Tahukah Anda bahwa Indonesia hampir tetap menjadi negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) jika tidak ada mosi integral Mohammad Natsir?
Moh. Natsir, lahir pada 17 Juli 1908 di Alahan Panjang, Sumatera Barat, adalah tokoh yang tak hanya dikenal sebagai ulama dan cendekiawan Muslim, tetapi juga sebagai pemimpin visioner dalam sejarah politik Indonesia.
Dididik di Bandung sejak tahun 1927, ia berguru pada A. Hassan dan dekat dengan tokoh besar seperti Agus Salim. Kiprahnya mulai menonjol sejak bergabung dengan Jong Islamieten Bond (JIB) Cabang Bandung.
Saat Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948 dan berhasil menangkap pemimpin republik seperti Soekarno, Hatta, dan Natsir, rakyat sempat dilanda kekhawatiran. Namun, para pemimpin ini sempat menyebarkan pesan perlawanan, yang kemudian diteruskan dalam bentuk stensil dan surat kabar. Pesannya jelas: rakyat harus terus berjuang dan tidak tunduk pada penjajahan kembali.
Lebih jauh lagi, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta melalui “surat kawat” menyerahkan mandat kepada tokoh di luar Jawa, terutama kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Meski surat kawat itu tak sampai, Sjafruddin berhasil membentuk PDRI di Sumatera Barat; dan menjadi bukti bahwa Republik Indonesia masih hidup di tengah tekanan.
Diplomasi dan Keteguhan Menyatukan Mandat
Perjalanan sejarah mencatat pentingnya misi diplomatik Moh. Natsir yang menjadi utusan untuk meyakinkan Sjafruddin agar mengembalikan mandat PDRI kepada Presiden Soekarno.
Setelah menempuh perjalanan berat ke Payakumbuh dan bertemu di Kota Kaciek, pada 6–7 Juli 1949, delegasi yang dipimpin Natsir berhasil meyakinkan PDRI untuk menyerahkan mandat. Inilah titik krusial dalam pemulihan Republik Indonesia.
Baca Juga: Bandung Juara Fashion, tapi Bukan Juara Kesetaraan Gender?
Kelahiran RIS dan Tantangan Persatuan
Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menghasilkan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, dibentuklah RIS. Namun, sistem federasi ini justru memecah belah bangsa. Ada 15 negara bagian yang muncul, sebagian besar buatan Belanda.
Keadaan ini menimbulkan keresahan rakyat, yang menilai RIS sebagai taktik Belanda untuk kembali menguasai Indonesia secara tidak langsung.

Melihat kondisi ini, Mohammad Natsir, sebagai Ketua Fraksi Masyumi di DPR RIS, mengambil langkah berani. Ia menyuarakan aspirasi rakyat dan melakukan lobi politik yang intensif kepada berbagai pihak, termasuk partai non-Islam.
Ia menyimpulkan bahwa negara-negara bagian ingin bersatu dengan Republik Indonesia asalkan dilakukan secara konstitusional, bukan dengan pembubaran sepihak.
Mosi Integral: Jalan Damai Menuju Persatuan
Puncaknya terjadi pada 3 April 1950, saat Natsir menyampaikan pidatonya yang monumental di Parlemen RIS, disusul dengan penyampaian “mosi integral”.
Inti dari mosi itu adalah menganjurkan kepada pemerintah untuk mengambil inisiatif menyusun konsep pemulihan negara secara integral.
Gayung bersambut. Untuk kembali pada bentuk Negara Kesatuan, Piagam Persetujuan antara RIS dan Republik Indonesia (Yogyakarta) ditandatangani pada 19 Mei 1950.
Pada 17 Agustus 1950, bertepatan lima tahun Proklamasi Kemerdekaan, RIS resmi dibubarkan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kembali ditegakkan.
Baca Juga: Plagiat dan Duplikat, 2 Hal Beda yang Mesti Dihindari Penulis Ayobandung.id
Warisan Tanpa Darah, Perjuangan Tanpa Peluru
Mosi integral Natsir menjadi titik balik sejarah Indonesia. Melalui jalur diplomasi, konstitusi, dan negosiasi tanpa kekerasan, Natsir berhasil menyatukan kembali Indonesia. Sejarawan dan tokoh agama pun sepakat, tanpa Natsir, NKRI mungkin hanya tinggal impian.
Arnold Mononutu berkata, “Tanpa Moh. Natsir, tidak akan ada Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.”
Ketua MUI Jawa Timur, KH Misbach, menambahkan, “Jika tidak ada Mosi Integral Natsir, akan terjadi bentrokan besar antar negara bagian.”
Jejak abadi seorang negarawan, mosi integral Natsir, adalah bukti bahwa politik bisa menjadi alat pemersatu, bukan pemecah. Ia menunjukkan bahwa diplomasi tanpa peluru bisa lebih kuat daripada kekuatan militer.
Maka tidak berlebihan jika Mohammad Natsir dikenang sebagai Bapak Pendiri Negara, negarawan yang menyatukan bangsa tanpa darah, hanya dengan pikiran, keyakinan, dan keberanian moral. (*)
TONTON, YUK! VIDEO MENARIK TERBARU DARI AYOBANDUNG: