Gaya hidup yang ramah lingkungan kerap dibayangkan secara terbatas pada diet vegan yang serbasayur dan buah, tisu eco-friendly, atau hobi bersepeda yang dipandang lebih green vehicle. Sedotan stainless lebih dikagumi karena bisa digunakan ulang ketimbang yang berbahan plastik. Apalagi punya nilai tambah estetika daripada sedotan murahan yang warna-warni.
Promosi praktik kecil sehari-hari memang penting, terlebih melihat tantangan krisis iklim yang makin parah. Namun benarkah kita sedang benar-benar mendorong cara hidup yang lebih lestari? Atau lagi “jualan” gaya hidup elitis yang tidak peka pada masalah kelas yang menyertainya?
Pada akhirnya melakukan aksi penyelamatan bumi terkesan mahal. Atribusi pro-lingkungan hanya tersemat pada segilintir orang atas. Akses yang terbatas justru melanggengkan pandangan bahwa rakyat tiak punya komitmen luhur untuk mencintai lingkungan. Malah citra kumuh dekat sekali dengan kehidupan mereka. Orang miskin dipandang sebagai massa yang tidak bertanggung jawab dalam mengelola sampahnya sendiri.
Atas dasar itu bicara praktik-praktik kecil saja tidak cukup. Narasi yang dibingkai harus berpihak pada rakyat yang paling terdampak, tepatnya mereka yang dimiskinkan akibat eksplotasi alam besar-besaran. Bukan malah memperkuat posisi para pemodal, yang membersihkannya dari dosa-dosa ekologis.
Dengan begitu narasi ekologis yang lahir lebih bisa menjangkau banyak orang. Termasuk mempertimbangkan aspek penting yang mudah diduplikasi oleh orang biasa.
Bukannya menawarkan solusi paradoksal, membersihkan bumi dengan gaya hidup yang konsumtif. Membangun peta jalan pendidikan ekologi yang rumit, butuh biaya, dan ekslusif. Rakyat dituding-tuding dan dikoreksi, menjadi target pembinaan tanpa sensitivitas masalah ekonomi.
Di tengah lautan label dan jenama, yang meletakkan kualitas diri pada harga dari barang-barang yang kita kenakan. Gelombang pemasaran canggih datang membawa biang masalah baru dengan nama seperti netral karbon, tanpa emisi, dan donasi hutan. Termasuk memperlengkapi merek baju, gawai, sampai kopi yang tidak mau dibilang keren saja tanpa mengikuti tren dengan klaim produk hijaunya.
Menengok Hidup Rakyat

Coba tengoklah bapak-bapak yang pergi ke kebun. Mereka memakai baju olahraga bekas anaknya dahulu sekolah. Kadang juga jersey bola atau kaus partai yang sudah pudar. Termasuk ibu-ibu yang tetap setia memakai daster koyak kesayangannya. Bagi mereka pakaian cukup berguna buat menutup badan bukan validasi sosial. Mereka menolak patuh pada strandar hidup yang dijual oleh para kapitalis.
Potret teladan yang sederhana ini tertinggal di kampung dan gang-gang sempit di pinggiran kota. Caping pengayuh becak yang ditambal kain dan gantungan jemuran putar yang terwariskan dari generasi ke generasi, tidak pernah ada dalam pamflet kampanye biru.
Tapi nyatalah hal seperti ini yang menjelma jadi etos keugaharian, yang tiak ada di etalase toko kekinian. Rakyat telah berbuat banyak dengan menanggalkan rasa gengsinya, bertahan di tengah gempuran perang pasar yang terbuka. Bukankah praktik seperti ini yang lebih mudah ditiru banyak orang?
Belum lagi soal tali dari karet ban dalam bekas yang telah menjaga sayur-sayur hasil panen sehingga tak tumpah. Barang yang sama telah menambal pipa saluran air warga dan dirakit menjadi ketapel.
Lebih dari kreatif, begitulah cara rakyat membangun resiliensi meskipun tanpa intervensi program penyuluhan daur ulang yang anggarannya besar. Tapi kembali lagi ke akar persoalannya, siapa yang berkepentingan dengan hidup rakyat?
Gubuk di ladang dan pos ronda yang dindingnya terbuat dari banner kampanye politik atau iklan produk pabrikan, mungkin membuat kita menyeringai. Suka tidak suka, justru hal seperti inilah yang menunjukkan keberanian mempraktikkan efisiensi ala lokal.
Dengan daya inovasi yang tak terbatas, rakyat mengambil barang yang tersedia di sekitar lalu menggunakannya kembali. Tidak ada pertimbangan “Ah gak estetik! Gak kalcer!”. Sebab dalam alam pikir mereka bukan kriteria instagrammable, tapi kehidupan yang layak diperjuangkan tanpa harus konsumsi berlebihan. Sayangnya pabrik-pabrik akan banyak yang gulung tikar kalau model ini yang terus disosialisasikan.
Daerah pinggiran telah banyak mengingatkan kita. Lewat prank lucu-lucuan, seperti kaleng biskuit yang berisi rengginang atau wadah es krim yang ketika dibuka ada ayam ungkepnya. Tapi bisakah kita mengerti sekali lagi, bahwa semuanya tampak sederhana kalau tidak membawa rasa gengsi?
Tamparan buat kita sendiri yang selalu check-out karena tergiur promo wadah-wadah baru yang katanya mendukung daur ulang. Padahal galon bekas yang disulap jadi pot tanaman atau ember cat yang kemudian jadi tempat cuci piring, bukan cuma mengajarkan hemat tapi kesadaran mendalam dan kritik pada greenwashing yang menjebak.
Kekuatan Lokal

Estetika lokal bukan melulu batik dan kain adat yang dibeli tiap mau pergi ke hajatan. Tapi juga tentang cara hidup yang tidak mau tergoda dengan bujuk rayu iklan di aplikasi.
Estetika lokal menggandeng nilai etik dengan menolak fast fashion yang menuntut kebaruan model. Inilah seni bertahan dari budaya konsumtif yang merongrong ketangguhan ekonomi rakyat. Praktik ini yang seharusnya didokumentasikan dan disebarkan seluas-luasnya.
Jika kita punya gagasan tentang memerdekakan bumi, seharusnya kita juga merebut kembali kemerdekaan kita untuk benar-benar bisa pakai barang sampai rusak, merasa cukup, dan tidak lagi terbawa arus gaya hidup yang menguras dompet dengan dalih pindai kode batang, bayar nanti, COD, atau pinjaman daring. Naas, negara belum merespons masalah ini dengan serius.
Di samping kerja advokasi yang mutlak harus didukung, mulai sekarang kita yang punya komitmen pada nasib dunia yang lestari akan berjalan dalam keputusan yang wajar. Melaluinya kita akan merengkuh rakyat sebagai sumber pengetahuan yang otentik dalam merawat bumi.
Kita tidak mau lagi jadi pribadi yang muluk-muluk. Jadi kalau besok-besok melihat orang yang mengelem sendalnya yang putus, kita akan menghargai dan mengikuti. Termasuk memandang dengan penuh rasa hormat pada profesi bengkel payung, patri panci, dan tukang sol sepatu, sebagai perjumpaan yang ciamik antara cara rakyat mendukung alam dan bertahan dari kemiskinan struktural.
Sebab dengan memutus jarak dengan rakyat, kita sedang belajar terus. Meneguk kebaikan untuk hidup yang lebih waras di dunia yang sudah kenyang dengan iming-iming gengsi dan klaim paling peduli bumi. Setelah membaca ulang kehidupan marginal, beranikah kita menantang rasa malu bahwa baju tahun lalu masih pantas dipakai?
Gengsikah kita pergi ke mana dengan membawa tempat minum sendiri tanpa harus mencari barang yang branded terlebih dahulu? Dalam keputusan-keputusan kecil inilah kita diuji. Dengan menggunakan barang-barang seperti ini juga sejatinya kita sedang melawan sistem yang bikin kita boros dan membuat bumi rusak. Begitulah pentingnya praktik yang membumi, menyehari, dan tulus apa adanya. (*)