Banyak pihak memperkirakan China akan sederajat pada 2030 dan tiga perkembangan di atas menunjukkan perkiraan itu masuk akal. (Sumber: Pexels/Kaboompics.com)

Ayo Netizen

Membaca Kemana Konflik China-AS, Setelah Keseimbangan Tercapai

Selasa 20 Mei 2025, 13:35 WIB

Ditulis oleh Sjarifuddin Hamid

AYOBANDUNG.ID Ada tiga perkembangan yang menunjukkan China makin kokoh dalam persaingan dengan Amerika Serikat.

(1) Berhasil mendorong  pemerintahan Presiden Donald Trump untuk berunding membahas masalah tarif perdagangan di Jenewa, 11-12 Mei 2025.

(2) Presiden Xi Jinping tampil bersama Presiden Vladimir Putin, puluhan kepala pemerintahan, kepala negara serta para pejabat tinggi dari seluruh dunia untuk memperingati ulang tahun  ke 80  kemenangan dalam Patriotik Besar Uni Soviet di Moskow pada 9 Mei 2025. Mereka yang hadir umumnya mempunyai kerjasama ekonomi, perdagangan dan lain-lain dengan China dan Rusia. 

(3) Pesawat tempur J-10 Chengdu dan peluru kendali udara ke udara  buatan China berhasil menjatuhkan tiga pesawat Rafale buatan Prancis, satu Mig-29 dan sebuah SU-30 MKI dalam pertempuran udara Pakistan-India di atas Kashmir dan di berbagai lokasi lainnya,  pada 9-10 Mei 2025. Sebaliknya  satu AWACS Pakistan yang berada dalam hangar di  Bandara Bholari dihancurkan empat rudal Brahmos India.

Disebutkan keberhasilan Pakistan itu disebabkan karena kemampuannya mengkoordinasikan peran satelit, pesawat yang memiliki sistem pengendalian dini dan pengendalian udara (AWACS), markas  komando darat dan setidaknya 40 J-10 Chengdu.  

Puncak dari ketiga fakta itu adalah keteguhan kepemimpinan nasional China dalam menghadapi tekanan negara adidaya.

Pernah dikisahkan dalam perundingan dagang antara delegasi Amerika Serikat dengan Jepang di Tokyo, belasan tahun lalu. Seorang anggota delegasi AS yang merasa unggul, sengaja melipat-lipat kertas usulan lawannya menjadi burung-burungan.  Kemudian melemparkannya ke udara.  

Fenomena di atas tak terjadi dalam perundingan di Jenewa. Washington sepakat menurunkan bea masuk atas produk China dari 145% menjadi 30%. Sebaliknya China menurunkan bea masuknya dari 125% menjadi 10%. Padahal dalam perkembangan sebelumnya Presiden Trump melancarkan diplomasi verbal yang penuh tekanan.

Bandingkan dengan hasil perundingan Indonesia dengan  Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Washington menaikkan bea masuk untuk produk tekstil Indonesia, negara yang tergolong Most Favoured Nation (MFN), sebanyak 10% menjadi 47%. Selain itu berbagai produk ekspor Indonesia lainnya juga ditambah dengan 10%. Delegasi Indonesia gagal untuk menurunkan bea masuk dan malah ditambah. Dari 32% menjadi 47%.

Baca Juga: Jangan Biarkan Sungai di Bandung Jadi Noda Peradaban

Mengapa Berhasil?

Keberhasilan China untuk mengalahkan tekanan Amerika Serikat sebetulnya berpangkal dari keteguhan dan  konsistensi mencapai target dari para pemimpinnya. Dalam konteks ini patut disebut nama Zhou Enlai dan Deng Hsiao Ping, diikuti Zhang Zemin, Hu Jintao dan Xi Jinping . 

Mulanya  berawal dari Mao Zedong (26 Desember 1893). Dia merupakan pendiri RRC yang karismatik yang berhasil menghimpun seluruh rakyat untuk mencapai tujuan politik ekonomi   melalui pelaksanaan program yang penuh darah, airmata dan berbagai bentuk pengorbanan rakyat. Melalui program (1) Lompatan Jauh Ke Depan yang bertujuan mencapai perekonomian berdasarkan industri (1958-1962). (2) Gerakan Pendidikan Sosialis (1963) dan (2) Revolusi Kebudayaan (1966).  

Sekalian programnya itu sekalipun menuntut pengorbanan yang luar biasa dari mereka yang tidak setuju namun Mao, sebagai pendiri negara, masih dihormati hingga sekarang. Fotonya yang berukuran besar dipajang di atas pintu masuk Istana Terlarang, menatap Lapangan Merah dan mausoleum-nya yang dikunjungi ribuan orang setiap hari.

Beda dengan Zhou Enlai yang lebih sabar dan taktis, Deng sampai dua kali disingkirkan Mao karena perbedaan pandangan. Lagi-lagi Zhou yang menyelamatkannya.

Ketika Mao semakin uzur (73), Zhou membangun hubungan dengan AS dengan menerima Menlu Kissinger di Beijing pada 1969, yang melakukan lawatan rahasia dengan terbang tengah malam dari Rawalpindi, Pakistan.

Dalam konteks ini, AS memerlukan sekutu untuk menghadapi Uni Soviet di Eropa. Jadi dengan membangun hubungan baik dengan China, maka AS bisa mengurangi separuh kekuatan militernya di Asia Timur dan mengalihkannya ke Eropa. 

Puncak hubungan kedua negara ditandai dengan kunjungan Presiden Richard Milhous Nixon ke China  pada 21-28 Februari 1972. Normalisasi hubungan ini hampir gagal. Buat menyelamatkan perundingan Zhou Enlai mengajak makan malam Kissinger di restoran bebek panggang Quanjude di Wangfujing. Cerita ini sangat fenomenal.

Baca Juga: Serunya Pacu Kuda di Tegallega

Siapakah yang lebih memanfaatkan normalisasi ini?

AS vs China. (Sumber: Pexels/Kaboompics.com)

Sekutu-sekutu AS seperti Jepang segera mengadakan hubungan bisnis dan investasi. China mengambil manfaat seraya menerapkan peraturan yang ketat. Dampaknya, kedua pihak, tuan rumah maupun pendatang, mengambil keuntungan bersama.

Deng Xiaoping yang menjabat mulai 1982-1987 menyingkirkan ajaran-ajaran komunis yang tidak perlu dan membuka program investasi yang luas dan terbuka. Dia membuka kawasan ekonomi khusus di Fujian, Shantou, Shenzhen, Shanghai dan sebagainya. Lalu mengirim jutaan pemuda belajar ke negara lain, terutama Amerika Serikat. Tak heran jika mereka yang pernah ke Beijing mendapati para pegawai yang lancar berbahasa Inggris, Prancis, Jepang dan lainnya. Xi Jinping misalnya, fasih berbahasa Inggris.

Maka terjadilah alih teknologi. Para pemuda itu  kembali ke negaranya, dengan membawa keahlian tingkat tinggi di bidang teknologi hingga hukum bisnis. Nasionalisme-nya tidak luntur.     

Kebijaksanaan Deng secara konsisten diikuti para petinggi berikutnya. Terbuka terhadap investor asing tanpa menggadaikan kepentingan nasional, termasuk menembak mati para koruptor.

Kebijaksanaan itu sangat terencana. Belakangan, China bersama dengan Afrika Selatan, Rusia, India dan Brasil membentuk BRICS. Tujuannya menciptakan integrasi dan koordinasi ekonomi serta  geopolitik.

 Di samping itu China juga memprakarsai BRI (Inisiatif Sabuk dan Jalan) di Kazakhstan (September) dan Indonesia (Oktober) 2013. Pendekatan China terhadap lebih dari 135 negara berkembang semata-mata berpusat ekonomi dan investasi. Tetapi ketat dalam pembagian manfaat lantaran berprinsip mereka yang mengeluarkan dana lebih besar berhak memperoleh laba yang lebih besar. China juga memperoleh kesempatan menempatkan tenaga kerja dan  produk-produknya di proyek-proyek BRI.  Tampaknya konsep ini antara lain diberlakukan dalam pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung dan penambangan nikel di Halmahera Utara.

Baca Juga: Kutu Buku dalam Perayaan Hari Buku Nasional 2025

Sederajat Atau Melebihi?

Banyak pihak memperkirakan China akan sederajat pada 2030 dan tiga perkembangan di atas menunjukkan perkiraan itu masuk akal. Resikonya, AS akan menghindari berkompetisi langsung dengan China lantaran mendapat tantangan keras.

Sebagaimana biasa Washington dan sekutu-sekutunya akan mempertahankan dan mencari pasar dan  sumber daya alam yang baru, karena China juga berbuat hal yang sama. Dengan demikian Washington dan Beijing bakal bersaing di negara-negara ketiga antara lain, Pasifik Selatan, Laut China Selatan dan Indonesia, terutama di Papua.

Tidak berlebihan bila intensitas konflik terbuka maupun tertutup di negara ketiga akan meningkat pada tahun-tahun mendatang. Apalagi Rusia juga sudah lama bahkan belakangan minatnya diungkap lagi memiliki basis pangkalan militer dan peluncuran satelit di pulau Biak.

Seperti biasa, Indonesia tidak akan diganggu secara terbuka melainkan dengan aksi-aksi tertutup karena  mayoritas bangsa Indonesia mempunyai tingkat nasionalisme yang tinggi.  (*)

Tags:
Amerika SerikatKonflikASChina

Netizen

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor