Ada rasa bahagia yang tak tergantikan saat menerima kiriman video dari istri. Dalam video itu, Aa Akil, anak kedua (10 tahun), tampil membawakan pidato (kultum pertama) sebelum Tabligh Akbar bersama Ustadz Ucu Najmudin yang digelar Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Al-Amanah, Cileunyi, Bandung, Jumat (29/8/2025).
Sungguh membanggakan keberanian Faraz Mutawakil (biasa disapa di sekolah) bisa berdiri dan berbicara di depan banyak orang dengan penuh percaya diri.
Kultum pembuka pengajian bulanan di Masjid Al-Amanah itu disampaikannya menggunakan Bahasa Sunda, dengan tema Ngajaga Lingkungan.

Pudarnya Identitas Ki Sunda
Di tengah semakin jarangnya penggunaan Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari, penampilan ini menjadi pengingat berharga. Betapa tidak, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat menunjukkan menurunnya penggunaan Bahasa Sunda dari generasi ke generasi.
Dalam laporan Hasil Long Form Sensus Penduduk 2020, merinci angka penyusutannya dari Generasi Pre Boomer (lahir 1945 ke bawah) masih tinggi menggunakan bahasa daerah, khususnya Sunda, dengan persentase 84,73% di lingkungan keluarga.
Namun, Generasi Baby Boomer (1946–1964) menurun menjadi 79,9%. Generasi Milenial (1981–1996) tinggal 73,92%. Untuk Gen Z (1997–2012) semakin berkurang, 72,44%. Apalagi Generasi Post Gen Z (2013–sekarang) turun tajam hingga 63,99%.
Kemerosotan serupa terjadi pada penggunaan bahasa daerah di lingkungan tetangga (kerabat), Pre Boomer 83,06%; Baby Boomer 78,16%; Milenial 70,59%; Gen Z 70,96% dan Post Gen Z (alpha) 63,20%.
Ada banyak faktor yang menyebabkan penurunan ini mulai dari rasa minder, kekhawatiran orang tua karena dianggap berbahasa kasar, perkawinan lintas etnis, hingga orang tua yang tidak lagi menggunakan (mengajarkan) Bahasa Sunda di rumah.
Jika tren ini terus berlanjut, Basa Ibu bukan hanya semakin jarang digunakan, justru bisa mengancam runtuhnya identitas budaya Sunda itu sendiri. (detikJabar, 7 Maret 2023 06:45 WIB).

Memang keberadaan Ki Sunda (bahasa, aksara, sastra, agama) tinggal menanti sang penjemput ajal tiba. Ibarat pepatah, hidup enggan mati tak mau.
Pasalnya, kehadiran mojang-jajaka selaku generasi penerus sekaligus penjaga khazanah kesundaan tak mau belajar bahasa Sunda. Sekedar contoh, kaula muda lebih bangga berkomunikasi dengan bahasa persatuan (Indonesia ala Betawi) di Tanah Pasundan.
Padahal Ajip Rosidi pernah memprediksikan kemungkinan hilangnya bahasa Sunda dari muka bumi ini. Dengan menuliskan, "Menurut perhitungan para ahli, saat ini ada sekitar 6.000 bahasa di dunia. Pada akhir abad ini, jumlah itu akan tersisa sekitar setengahnya. Artinya, 3.000 bahasa akan punah pada abad ke-21. Itu berarti 30 bahasa hilang setiap tahun, atau sekitar dua setengah bahasa lenyap setiap bulan. Dengan kata lain, kira-kira setiap 10 hari ada satu bahasa yang menghilang dari dunia. Bahasa Sunda termasuk dalam antrean bahasa yang terancam punah, karena orang Sunda sudah tidak mau lagi berbicara menggunakan bahasa Sunda.”
Sungguh kekhawatiran itu terlahir dari kecintaan terhadap nilai-nilai kesundaan yang kian pudar. Hal itu tampak dari penggunaan bahasa Sunda di masyarakat luas yang semakin hari semakin memprihatinkan (Majalah Cupumanik, No. 11, Juni 2004: 23 dan Pikiran Rakyat, 30 Mei 2005).
Hal penting yang perlu disadari semua pihak terkait budaya dan bahasa daerah adalah masalah pewarisan. Rosidi (2006: xiv–xvii) menyebut pewarisan mencakup dua hal. pewarisan keterampilan dan pewarisan apresiasi kepada generasi muda. Budaya, termasuk kesenian, tanpa apresiasi akan perlahan punah.
Dalam konteks bahasa Sunda, Wahya dan Adji (2016: 81–82) menegaskan penerusan antargenerasi menjadi salah satu faktor kegagalan pengajaran bahasa Sunda di Jawa Barat. Banyak orang tua, terutama di perkotaan, jarang mengajak anak-anaknya berbahasa Sunda.
Di sekolah pun, anak-anak lebih sering menggunakan bahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan teman, guru, maupun petugas sekolah. Kehadiran sekolah ternyata belum mampu menjadi wadah pembelajaran bahasa daerah secara optimal tanpa dukungan orang tua dan masyarakat.
Fenomena ini terjadi merata di kota-kota besar, termasuk Bandung. Karena itu, orang tua dan masyarakat dengan penuh kesadaran perlu membantu anak-anak belajar bahasa daerah. Tanggung jawab ini tidak bisa dilepaskan begitu saja.
Dunia pendidikan, sebagai salah satu jalur pewarisan budaya dan bahasa, harus menghadirkan bahasa daerah sebagai mata pelajaran dengan alokasi waktu yang memadai, terutama di perkotaan, di mana peran orang tua semakin berkurang.
Lauder (2015) mengutip laporan UNESCO yang menyebutkan hanya 30% bahasa di dunia yang mengalami penerusan antargenerasi. Dengan demikian, 70% bahasa di dunia tidak lagi diwariskan kepada generasi berikutnya dan terancam punah. Fakta ini jelas harus menjadi perhatian serius masyarakat global.
Untuk itu, pengembangan, pembinaan, dan perlindungan bahasa serta budaya Sunda di berbagai daerah perlu segera dilakukan, berlandaskan kebijakan pemerintah pusat maupun daerah. Tanpa langkah nyata, bahasa Sunda berisiko tidak lagi dikenal oleh anak-anak sebagai generasi penerus.
Menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menggunakan bahasa Sunda memang bukan perkara mudah, karena menyangkut sikap berbahasa. Untuk itu diperlukan berbagai upaya, baik di sekolah, rumah, maupun lingkungan masyarakat, agar sikap positif terhadap bahasa Sunda dapat tumbuh dan berkembang (Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat UNPAD, Vol. 4, No. 3, 2020: 1–6).

Menggali Potensi, Raih Prestasi
Ihwal penampilan kultum pertama ini tidak bisa dilepaskan dari proses panjang latihan yang penuh kesungguhan dan keseriusan. Semua itu berawal dari keikutsertaannya dalam lomba Biantara Putra (Pidato Bahasa Sunda) pada ajang Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) Tingkat Kecamatan Cileunyi yang digelar di SDN Percobaan Bandung, Sabtu (23/8/2025).
Berkat dorongan, arahan, bimbingan dan kerja sama para guru, terutama Bu Dedeh lahirlah prestasi yang membanggakan sekolah. Juara 3.
Usai lomba, potensi anak ini terus digali dan diberi ruang untuk berkembang, khususnya dalam upaya melestarikan Bahasa Sunda sejak dini.
Ketika guru meminta izin untuk mengikutsertakan siswa kelas lima ini dalam Tabligh Akbar, muncul keraguan dari istri yang khawatir anaknya tidak percaya diri menghadapi suasana dengan peserta (ibu-ibu, bapak-bapak, siswa SD, SMP) lebih banyak dan lingkup lebih luas.
Namun, berkali-kali guru meyakinkan bocah ini memiliki potensi lebih dibandingkan rata-rata siswa lainnya. Karena itulah pihak sekolah wajar mempercayakan kesempatan berharga ini kepadanya.
Sepulang sekolah, Aa bercerita tentang pengalamannya tampil sebelum Tabligh Akbar. Bersama Fakhri, menyampaikan kultum dalam Bahasa Sunda dan Indonesia.
Acara sebelumnya diawali dengan pembukaan oleh Jelita Delianda dan Naazira Queenza, lalu dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an oleh Alvin Caniago. Setelah itu, barulah Aa ke depan tampil (tempat mimbar) untuk menyiapkan bahasan Ngajaga Lingkungan.
“Aa sempat grogi saat dipanggil tampil. Awalnya Aa pikir tidak banyak orang yang akan menonton dan tidak akan terhibur. Ternyata banyak yang hadir, bahkan mereka tertawa ketika Aa membacakan pantun,” ujar Aa dengan wajah lega.

Belajar Muhasabah di Majlis Ilmu
Dalam tausiyahnya, Ustadz Ucu Najmudin mengangkat tema “Mendidik dengan Cinta, Merawat Amanah Allah dengan Bahagia.”
Isti menuturkan bahwa penyampaian materi diawali dengan satu pertanyaan reflektif, “Benarkah kita sedang mendidik dengan cinta, atau sekadar menuntut tanpa jiwa?”
Pesan yang disampaikan mengandung pelajaran mendalam tentang hakikat cinta. Ustadz Ucu mengingatkan, ketika kita mencintai dengan keikhlasan, maka melepaskan bukan lagi menjadi peristiwa yang sulit.
Pasalnya, cinta sejati adalah cinta yang berlandaskan ridha Allah, bukan sekadar hasrat memiliki. Dalam cinta seperti itu, sabar, pengorbanan tidak lagi terasa sebagai beban, melainkan bentuk pengabdian. Ikhlas menuntun kita agar tidak terikat pada dunia, dan sabar membimbing kita untuk menerima segala ketetapan-Nya dengan hati yang lapang.
Mudah-mudahan kita dapat mengambil hikmah dari kajian ini menjadi penguat bagi kita semua untuk terus melangkah (maju, terdepan) di jalan-Nya dengan penuh keikhlasan, kesabaran, dan pengorbanan.
Ingat, saat hadir di majlis ilmu bukan sekadar tempat (ruang) berkumpul untuk mendengar ceramah, justru menjadi media yang dapat menghadirkan cahaya petunjuk dan ketenangan hati.
Ya, apa yang disampaikan Ustadz Ucu Najmudin tentang “mendidik dengan cinta dan merawat amanah Allah dengan bahagia” menjadi bukti atas majlis ilmu sebagai ladang untuk menumbuhkan keikhlasan, merawat (mengembangkan) kesabaran, dan meraih cinta sejati.
Di (dari) majlis ilmu, kita belajar cinta bukan sekadar rasa memiliki, melainkan pengabdian yang dilandasi ridha Allah. Di sinilah hati ditempa untuk ikhlas melepas, sabar menerima, dan tulus berkorban. Setiap nasihat yang lahir dari majlis ilmu ibarat pelita, membimbing, memberi arah kepada kita agar tetap teguh di jalan-Nya.
Dengan demikian, majlis ilmu tidak hanya menambah pengetahuan, wawasan, justru memperhalus jiwa, menguatkan iman, dan menumbuhkan cinta yang benar kepada Allah, alam, lingkungan dan sesama umat manusia.
Inilah esensi dari majlis ilmu. Ya selalu belajar (haus) mencari ilmu, mengamalkan (mempraktikkan) apa yang sudah didapat. Mari menyimpan hikmah dalam hati, lalu menyebarkan risalahnya sebagai cahaya bagi kehidupan sehari-hari. (*)