantara. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Beranda 30 Mei 2025, 09:29 WIB

Menghapus Stigma Jagal: Itulah Juleha yang Bekerja dengan Hati, Menyembelih Sesuai Syariat

Bahwa tangan yang mengucap basmalah sebelum menyayat leher hewan, adalah tangan yang paham adab, tajam dalam ilmu, dan lembut dalam niat.
Miftahuddin juru sembelih halal yang memiliki sertifikat resmi. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Gilang Fathu Romadhan)
Ayo Biz 29 Mei 2025, 16:00 WIB

Merajut Identitas Lewat Batik: Perjalanan Maharani Asih dan Twelve Bloem

Lewat Twelve Bloem, Maharani Asih atau Mahe, merajut mimpi, menyulam keberanian, dan membentuk identitas baru bagi batik di mata generasi muda.
Maharani Asih atau Mahe, pemilik butik batik Twelve Bloem. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 29 Mei 2025, 11:09 WIB

Kupat Tahu Gempol: Menjaga Warisan Rasa Sejak 1965

Kupat Tahu Gempol, lebih dari sekadar hidangan, adalah cerita tentang kesetiaan, perjuangan, dan cinta yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Kupat Tahu Gempol, kuliner khas Bandung yang hadir sejak 1965. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 28 Mei 2025, 19:37 WIB

Nasib Buruh Perempuan di Tengah Ekosistem Kerja yang Segregatif

Dalam ekosistem ketenagakerjaan nasional yang dirasa masih segregatif, pekerja perempuan menghadapi tantangan berlapis.
Ilustrasi buruh perempuan. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Jelajah 28 Mei 2025, 18:10 WIB

Kisah Ojol Bandung Perbaiki Jalan Rusak Tanpa Duit Pemerintah

Hasan, driver ojol Kabupaten Bandung, viral karena menambal jalan rusak dengan uang sendiri. Saat negara lamban, rakyat bergerak.
Hasan Fiidel, ojol asal Kabupaten Bandung memperbaiki jalan rusak tanpa duit pemerintah. (Sumber: Ayobandung | Foto: Mildan Abdalloh)
Ayo Netizen 28 Mei 2025, 17:11 WIB

Menata Ulang Arah Kurikulum Pendidikan Hijau di Tengah Bayang-Bayang Krisis Iklim

Seiring meningkatnya laju krisis iklim, pendidikan menjadi salah satu motor penggerak utama dalam upaya global menata ketahanan.
Ilustrasi krisis iklim. (Sumber: Pixabay/Cloud_Purple)
Ayo Netizen 28 Mei 2025, 16:01 WIB

Sejarah yang Terlupa, Mosi Integral Mohammad Natsir dan Kelahiran NKRI

Tahukah Anda bahwa Indonesia hampir tetap menjadi negara bagian RIS jika tidak ada mosi integral Mohammad Natsir?
Mohammad Natsir. (Sumber: Wikimedia Commons/Rijksvoorlichtingsdienst (RVD))
Ayo Biz 28 Mei 2025, 15:05 WIB

Morning Glory: Kisah Seorang Fotografer yang Jatuh Cinta dan Berjuang untuk Kopi Nusantara

Natanael membangun bisnis Morning Glory Coffee Shop, sebuah kedai yang lahir dari kegelisahannya terhadap kualitas kopi olahan yang ia temui di Indonesia.
Natanael membangun bisnis Morning Glory Coffee Shop, sebuah kedai yang lahir dari kegelisahannya terhadap kualitas kopi olahan yang ia temui di Indonesia. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 28 Mei 2025, 13:52 WIB

Jalan Santai tapi Menantang, Begini serunya Komunitas Kaki Besi Club

Bandung kembali ramai dipenuhi antusias warga mengikuti event Jalanin Dulu Aja Vol.2 bersama Kaki Besi Club.
Warga Bandung tengah jalan santai bersama komunitas Kaki Besi Club. (Sumber: Istimewa)
Ayo Netizen 28 Mei 2025, 10:44 WIB

Perasaan Saya Campur Aduk Melihat Eminem Menang American Music Award 2025

Eminem sang Slim Shady membawa pulang AMA pertamanya setelah 22 tahun.
Eminem Menang American Music Award 2025. (Sumber: Wikimedia Commons/Mika-photography)
Ayo Jelajah 28 Mei 2025, 10:41 WIB

Setiap Pagi, Rakit Bambu jadi Harapan Siswa di Tepian Waduk Saguling

Rakit bambu jadi andalan siswa menyeberangi Waduk Saguling ke sekolah. Sudah puluhan tahun warga minta jembatan, tapi tak kunjung terwujud.
Sejumlah siswa SD pergi sekolah menaiki rakit bambu melintasi Waduk Saguling. (Sumber: Ayobandung | Foto: Restu Nugraha)
Ayo Netizen 28 Mei 2025, 08:48 WIB

Bandung Juara Fashion, tapi Bukan Juara Kesetaraan Gender?

Di Bandung, keseteraan gender untuk perempuan masih harus diperjuangkan.
Ilustrasi perempuan di Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Netizen 27 Mei 2025, 20:27 WIB

Perjalanan Menuju Stasiun Whoosh Tegalluar yang Penuh Rintangan, Kapan Perbaikan?

Tampak jelas jalan becek penuh lubang dari tempat tunggu penumpang Whoosh.
Ruas jalan becek penuh lubang menuju stasiun Teaglluar dari Rancaekek (Sumber: dokpri | Foto: Totok Siswantara)
Ayo Biz 27 Mei 2025, 19:50 WIB

Choral: Ketika Sebuah Tas Bercerita tentang Perjuangan dan Mimpi

Choral, sebuah brand lokal asli Bandung yang tumbuh dari mimpi, keberanian, dan perjuangan yang tak kenal menyerah.
Choral, sebuah brand lokal asli Bandung yang tumbuh dari mimpi, keberanian, dan perjuangan yang tak kenal menyerah. (Sumber: Choral)
Ayo Jelajah 27 Mei 2025, 17:14 WIB

Ujungberung dan Gedebage Langganan Banjir, Seberapa Berdampak Kolam Retensi?

Walau jumlah kolam retensi bertambah, banjir masih merendam Gedebage dan Ujungberung. Efektivitasnya mulai dipertanyakan.
Kolam Retensi Rancabolang di kawasan Gedebage, Kota Bandung. (Sumber: Humas Pemkot Bandung)
Ayo Netizen 27 Mei 2025, 16:21 WIB

Plagiat dan Duplikat, 2 Hal Beda yang Mesti Dihindari Penulis Ayobandung.id

Plagiat dan duplikat punya makna beda, dengan dampak yang sama-sama buruk terhadap penulis dan media online.
Plagiat dan duplikat punya makna beda, dengan dampak yang sama-sama buruk terhadap penulis dan media online. (Sumber: Pexels/Miguel Á. Padriñán)
Ayo Jelajah 27 Mei 2025, 12:44 WIB

Riwayat Gedung Sate dan Jejak Para Insinyur Kolonial

Gedung Sate dibangun oleh tim insinyur kolonial, tapi siapa arsitek utamanya masih jadi teka-teki. Gerber? Slors? Atau yang lain?
Gedung Sate (Sumber: bandung.go.id)
Ayo Biz 27 Mei 2025, 12:15 WIB

Satu Suapan Lotek Macan, Ribuan Kenangan Manis dari Sebuah Warung Legendaris sejak 1956

Berlokasi di Jalan Macan, Warung Lotek Macan yang sederhana nan legendaris ini telah menjadi favorit masyarakat Bandung maupun wisatawan selama puluhan tahun.
Berlokasi di Jalan Macan, Warung Lotek Macan yang sederhana nan legendaris ini telah menjadi favorit masyarakat Bandung maupun wisatawan selama puluhan tahun. (Sumber: lotekmacan.com)