Di YouTube, RIFIRDUS menjadi kanal animasi yang berhasil menangkap keseharian orang muda Sunda kiwari, dari satir ekonomi sampai kebiasaan kecil yang mungkin bikin kita tersenyum sendiri. Kanal ini aktif sejak 24 September 2016 dengan 995 ribu subscriber dan lebih dari 234 juta tayangan.
RIFIRDUS menampilkan animasi bergaya kartun, misalnya karakter yang terinspirasi dari Upin dan Ipin tapi diplesetkan ke versi Sunda. Tokohnya, seperti Ucup, Ecep, dan Jarot Sigh. Mereka bercanda, berinteraksi dengan sebaya, dan mengatur ulang relasi sosial dengan obrolan dan humor yang khas. Seperti barudak ngora Sunda pada umumnya.
Jarot Sigh bukan sekadar parodi dari Jarjit Singh. Ia adalah tokoh yang hidup di antara tawa dan kekacauan, setiap pantunnya membuka celah humor yang rasnaya Sunda banget. Penulisan namanya “Jarot Sigh” jelas sebagai usaha membumikan karakter ini ke lidah Sunda, dengan patka merahnya yang tetap mencolok sebagai tanda seorang Sikh.
Jarot juga mempertahankan logat Melayu, meski kini sudah disesuaikan dengan gaya tongkrongan kita. Penuh bahasa loma, ejekan, dan kesan nakal yang justru menjadi simbol keakraban. Seru dan menghibur.
Video-videonya
Dalam salah satu video, “Djarot Sigh Main Mobile Legends Moment”, Jarot meluncurkan pantun “dua tiga jalan belok, aing ngiluan goblok”. Salah seorang teman menegurnya karena pantun itu dianggap pamali yang bisa menyebabkan bisul, sementara teman lain menambahkan komentar “masuk neraka.” Adegan ini menampilkan Jarot yang lugu, sekaligus jadi korban perundungan halus. Ia disingkirkan dari permainan sebaya, akunnya di-ban, dan hp-nya dihina “kentang.”
Di kolom komentar, @adensajah4927 mengabadikan momen ini dengan “2,3 Djarot sing si Jarot beuki ngising,” menandakan cara warga menertawakan sekaligus merangkul karakter ini.
Humor Jarot tak melulu digambarkan sebagai ejekan atau kekonyolan biasa. Di video “Tutorial Diamuk Bapak”, pantunnya “dua tiga burung kenari, kalian semua anak babi” ia mengacungkan jari tengahnya begitu saja. Teman-temannya hanya menatap, bingung, dan memilih membiarkan Jarot sendiri. Sekali lagi, di sini Jarot disingkirkan dengan cara yang tidak terang-terangan, sikapnya dinilai freak.
Jarot hadir dalam interaksi yang lebih kompleks. Ia sempat menjadi jin yang memberi permintaan seseorang lewat konten “Lu Telat Ngen***”. Di sini posisinya lumayan agak simetris.
Dalam “Jarot Malaysia Ketemu Incu Bag*ng”, ia diperkenalkan kepada kakek dari temannya, dan ketika ditanya namanya, ia menjawab dengan pantun khasnya “dua tiga bulu jembot, namaku Jarot”. Ia lalu ditawari makan meski inginnya McD, dan akhirnya tetap diberi. Ia mengesalkan, ia mengganggu tapi tetap dicintai.
Dalam video “SiJarot Gabung Circle Ucup Ecep”, Jarot diajak menjadi bagian dari syuting lagu. Namun, kehadirannya memunculkan tekanan untuk menyesuaikan diri. Si Ecep mengusulkan bahwa lirik lagu harus diubah, namanya Jarot mesti diganti menjadi Asep sebagai syarat masuk circle tersebut. Momen ini menyoroti penyangkalan identitasnya Jarot.
Dalam konten “Episode Full Ucup Ecep” terungkap bahwa Jarot adalah adik Ecep, sebuah fakta yang mengejutkan sekaligus membuatnya berada dalam posisi yang bisa dimanfaatkan. Ia menjadi adik yang harus patuh, mudah disuruh-suruh.
Jarot bahkan ditampilkan juga sebagai sumber konflik kecil dalam keluarga. Di video “Ini yang Akan Terjadi Kalau Kalian Punya Adik”, pantun “dua tiga anjing edan, rek naraon setan” muncul ketika ia mengganggu kakaknya. Kakaknya marah, Jarot menangis, dan ibunya ikut menegur.
Identitas yang Tawar Menawar
Jarot Sigh menarik, menerjemahkan Jartit Singh, dan menghadirkan identitas Sikh dalam media populer Sunda. Sesuatu yang masih langka ditemui di tengah-tengah kita. Aksesoris dan identitas utamanya, di kepala yang selalu ia kenakan. Patka digunakan anak laki-laki Sikh untuk menutupi rambut yang belum dipotong (kesh). Tanda visual yang langsung dikenali oleh kita.
Pantun-pantunnya yang khas dan logat Melayu serta sesekali celetukan Sundanya menandai perbedaan budaya dan bahasa dalam satu tubuh. Identitas Jarot tidak muncul lewat ritual atau teks suci. Tapi ia hadir secara performatif, melebur dengan tingkah laku lugu, canda, dan interaksi sosial sehari-hari.
Humor Jarot, pantunnya, dan sikap usilnya juga medium tawar-menawar yang perlu kita perhatikan. Ia kerap menjadi sasaran ejekan atau perundungan halus, keluguan membuat dirinya tetap dirangkul sekaligus dipinggirkan dalam komunitasnya. Ia menantang, mengganggu, tapi juga mengundang pengakuan. Identitasnya diuji lewat perjumpaan sehari-hari, diterima atau diasingkan, dianggap lucu atau menjengkelkan, dijadikan bahan bercanda atau diabaikan.
Di balik tawa kita sebagai penontonnya, Jarot Sigh hadir menjadi bagian dari keutuhan wacana Sunda soal keakraban. Bahasa loma yang dulu dipandang sebagau ragam kasar yang menunjukkan kelas sosial rendahan, topik cawokah soal seksualitas yang simbolik, sampai hinaan dan keintiman yang jaraknya beda tipis.

Jarot Sigh dalam saluran RIFIRDUS menunjukkan bahwa identitas bukanlah esensi yang tetap, seperti ditegaskan Stuart Hall dalam “Cultural Identity and Diaspora” (1990). Identitas semacam medium performatif yang menegosiasikan penerimaan, penolakan, dan keakraban dalam komunitas. Jarot Sigh menempatkan identitas Sikh dan budaya Sunda dalam dinamika sosial yang kompleks. Humor dan leluconnya menciptakan ruang hibriditas ketika simbol agama, praktik budaya, dan media populer saling bersinggungan.
Sisi yang tak kalah penting ialah banyak hal relate dalam hidup kita yang berhasil diwakilkan dalam karakter Jarot Sigh dan dunianya ini. Termasuk menyingkap relasi kekuasaan dan hierarki sosial. Humor kadang menjadi senjata sekaligus tameng, cara untuk mengakui perbedaan sekaligus meliyankan yang lain. Dan di komunitas barudak ngora Sunda semua ini tampil menunjukkan reka adegan yang sebenarnya.
Selalu Disalah Pahami
Rana dan kawan-kawan lewat "Mistaken Identities: The Media and Parental Ethno-Religious Socialization in a Midwestern Sikh Community" (Religions, 2019) menyoroti situasi stereotip pasca-peristiwa 11 September membentuk sosialisasi etno-agama orang tua Sikh di Midwest, Amerika Serikat. Anak laki-laki Sikh sering disalahpahami sebagai muslim atau teroris karena turban dan janggutnya, menghadirkan risiko diskriminasi, perundungan, dan kekerasan fisik yang tinggi.
Sebagai respons, orang tua kadang menanggalkan penanda fisik ini di ruang publik, meski tetap menanamkan nilai Sikh melalui praktik di Gurdwara dan media warisan. Literatur Punjabi, rekaman keagamaan, dan siaran televisi India sangat diandalkan. Mereka juga mendidik masyarakat lewat interaksi langsung, parade budaya, dan solidaritas dengan minoritas lain.
Di tempat yang berbeda, dalam "The Lived Experience of Racism in the Sikh Community" (Journal of Interpersonal Violence, 2023), Gayle Brewer dan kawan-kawan menelusuri pengalaman rasisme orang dewasa Sikh di Inggris melalui wawancara enam partisipan. Turban dan janggut memang sering disalahpahami sebagai simbol muslim atau teroris, menjadikan rasisme bagian sehari-hari.
Untuk bertahan, sebagian mereka menyesuaikan penampilan atau mengambil nilai agama sebagai sandaran psikologis dan sosial, sambil aktif mendidik orang lain tentang Sikh dan menegakkan intervensi sosial ketika menyaksikan diskriminasi yang terjadi.
Sikh kerap disalahpahami, seolah-olah menjadi fenomena yang lumrah di dunia kita hari ini.
Jadi Apa itu Sikh?
Eleanor Nesbitt dalam “Sikhism: A Very Short Introduction” (2005), memandang bahwa Sikh sering disalahpahami karena citranya di media terbatas pada turban, pedang, atau rambut yang tidak dipotong. Padahal Sikhisme lebih dari simbol-simbol itu. Ajarannya menekankan disiplin spiritual, harmoni, dan hubungan dengan Tuhan.
Kata “Sikh” sendiri berarti murid atau pengikut Guru, dari kata Punjabi sikhna “belajar”, dan komunitas Sikh disebut Panth. Jalannya disebut Sikhi atau Gursikhi, dengan keyakinan pada satu Tuhan yang abadi, sepuluh Guru, kitab suci Guru Granth Sahib, serta ajaran dan upacara pengikraran Guru terakhir.
Sikh juga sering dianggap sebagai cabang atau gabungan dari Hindu dan Islam. Meskipun ia memiliki identitas, ritual, kalender, tempat ibadah, dan sejarah komunitas sendiri. Munculnya Sikh di Punjab memang berinteraksi dengan tradisi Hindu, dengan konsep sampradaya, karma, dan reinkarnasi. Termasuk dengan Islam, khususnya monoteisme dan penghormatan pada kitab suci.
Selain konteks religius, identitas Punjabi sangat mempengaruhi Sikh. Bahasanya, musik seperti bhangra, cerita rakyat seperti Hir-Ranjha, dan nilai sosial seperti keramahan dan izzat (kehormatan) membentuk budaya Sikh. Isu gender dan kasta juga tercermin dalam praktik hidup. Komunitas Sikh yang tersebar di seluruh dunia tetap mempertahankan ikatan dengan Punjab dan tradisi lokalnya, menunjukkan cara agama, budaya, dan identitas saling terkait dalam pengalaman Sikh yang kompleks.
Di sinilah kita akan mengakhiri tulisan ini. Dan di sinilah kita akan selalu mengingat bahwa Sikh bukan sekadar simbol atau bahkan stereotip, melainkan sebuah agama yang terbentuk dari ajaran Guru, praktik sosial, dan tradisi yang kaya. Kehadiran karakter seperti Jarot Sigh memperlihatkan soal identitas agama yang bisa tampil secara kreatif, menghibur, dan sekaligus menegosiasikan pengakuan yang kadang bersikap negatif dalam masyarakat Sunda. (*)