Apakah kecerdasan buatan akan menjadi berkah atau bencana? Apakah kita sedang menciptakan alat bantu atau calon pengganti manusia itu sendiri?
Buku 19 Narasi Besar Akal Imitasi hadir sebagai undangan terbuka untuk merenungkan ulang arah perkembangan teknologi kecerdasan buatan yang kini kian membaur dalam hidup sehari hari.
Ditulis dengan pendekatan naratif dan filosofis, buku ini membagi gagasan besarnya ke dalam tiga kelompok utama yaitu narasi optimis, narasi kritis, dan narasi alternatif.
Narasi optimis membuka pembahasan dengan penuh harapan terhadap masa depan Artificial Intelligence (AI). Tokoh tokoh seperti Ray Kurzweil, Nick Bostrom, Andreessen, hingga Anderson menarasikan AI sebagai penolong manusia.
AI dipercaya mampu memperpanjang usia, menambah kecerdasan, bahkan membawa umat manusia menuju kehidupan yang lebih spiritual.
Dalam bayangan mereka, AI akan menjadi jembatan menuju masa depan yang lebih terang, efisien, dan tanpa batas. Pandangan seperti ini sangat kuat dalam narasi perusahaan teknologi global dan disambut baik oleh media arus utama.
Namun di tengah optimisme itu, buku ini juga menghadirkan narasi kritis yang layak direnungkan. Tokoh seperti Geoffrey Hinton, Yuval Noah Harari, hingga Habermas dan Frankfurt School mengingatkan bahwa AI juga menyimpan potensi bahaya serius.
Dari bahaya eksploitasi data hingga ancaman ketimpangan sosial yang makin melebar, narasi ini hadir untuk mengimbangi kegembiraan berlebih yang kerap menyertai setiap peluncuran teknologi baru.
Geoffrey Hinton misalnya menyebut AI sebagai bom atom kemanusiaan karena kekuatannya yang besar namun sulit dikendalikan. Sementara Harari memperingatkan soal oligarki algoritma yang dapat mengikis demokrasi dan kemanusiaan.
Pada bagian terakhir, narasi alternatif menjadi ruang tafsir paling reflektif dalam buku ini.
Berbasis pemikiran tokoh tokoh seperti Noam Chomsky, Derrida, Yuk Hui, Bernard Stiegler, dan Jalaluddin Rakhmat, pembaca diajak memandang AI dari perspektif budaya, bahasa, spiritualitas, hingga filsafat hermeneutika.

Dalam narasi ini, AI bukan sekadar mesin pintar, melainkan bagian dari jaringan realitas besar yang tidak netral. Teknologi dianggap memiliki arah ideologis dan menyimpan muatan tafsir tertentu.
Di sinilah pembaca ditantang untuk menggugat pandangan dominan dan menawarkan pendekatan baru yang lebih manusiawi, ekologis, dan kritis.
Struktur buku ini terdiri dari 19 bab yang ditulis berdasarkan pemikiran tokoh besar dunia, dimulai dari bab tentang singularitas hingga bab tentang jalan hidup kosmis.
Bab satu sampai empat berisi narasi masa depan yang menjanjikan.
Bab lima hingga sebelas menawarkan peringatan dan kehati hatian.
Sementara bab dua belas sampai sembilan belas menampung pemikiran alternatif yang mengusik nalar dan rasa.
Prolog di awal dan epilog di bagian akhir mengikat semua narasi dalam satu benang merah: bagaimana umat manusia memahami kembali akal, teknologi, dan masa depan secara lebih bijak.
Keunggulan utama buku ini terletak pada keberaniannya menghadirkan pluralitas pandangan. Bukan hanya menyajikan informasi, tetapi juga membangun kesadaran kritis bagi pembaca umum maupun akademik.
Penulis utamanya Dimitri Mahayana dikenal luas sebagai pendiri Sharing Vision, lembaga riset teknologi digital, serta Dosen STEI ITB. Sementara Agus Nggermanto aktif dikenal sebagai alumnus ITB pendidik matematika kreatif sekaligus penulis filsafat populer.
Kolaborasi mereka menjadikan buku ini padat namun tetap terasa akrab.
Meski demikian, tidak semua bagian buku ini mudah dicerna.
Beberapa bab mengandaikan pembaca telah akrab dengan pemikiran filsafat kontemporer seperti Stiegler, Gadamer, atau Derrida. Ini bisa menjadi tantangan tersendiri bagi pembaca umum yang belum terbiasa dengan literatur filosofis.
Secara keseluruhan, buku ini penting dibaca siapa saja yang ingin memahami AI tidak hanya sebagai perangkat teknis tetapi sebagai persoalan etika, budaya, dan arah kemanusiaan.
Buku ini mengajarkan bahwa membicarakan AI bukan hanya urusan ilmuwan komputer atau perusahaan raksasa, tetapi tanggung jawab kita semua sebagai manusia yang sedang menentukan masa depannya sendiri. (*)