Matahari, Pohon, dan Sawah di Baleendah, Kabupaten Bandung (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Ayo Netizen

Ambang Sakral: Modal Awal Memahami Agama di Mata Eliade

Rabu 08 Okt 2025, 09:01 WIB

Di sore hari, kita duduk di di kebun belakang rumah. Angin lembut menyusup di sela-sela daun, membelai kulit kita, hangat sekaligus dinginnya. Debu menari di cahaya matahari yang mulai merendah, bayangan panjang membelah halaman, seolah setiap benda berdiri di antara dunia nyata dan mimpi.

Kita menatapnya sejenak, membiarkan pikiran melayang bebas, menangkap sesuatu yang tidak bisa dipegang tapi terasa penuh makna. 

Ada tenang. Ada bimbang. Ada senang. Burung terakhir berkicau, suaranya bercampur dengan laju jauh kendaraan di sana. Irama yang membuat kita sadar, ada sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.

Pengalaman Basah

Ingat kapan terakhir kita benar-benar berhenti sejenak dan menyadari waktu? Kita pasti pernah terperangkap di tengah heningnya malam. Dengungan kulkas atau layar TV yang menyala setengah redup. Detak jam dinding, blubuk suara air galon, atau notifikasi ponsel yang bergetar. Semua hadir seolah sengaja disusun dunia untuk kita saksikan.

Kita termenung, menyeruput teh hangat, membiarkan mata dan pikiran bermain dengan bayangan yang bergerak perlahan. Ada rasa nyaman tapi juga bingung, kita berdiri di antara dunia nyata dan sesuatu yang lain.

Kapan terakhir kita berdiri di ambang waktu seperti itu? Rasanya seperti membuka album foto lama, menyentuh halaman-halaman yang hampir pudar. Harumnya seperti mencium aroma kertas dan debu yang menempel di buku-buku zaman sekolah dulu, melihat tulisan yang kini hanya tersisa dalam ingatan. Getarannya seperti kita keluar bioskop di jam terakhir, menyaksikan halaman parkir yang sudah kosong, hanya lampu jalan yang menjulang.

Inilah momen-momen liminal, di mana kita seolah melayang antara nyata dan khayal. Intensi begitu tinggi menyadari keberadaan kita sendiri. Inilah modal awal kita untuk memahami agama lewat mata Eliade.

Agama Adalah Agama

Seandainya kita menengok sejarah pemikiran agama abad ke-20, nama Mircea Eliade (1907-1986) pasti selalu muncul sebagai salah satu tokoh sentralnya. Ia bukan sekadar ahli, tetapi seorang pengamat yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar.

Berangkat dari kritik terhadap teori-teori agama sebelumnya. Freud, Durkheim, dan Marx, Eliade menolak pandangan yang menyatakan agama sebagai produk psikologi, masyarakat, atau ekonomi. Bagi Eliade, agama bukan efek samping dari realitas lain.

Ia adalah sebab, sebuah energi otonom yang menggerakkan manusia, membentuk cara kita hidup, berpikir, dan memahami dunia.

Metodologinya pun unik. Alih-alih menempelkan satu teori tunggal, Eliade memilih pendekatan fenomenologi. Ia adalah cara mengenal suatu agama secara mendalam, kemudian membandingkannya dengan yang lain untuk menemukan pola-pola universal. Dengan cara ini, kita bisa melihat benang merah di antara ritual, mitos, dan pengalaman religius manusia dari berbagai belahan dunia, tanpa mengurangi keunikan masing-masing.

Yang Sakral dan Yang Profan

Salah satu konsep yang paling terkenal dari Eliade adalah pemisahan dunia manusia menjadi dua wilayah. Yang Sakral dan Yang Profan.

Yang Sakral adalah wilayah yang luar biasa, supernatural, penuh kekuatan yang tak bisa direduksi, yang meninggalkan bekas dalam hati manusia. Ia adalah realitas yang mengagumkan, menakutkan, sekaligus indah, yang membuat manusia tersentuh oleh sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Yang Profan, sebaliknya, adalah keseharian yang biasa, acak, bahkan kadang membosankan. Rutinitas, benda-benda biasa, dan kegiatan sehari-hari berada di ranah ini.

Jalan Sepi Tengah Malam, Kota Bandung (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Bagi Eliade, pengalaman religius selalu berpusat pada The Numinous, istilah yang dipinjam dari Rudolf Otto, yaitu perasaan yang muncul saat manusia bertemu Yang Sakral. Perasaan ini bukan sekadar kagum, ia membangkitkan emosi terdalam. Keterpukauan, ketakutan, dan kekaguman yang luar biasa. Saat seseorang berdoa, melakukan ritual, atau menatap benda suci, mereka menyentuh realitas abadi yang sama, yang menghubungkan manusia dengan alam semesta dan dengan sesuatu yang tak terbatas.

Dalam masyarakat arkhais, yang hidup ribuan tahun lalu, perjumpaan dengan Yang Sakral bukanlah pengalaman teoritis semata, tetapi diwujudkan dalam ritual, mitos, dan simbol.

Mitos menjadi semacam narasi yang menuntun manusia memahami dunia. Simbol muncul dari dunia Profan, yang lalu disentuh oleh Sakral sehingga memperoleh makna baru. Misalnya, sebuah gunung atau sungai bukan sekadar geografis. Ia bisa menjadi titik pusat dunia (axis mundi), penghubung antara Yang Sakral dan Profan, tempat manusia bisa merasakan harmoni kosmik.

Benda, tempat, atau waktu tertentu bisa menjadi sakral ketika disentuh oleh pengalaman religius. Hal ini membentuk cara pandang masyarakat arkhais tentang dunia.

Lebih jauh, Eliade menekankan bahwa simbol dan mitos bekerja dengan analogi. Objek biasa bisa diberi makna baru ketika disentuh Yang Sakral, misal pohon, batu, atau air. Ia memiliki karakter ganda. Pada satu sisi ia tetap benda sehari-hari, pada sisi lain ia sarat makna religius. Proses ini disebut dialektika Sakral, di mana paradoks dan kontradiksi menjadi sumber kekuatan pengalaman religius.

Dalam bukunya yang terkenal, The Myths of the Eternal Return: Or, Cosmos, and History (1949), Eliade menunjukkan pola pemikiran masyarakat arkhais yang mendasar. Ialah dorongan untuk kembali ke titik nirwaktu, ke masa penciptaan dunia, ke keadaan awal yang sempurna. Siklus waktu bukan linear, melainkan berulang. Di sini mitos dan ritual memungkinkan manusia mengulang sejarah kosmik, mereset kehidupan sosial, dan menegaskan keteraturan alam semesta.

Kritik

Namun, meski menakjubkan, pemikiran Eliade tidak lepas dari kritik. Secara teologis, ia dianggap berangkat dari latar belakang Kristen, bahkan beberapa pihak menilai ia semacam misionaris terselubung. Hal ini membuat objektivitas teorinya dipertanyakan, terutama ketika ia mengklaim menemukan pola universal dalam pengalaman religius.

Dari sisi historis, Eliade berupaya menyusun teori global tentang agama, mirip kritik yang dulu ditujukan kepada Frazer. Sayangnya, pendekatannya kadang terlalu menyamaratakan simbol atau mitos, sehingga beberapa elemen budaya atau praktik religius tertentu tidak cocok dengan klasifikasi yang ia buat.

Selain itu, kritik konseptual menyoroti ambisinya yang sangat luas untuk membangun teori global. Dengan mencoba melihat pola umum di seluruh agama, Eliade kadang kehilangan detail spesifik yang memberi warna lokal dan unik pada tiap tradisi. Pendekatan fenomenologisnya kuat, tapi perhatian mendalam pada satu agama atau masyarakat bisa jadi lebih bermanfaat untuk memahami keragaman pengalaman religius.

Baca Juga: Yang Bisa Kita Pelajari dari Ajaran (Penghayat) Kepercayaan

Refleksi

Di antara suara malam dan sinar senja, kita menyadari bahwa hidup selalu bergerak di ambang, antara nyata dan tak terlihat, antara bising dan hening. Momen-momen kecil itu, membuka ruang bagi keheningan yang bermakna.

Dari titik inilah kita bisa menyentuh yang sakral. Bukan sebagai konsep abstrak, tapi sebagai pengalaman yang menempel di tubuh, pikiran, dan perasaan sendiri. Eliade mengingatkan kita bahwa agama muncul dari kesadaran semacam ini. Dari cara kita hadir, memperhatikan, dan memberi makna pada dunia sekitar. Sekian.

Tags:
Mircea Eliadeagamasakralreligi

Arfi Pandu Dinata

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor