Sunda dan Buddha, berima dalam lafal, membentuk purwakanti basa. Ada apa di antara keduanya? Kita hampir saja menjawab tidak tahu. Entah karena dianggap kurang menarik, atau sekadar kosong tanpa komentar.
Inilah underexplored. Jaclyn Rekis dalam Religious Identity and Epistemic Injustice: An Intersectional Account (2023) bilang bahwa pengalaman dan pengetahuan minoritas — dalam hal ini relasi Sunda dan Buddha — tidak dianggap cukup penting atau kredibel untuk diperhatikan.
Jadi memang bukan karena ditolak, tapi lebih karena kurang mendapat perhatian. Meskipun akhirnya tetap saja membuat wacana ini ada di pinggiran.
Catatan Awal Masyarakat Sunda
Padahal, dunia Buddhisme justru menjadi salah satu sumber utama bagi kita yang mau memahami kehidupan masyarakat Sunda awal. Kita bisa tahu berita dari seorang bhikkhu asal Tiongkok yang bernama Fa-Hsien. Ia yang menempuh perjalanan jauh ke India sebelum akhirnya singgah di Pulau Jawa pada tahun 414.
Akibat armada yang membawanya menghadapi badai laut yang dahsyat, berlayar sembilan puluh hari penuh gelombang dan angin. Hingga akhirnya 200 orang ini tiba di negeri yang disebut Ya-va-di, atau Yava Dwipa. Di sana, Fa-Hsien melihat tiga lapis religiusitas yang berkembang. Ada agama para Brahmana yang dominan, dan agama rakyat yang dianggap sebagai aneka bentuk kekeliruan, sedangkan Dhamma Buddha sedikit dipeluk oleh beberapa kalangan saja.
Kisahnya seru dan menarik. Kini kita dapat membaca catatan perjalanannya itu secara lengkap melalui terjemahan James Legge dalam A Record of Buddhistic Kingdoms: Being an Account of The Chinese Monk Fâ-Hien of His Travels in India and Ceylon (A.D. 399-414) in Search of The Buddhist Books of Discipline (1886).
Cupu Manik Astagina
Sang Hyang Batara Tunggal memiliki sebuah benda berkilau bagai emas, menyerupai bokor bertutup yang dapat menyingkap segala kejadian di bumi dan langit.
Benda pusaka itu diwariskan ke Batara Surya, lalu ke Dewi Indradi, hingga akhirnya berada di tangan putrinya, Dewi Anjani. Ketika Guarsa dan Jaka Wilantara sebagai saudara Dewi Anjani menginginkannya, Resi Gotama sang ayah menanyakan asal benda tersebut.
Dewi Indradi memilih diam pada suaminya, karena tahu itu adalah pemberian Batara Surya akibat percumbuannya. Murka oleh keheningan, Resi Gotama mengutuk istrinya menjadi patung bisu dan membuang pusaka itu ke telaga.
Tiga bersaudara lalu saling berebut benda yang terbuang. Jaka Wilantara dan Guarsa menyelam hingga tubuh mereka berubah menjadi kera, dikenallah Sugriwa dan Sobali. Dewi Anjani hanya mencuci muka, sehingga wajahnya yang berubah menyerupai kera. Dari peristiwa itu mereka tersadar, bahwa keserakahan telah membelenggu dan keinginan tanpa kendali selalu membawa malapetaka (Ensiklopedi Sunda, 2000).
Kini ia pun muncul kembali sebagai ikon penghargaan bergengsi di panggung Binokjakrama Padalangan, diburu dalang, di bawah naungan Yayasan Padalangan Jawa Barat sejak 1961.
Cupu sendiri adalah wadah mungil portable untuk menyimpan harta berharga seperti emas, manik-manik, atau jimat. Manik Astagina merujuk pada delapan sudut yang membentuknya dan memancarkan kerlip yang indah. Delapan sudut itu bukan sekadar reka-reka estetika, ia adalah simbol kedalaman ajaran yang menuntun setiap makhluk untuk memperoleh pembebasan yang sejati. Kamus modern Sunda menyebut kondisi ini sebagai sunyaruri, alam nirwana.
Nanang Supriatna dalam Cupu Manik Astagina Radar dina Pawayangan (Galura, 19 Desember 2023) menuliskannya sebagai berikut.
Dalam bahasa populer dikenal ‘Jalan Mulia Berunsur Delapan’, sebuah jalan tengah yang diajarkan langsung oleh Sang Buddha. Ia adalah pijakan hidup yang menyingkirkan penderitaan tanpa mau terseret ke dalam kesenangan indrawi yang dangkal maupun penyiksaan diri yang menyakitkan.
Ucapan, perbuatan, dan mata pencaharian membentuk sīla, fondasi moral bagi hidup yang jujur dan penuh kebaikan. Usaha, perhatian, dan konsentrasi membangun samādhi, menenangkan pikiran dari nafsu dan kebencian. Pikiran dan pemahaman yang benar menumbuhkan paññā, kebijaksanaan yang berpadu dengan kasih.
Jalan ini bukan sekadar doktrin atau ritual. Dalam skema Empat Kebenaran Mulia, ia laksana peta yang menenun etika, disiplin mental, dan kebijaksanaan sebagai sebuah paket cara hidup yang menuntun manusia menembus kegelapan ilusi. Ia mengajak kita menyelami hakikat realitas dan menemukan nirvāṇa yang mengalir sebagai damai, terang, dan kesadaran penuh (Walpola Sri Rahula, What the Buddha Taught, Edisi Revisi, 1974).
Dari Unur di Batujaya ke Kiprah Sang Su Kong
Di samping kristalisasi ajaran Buddha yang sudah menjelma menjadi budaya warga. Kita juga dipertemukan dengan situs percandian Batujaya di Karawang, Jawa Barat.
Kompleks ini dibangun antara abad ke-6 hingga ke-10 M, menyembunyikan banyak unur, sebutan masyarakat lokal untuk gundukan tanah kecil yang menyimpan reruntuhan candi. Unur Jiwa, Unur Blandongan, dan Unur Serut menjadi saksi bisu yang perlahan membuka lapisan sejarah panjang kawasan tersebut.
Berdasarkan penelitian panjang sejak 1985 hingga 2006, Hasan Djafar menunjukkan bahwa candi-candi bata di Batujaya menghadirkan artefak buddhis seperti tablet terakota, segel beraksara Pallawa-Sanskerta, hingga prasasti emas dengan teks Pratītyasamutpāda Sūtra yang menandai hadirnya Buddhisme Mahayana awal dalam lingkup Tarumanagara.
Kajian ini terekam apik dalam disertasinya dan diterbitkan sebagai buku Kompleks Percandian Batujaya: Rekonstruksi Sejarah Kebudayaan Daerah Pantai Utara Jawa Barat (2010), yang menegaskan bahwa Batujaya telah hadir sebagai simpul penting dalam perkembangan ajaran Buddha di Tanah Sunda.

Sunda dan Buddha kerap dilihat laksana bayangan yang jauh di cakrawala. Tarumanagara, percandian Batujaya, dan kisah wayang, semua tampak romantis, seolah Buddha hanya bersemayam di reruntuhan masa lalu. Tidak mengherankan, sebab sejarah Buddha di Nusantara sendiri sempat terhenti setelah kedatangan Islam dan kolonialisme yang membuatnya terpinggirkan. Sebelum akhirnya lahir kembali lewat gerakan teosofi pada abad ke-19.
Dari konteks inilah, Y. A. Maha Nayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita (1923-2002) tampil sebagai tokoh kunci kebangkitan Buddha di Indonesia pascakolonial.
Berawal dari keterlibatannya di Perhimpunan Pemuda Teosofi, ia menempuh pendidikan Buddha di Burma dan ditasbihkan sebagai bhikkhu Theravada pada 1954, lalu kembali ke tanah air untuk mendirikan Perbuddhi pada 1958. Kepemimpinannya ditandai oleh upaya mempertemukan antara tradisi Theravada dan Mahayana serta adaptasi ajaran Buddha dengan iklim politik Indonesia.
Lahir di Bogor bagian dari Tanah Sunda. Dengan nama kecil The Boan An, ia sejak muda sudah akrab dengan keheningan Gunung Gede. Lereng dan bukit menjadi guru sunyi yang menempanya dalam laku batin. Di antara kabut dingin Pacet dan gemericik mata air pegunungan, ia menemukan tempat berlabuh.
Pada 1970, berdirilah Vihara Sakyawanaram di kaki gunung. “Saya merasa cocok dengan lembah ini,” tuturnya, seolah mengakui alam Sunda sebagai bagian dari perjalanan spiritualnya. Menjelang senja hidupnya, ia memilih menetap di sana hingga abunya pun disemayamkan (data.tempo.co); (sakyawanaram.wordpress.com).
Buddha di tanah Sunda bukan sekadar kisah purbakala, melainkan sungai yang terus mengalir dari bihari hingga kiwari. Tokoh besar yang menerima Bintang Mahaputra Utama sebagaimana Keppres RI No. 056/TK/2005 ini, juga melibatkan Bandung kota modern Sunda sebagai binar cahaya perjuangannya. Vihara Vimala Dharma adalah saksi yang berdiri sejak 1959, menjadi pusat konsolidasi perkembangan Buddha di Indonesia yang sebelumnya berada di Jawa Tengah.
Kamus Memantik Pencarian
Sunda dan Buddha bergelayut dalam diam yang teduh. Keduanya seakan bersepakat untuk menjauh dari hiruk-pikuk sengketa mencari muka. Mereka lebih memilih sunyi sebagai bahasa kebijaksanaan. Aku, cendekia kecil di dunia studi agama, dibuat tertegun bahkan tersipu malu melihat semua ini. Aku hanya bisa kembali setia menelusuri data dan cerita.
Kulemparkan celik mataku kini pada arsip digital Dictionary of the Sunda Language of Java (1862). Di sana, pada lema ‘religion’, kususuri jejak kata yang pernah dilombakan oleh Perkumpulan Batavia. Kutemukan lagi satu coretan ‘Auda’ katanya, sebutan bagi Buddhisme.
Jonathan Rigg, sang penyusun kamus, menuliskannya sebagai agama yang dikenali orang Sunda sebelum mereka mengenal Islam. Seketika getir dan kecewa menyusup padaku. Inilah iatrogenik yang kutemukan untuk kesekian kalinya.
Dalam kalut itu lahir keyakinan baru dalam diriku. Sekarang aku percaya bahwa catatan ini bisa menjadi pintu untuk menelusuri lebih banyak lagi lapisan relasi Buddha di dalam budaya Sunda. Aku kembali bersemangat.
Di tempat yang tak jauh dari lokasi vihara Su Kong memadamkan hasrat terakhirnya, tubuhku tertiup angin. Ia membangkitkan ingatan dingin pada ubin Vihara Vipassana Graha, pusat meditasi terbesar di Jawa Barat. Deret biara itu menghadirkan pemandangan kebersahajaan. Para bhikkhu mengayunkan sapu lidi tiap pagi dan sore, membersihkan dedaunan yang gugur, diiringi seekor kucing yang mengikuti langkah mereka.
Lembang, Bandung yang sama juga menaruh Vihara Kusalayani, biara hening yang menjelma rumah bagi para bhikkhuni, perempuan religius yang memilih hidup selibat.
Sunda dan Buddha, izinkan aku mengabadikanmu dalam tulisan. Menunjukkan pada dunia bahwa Sunda milik semua orang. Semoga ada yang membaca, semoga ada yang mencerahkan ketidaktahuan kita semua. Semoga semua makhluk hidup berbahagia. (*)