Ilustrasi. Deteksi dini anak berkebutuhan khusus masih menjadi isu mendesak di Indonesia. (Sumber: Freepik)

Ayo Biz

Deteksi Dini Anak Berkebutuhan Khusus, antara Keresahan Orang Tua dan Tantangan Penerimaan

Rabu 05 Nov 2025, 18:38 WIB

AYOBANDUNG.ID -- Deteksi dini anak berkebutuhan khusus masih menjadi isu mendesak di Indonesia. Meski pemerintah telah mendorong program skrining tumbuh kembang, kenyataannya banyak anak baru teridentifikasi setelah memasuki usia sekolah. Keterlambatan ini membuat banyak potensi anak terabaikan, sementara orang tua harus menghadapi kebingungan dan keresahan yang berlarut.

Data Kementerian Kesehatan 2023 menunjukkan prevalensi gangguan perkembangan pada anak usia dini mencapai lebih dari dua persen. Namun, hanya sebagian kecil yang terdeteksi sejak usia balita. Kondisi ini menimbulkan dilema besar bagi keluarga, karena semakin cepat diagnosis ditegakkan, semakin besar peluang anak untuk mendapatkan intervensi yang tepat.

Dokter terapis anak berkebutuhan khusus, Gemah Nuripah, menegaskan bahwa orang tua memegang peran utama dalam proses ini. Menurutnya, orang tua harus peka terhadap perkembangan bahasa, sosial, maupun perilaku emosi anak sejak dini.

“Diagnosis dini itu krusial. Dari situ kita bisa menentukan bagaimana terapi, stimulus, dan siklus terstruktur yang tepat,” ujarnya.

Namun, akses layanan deteksi dini tidak merata. Di kota besar, klinik tumbuh kembang relatif mudah ditemukan, sementara di daerah, fasilitas ini masih sangat terbatas. Akibatnya, banyak orang tua hanya bisa menebak-nebak kondisi anak mereka, atau bahkan menunda pemeriksaan karena keterbatasan biaya dan jarak.

Selain faktor akses, stigma sosial juga menjadi penghalang besar. Tidak sedikit orang tua yang enggan memeriksakan anak karena takut dicap atau dikucilkan. Oleh karena itu, Gemah menjelaskan bahwa stimulasi awal bisa dilakukan di rumah, bahkan sebelum anak masuk sekolah. Salah satu metode yang efektif adalah pola meniru.

“Anak akan sangat senang meniru. Dalam konsep meniru itu harus diperhatikan untuk dilatih meniru yang baik, nanti ini berkaitan juga dengan pengendalian emosi dan perilaku anak,” jelasnya.

Selain itu, pemberian hadiah sederhana juga bisa menjadi stimulus. Namun, ia menekankan bahwa metode ini harus dilakukan secara konsisten dan terstruktur. “Reward ini untuk sekadar terapi dan menstimulus anak agar bisa patuh dan mengerti jika perilakunya baik maka ia bisa mendapatkan feedback yang baik juga yaitu hadiah,” tambah Gemah.

Sayangnya, dukungan lingkungan sosial sering kali tidak sejalan dengan upaya orang tua. Data BPS 2024 menunjukkan, 17,85 persen penyandang disabilitas berusia di atas lima tahun tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Angka ini menegaskan bahwa hambatan sosial dan struktural masih kuat, meski wacana inklusi semakin sering digaungkan.

Padahal, banyak anak autis memiliki IQ rata-rata hingga tinggi, bahkan bakat khusus di bidang seni atau teknologi. Menurutnya, keterbatasan utama anak autis bukan pada intelektualitas, melainkan pada komunikasi dan interaksi sosial. “Sayang jika mereka memiliki IQ yang baik tapi harus ditempatkan di SLB,” ungkap Gemah.

Kemendikbudristek 2024 mencatat, lebih dari 38 ribu peserta didik berkebutuhan khusus di Jawa Barat. Sebagian besar masih bersekolah di SLB, meski jumlah di sekolah inklusif mulai meningkat. Namun, angka ini masih jauh dari harapan, mengingat jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia terus bertambah setiap tahun.

Bagi orang tua, dilema terbesar adalah memilih jalur pendidikan. Sekolah reguler sering kali belum siap menerima anak berkebutuhan khusus, sementara SLB dianggap terlalu membatasi potensi anak. Keresahan orang tua semakin berat ketika dukungan masyarakat minim. Banyak yang merasa sendirian dalam perjuangan.

“Kalau mereka sudah diterapi, mengerti, dan patuh mereka bisa terjun ke sekolah, tapi sekolahnya yang mengerti anak berkebutuhan khusus sebab mereka masih tetap memerlukan pendampingan,” kata Gemah.

Di sisi lain, laporan UNICEF dan Bappenas 2023 menegaskan bahwa anak-anak dengan disabilitas di Indonesia tertinggal dalam hampir semua indikator kesejahteraan, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga inklusi sosial. Hal ini menunjukkan bahwa isu deteksi dini tidak bisa dipisahkan dari persoalan struktural yang lebih luas.

Meski begitu, ada secercah harapan. Beberapa sekolah reguler di Bandung mulai membuka kelas inklusif dengan pendamping khusus. Langkah ini memberi ruang bagi anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama teman sebaya, sekaligus mengikis stigma yang selama ini melekat.

Media dan advokasi publik juga berperan penting. Dengan menghadirkan kisah nyata, data resmi, dan suara orang tua, isu ini bisa menjadi agenda sosial yang lebih luas. Kesadaran publik adalah kunci untuk mendorong kebijakan yang lebih berpihak.

“Memang anak autis harus diajarkan sepanjang hayat, tapi bagi mereka yang berpotensi dan memiliki peluang sudah selayaknya diberikan penerimaan dengan baik, terkhusus lembaga pendidikan sekolah regular," ujar Gemah.

Alternatif produk kebutuhan fashion anak atau UMKM serupa:

  1. https://s.shopee.co.id/Vy4lcN6Tc
  2. https://s.shopee.co.id/4ArN8NCriv
  3. https://s.shopee.co.id/3qEWjmIGfG
  4. https://s.shopee.co.id/2Vj99MePSO
  5. https://s.shopee.co.id/3AypwbjzaY
Tags:
inklusifdeteksi dinipendidikananak usia dinianak berkebutuhan khusus

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Reporter

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Editor