Meski diguncang pandemi dan mengalami penurunan massa, skena musik keras di Bandung justru menunjukkan daya tahan luar biasa, bukan hanya bertahan, tapi juga berevolusi. (Sumber: Wikimedia Commons)

Ayo Biz

Long Live Metal: Skena Musik Keras Bandung Tak Pernah Mati

Jumat 24 Okt 2025, 19:24 WIB

AYOBANDUNG.ID -- Bandung, kota kreatif yang dikenal dengan semangat kolektif dan keberagaman budayanya, kembali membuktikan bahwa denyut musik metal dan hardcore di kota ini belum padam. Meski sempat diguncang pandemi dan mengalami penurunan massa, skena musik keras di Bandung justru menunjukkan daya tahan luar biasa, bukan hanya bertahan, tapi juga berevolusi.

Salah satu bukti paling nyata adalah gelaran Doomsday Open Air 2025 yang mengusung tema Rebirth From Ruin. Festival ini bukan sekadar panggung musik, melainkan simbol kebangkitan dan transformasi skena metal Bandung yang terus beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan identitasnya. “Dari kehancuran dan perbedaan, lahirlah energi baru yang lebih besar,” ujar Angga selaku Event Organizer Doomsday Open Air.

Ia menegaskan bahwa festival ini bukan hanya tentang nostalgia, tapi juga tentang membuka ruang bagi generasi baru dan genre baru untuk bersatu dalam semangat yang sama.

Lineup Doomsday tahun ini mencerminkan semangat tersebut. Nama-nama legendaris seperti BESIDE, BURGERKILL, JASAD, dan KOMUNAL tampil berdampingan dengan band-band muda seperti KALE, SUNBATH, dan DONGKER. Kolaborasi lintas generasi dan genre ini menjadi bukti bahwa skena metal Bandung tidak eksklusif, melainkan inklusif dan progresif.

Namun, di balik gegap gempita festival, muncul pertanyaan yang tak bisa dihindari, apakah skena musik metal dan hardcore di Bandung benar-benar sedang menurun? Angga tak menampik bahwa secara kuantitas, massa metal saat ini memang mengalami penurunan. “Memang secara secara kuantitas, masa metal saat ini memang turun. Entah kenapa,” ujarnya jujur.

Tapi ia menekankan bahwa esensi dari skena ini bukan hanya soal jumlah penonton, melainkan soal semangat berkarya dan solidaritas antar pelaku. “Band itu bukan hanya konser. Mereka tetap produktif bikin showcase, sharing session, atau gathering. Di Bandung tuh udah gak ada sekat. Bisa dikatakan no borders antara band pop, metal, hardcore. Kita tuh guyub,” tambahnya.

Fenomena “no borders” ini menjadi ciri khas Bandung. Banyak musisi yang bermain di genre berbeda, namun tetap memiliki akar yang sama dalam musik keras. Seorang gitaris metal bisa saja bermain di band pop, dan sebaliknya. Inilah yang membuat skena Bandung tetap hidup, fleksibel, cair, dan saling mendukung.

Yuli dari band death metal legendaris Jasad menyoroti peran fans sebagai elemen vital dalam menjaga eksistensi band. “Perhubungan batin si fans sama si band ini, bener-bener lebih terikat. Jadi merasa ini sudah menjadi bagian keluarga. Mereka berkata, Long Live Metal,” ungkapnya.

Ia juga mengingat kembali tragedi ACC tahun 2008, yang justru memperkuat solidaritas komunitas. “Dengan kondisi apapun, yang memang kejadian itu kan sudah suatu takdir. Tapi teman-teman fans tetap support agar band ini tetap bergerak,” katanya.

Deri dari band 510 menambahkan bahwa meski jumlah penikmat menurun, militansi fans musik keras tetap tinggi. “Kalau di musik underground, biasanya mereka memang militan. Itu tergantung gimana band-nya memaintain penikmatnya,” ujarnya.

Ia mencontohkan strategi kolaboratif seperti konser yang digagas bersama fans. “Mereka membuat semuanya, konsepnya dari mereka, kita main. Itu biar menjaga hubungan dan mereka juga merasa memiliki si band ini,” jelasnya.

Yang menarik, generasi Z di Bandung mulai menunjukkan ketertarikan baru terhadap musik keras. Meski tumbuh di era digital dengan algoritma yang mendikte selera, banyak Gen Z yang justru mencari keaslian dan energi mentah dari musik metal dan hardcore.

Festival seperti Doomsday Open Air menjadi pintu masuk bagi mereka. Dengan lineup yang beragam dan atmosfer yang inklusif, anak-anak muda ini menemukan ruang untuk berekspresi dan membentuk identitas di luar arus utama.

Tak sedikit pula Gen Z yang terlibat langsung sebagai panitia, relawan, bahkan musisi. Mereka tak hanya menjadi penonton, tapi juga pelaku. Hal ini menandakan bahwa regenerasi dalam skena metal Bandung sedang berlangsung secara organik.

Dukungan teknologi juga menjadi faktor penting. Band-band metal kini lebih mudah menjangkau audiens lewat media sosial, platform streaming, hingga kanal YouTube. Tren ini membuka peluang baru untuk eksistensi tanpa harus bergantung pada label besar atau media arus utama.

Namun, tantangan tetap ada. Persaingan dengan genre populer, perubahan pola konsumsi musik, hingga minimnya ruang pertunjukan menjadi hambatan yang harus dihadapi. Tapi seperti tema Doomsday tahun ini, dari kehancuran selalu ada ruang untuk kelahiran kembali.

Dengan tiga panggung berbeda, yakni Apocalypse x Destruction Stage, Madness Stage, dan Intimate Stage, Doomsday Open Air 2025 ingin menyampaikan pernyataan bahwa musik keras di Bandung masih punya tempat, masih punya suara, dan masih punya masa depan.

Produksi panggung yang megah, tata cahaya modern, dan visual artistik yang imersif menjadi pelengkap pengalaman emosional yang mendalam untuk tetap menunjukkan tentang perayaan hidupnya sebuah kultur yang terus bertransformasi.

“Jadi untuk nge-maintain posisi band, atau kelangsungan hidup band adalah tetap berkarya. Dan kita juga tetap menjalin komunikasi dengan band-band lain, dengan band luar kota juga, dan penggemar-pengemarnya juga tetap dijalankan,” pungkas Angga.

Alternatif produk fesyen skena musik metal atau UMKM serupa:

  1. https://s.shopee.co.id/AA8nJXxjlD
  2. https://s.shopee.co.id/1VqozdzOoa
  3. https://s.shopee.co.id/8zwpvRoBDd
Tags:
fans musik keraseksistensi bandhardcoremusik metalskena metal Bandung

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Reporter

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Editor