Bayangkan, jika di antara kita bekerja keras untuk menghidupi keluarga. Tapi tiba-tiba, ATM kita menolak akses. Uang tak bisa ditarik. Saldo utuh, tapi tak tersentuh. Tak ada peringatan, tak ada penjelasan. Hanya satu pesan, “Transaksi tidak dapat diproses.”
Inilah wajah baru dari rasa tidak berdaya, bukan karena kekurangan uang, tapi karena negara (melalui sistem perbankan) tiba-tiba mencabut hak kita atas uang sendiri. Dengan alasan yang bahkan sama sekali tidak kita pahami.
Kita hidup di era digital, di mana teknologi, termasuk algoritma pendeteksi transaksi mencurigakan, disebut sebagai benteng melawan pencucian uang, pendanaan terorisme, dan kejahatan keuangan. Niatnya bagus. Tapi seperti pisau bermata dua, teknologi yang tak memahami konteks justru bisa memotong yang salah.
Tidak mustahil akan banyak rakyat biasa yang jadi korban sistem yang terlalu otomatis, terlalu kaku, dan minim empati. Dan inilah paradoks yang menggelitik: kita membangun sistem untuk melindungi masyarakat dari kejahatan, tapi sistem itu malah menciptakan ketidakadilan baru bagi yang paling rentan.
Masalah utamanya bukan niat, tapi cara. Saat algoritma jadi hakim dan jaksa, siapa yang memastikan keadilan ditegakkan? Sistem otomatis tidak bisa membedakan mana transaksi mencurigakan dan mana hasil panen, warisan, atau penjualan tanah. Dan ketika rekening diblokir, yang terjadi bukan perlindungan, tapi pemiskinan mendadak.
Sementara itu, kebutuhan hidup terus berjalan. Anak butuh susu. Dagangan butuh modal. Tapi rekening tetap terkunci, seolah-olah pelakunya penjahat kelas kakap.
Ironis, karena para penjahat keuangan sejati, dengan kuasa dan celah hukum di tangan, seringkali lolos. Yang terjerat? Justru mereka yang tidak tahu-menahu, yang hanya melakukan transaksi sehari-hari. Lebih ironis lagi, tak ada transparansi soal bagaimana sistem ini bekerja.
Tidak ada kriteria jelas soal nominal mencurigakan, atau pola transfer yang dianggap tidak wajar. Masyarakat berjalan di lorong gelap dan tak tahu kapan langkahnya akan menginjak ranjau kebijakan.
Solusinya saya pikir tidak begitu sulit, jika kita benar-benar ingin mengubahnya.
Pertama, transparansi proses. Setiap pemblokiran harus disertai pemberitahuan resmi dan alasan yang dapat dipahami.
Kedua, jalur banding yang cepat dan manusiawi. Masyarakat harus punya akses untuk membela diri tanpa harus melawan birokrasi berlapis.
Baca Juga: Investor Rugi, Negara Untung? Menakar Keadilan Pajak Kripto
Ketiga, edukasi publik yang massif, agar orang tahu batasan dan bisa menghindari jebakan tak sengaja. Dan yang paling penting: sentuhan manusia dalam sistem. Karena keadilan tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada mesin. Ada konteks, ada cerita, ada kehidupan nyata di balik setiap angka di layar.
Sedangkan negara punya tanggung jawab bukan hanya untuk melindungi dari kejahatan, tapi juga memastikan bahwa warganya tidak dikorbankan oleh sistem yang dibuat untuk menegakkan hukum. Jangan sampai demi mengejar penjahat, kita malah menembak rakyat sendiri.
Karena, kebijakan yang adil bukan hanya soal seberapa kuat ia menindak, tapi seberapa bijak ia membedakan dan memberi perhatian. (*)