Beberapa pekan terakhir, linimasa media sosial seperti TikTok, X (Twitter), dan Instagram diramaikan oleh tren baru: “S-Line.” Di sana, banyak pengguna terutama remaja mengunggah foto dengan garis merah di atas kepala mereka. Tren ini terinspirasi dari drama Korea berjudul S-Line, yang diadaptasi dari Webtoon populer. Dalam drama tersebut, garis merah menjadi simbol jumlah pengalaman seksual seseorang.
Sekilas terlihat lucu, kreatif, bahkan estetik. Namun di balik efek visual itu, ada pertanyaan besar yang layak diajukan: mengapa hal yang seharusnya menjadi privasi kini justru dirayakan di ruang publik?
Tren ini bukan hanya soal hiburan; ia adalah cermin perubahan nilai yang sedang melanda dunia digital. Di satu sisi, masyarakat semakin terbuka dan ekspresif. Namun di sisi lain, batas antara kebebasan dan kehormatan mulai kabur.
Fenomena S-Line sebenarnya bermula dari dunia fiksi, sebuah narasi satir tentang bagaimana manusia modern hidup dalam dunia yang menelanjangi privasi. Namun ketika dunia maya menirunya secara harfiah, makna satir itu berubah menjadi realita yang ironis.
Menurut M. Febriyanto Firman Wijaya, dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya, tren ini bukan sekadar hiburan kosong. “Konsep garis merah ini, meskipun fiktif, seolah memberi pembenaran bahwa aib seseorang bisa diumbar ke publik. Ini sangat berbahaya karena menormalisasi pelanggaran privasi dan membuka ruang bagi penghakiman sosial,” ujarnya (21/7/2025).
Pernyataan ini menegaskan bahwa viralitas sering kali tidak netral. Ia membawa nilai dan arah tertentu. Dalam hal ini, S-Line menandakan pergeseran budaya malu menjadi budaya pamer—di mana sensasi lebih menarik daripada introspeksi, dan klik lebih berharga daripada martabat.
Islam, dalam pandangan moralnya, menempatkan kehormatan dan rasa malu (haya’) sebagai mahkota iman. Rasulullah SAW bersabda:
“Malu adalah salah satu cabang dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Makna hadis ini bukan sekadar sopan santun sosial, melainkan kesadaran spiritual bahwa setiap nikmat termasuk tubuh dan privasi adalah amanah yang harus dijaga dari pandangan yang tidak pantas.
Dalam konteks S-Line, sekalipun efeknya hanya digital, substansinya tetap sama: menyebarkan sesuatu yang seharusnya ditutupi. Islam mengingatkan dalam QS. An-Nur [24]:19:
“Sesungguhnya orang-orang yang suka agar perbuatan keji itu tersiar di kalangan orang-orang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.”
Ayat ini menjadi teguran keras bagi siapa pun yang menjadikan kemaksiatan atau aib sebagai bahan hiburan publik.
Mari jujur, kita hidup di zaman di mana “malu” dianggap kuno. Generasi digital tumbuh dalam ekosistem algoritma yang menilai manusia dari likes dan views. Privasi berubah menjadi konten, dan aib menjadi bahan bercanda.

Padahal, dalam etika Islam, menutup aib—baik diri sendiri maupun orang lain—adalah bentuk kasih sayang sosial. Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat.” (HR. Muslim)
Sayangnya, di dunia digital hari ini, kita justru berlomba-lomba membuka penutup itu sendiri. Ironinya, kita menjadi “mujahirin modern”—orang yang terang-terangan memamerkan dosa—tanpa merasa bersalah, bahkan bangga karena viral.
Fenomena ini menunjukkan betapa budaya “fastabiqul viralat” (berlomba menjadi viral) telah menggantikan semangat fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan). Perubahan kecil dalam orientasi nilai ini berdampak besar: generasi muda lebih cepat memoles citra digitalnya ketimbang mengasah karakter spiritualnya.
Maka, ketika tren seperti S-Line muncul, masalahnya bukan sekadar soal moral individu, tapi krisis arah peradaban digital. Dunia maya kini menjadi arena pertarungan antara etika dan euforia, antara cahaya dan sensasi.
Kita tidak bisa menolak kenyataan bahwa dunia digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Namun, kemajuan teknologi tidak boleh membuat kita kehilangan kendali moral. Islam tidak anti hiburan, tetapi menegaskan batas: jangan sampai hiburan menghapus rasa hormat terhadap nilai kesucian diri.
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan, orang yang membanggakan dosanya di depan umum termasuk dalam kategori mujahirin yang diancam tidak mendapat ampunan Allah. Pesan ini relevan untuk era media sosial—di mana dosa bisa di-“upload”, dan aib bisa dijadikan content challenge.
Alih-alih meniru tren yang merendahkan martabat, generasi muda justru perlu menumbuhkan tren yang menghidupkan nurani. Misalnya, konten edukatif tentang akhlak digital, kampanye menjaga privasi, atau ajakan berlomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat).
Karena pada akhirnya, medsos hanyalah alat. Yang membuatnya mulia atau tercela adalah niat dan nilai di balik penggunaannya.
Baca Juga: Spirit Fastabiqul Khairat dan Teologi Al-Ma’un dalam Ikhtiar Memajukan Kesejahteraan Bangsa
Fenomena S-Line mungkin akan berlalu, seperti tren viral lainnya. Tapi persoalan yang ia cerminkan akan tetap relevan: ke mana arah moral generasi digital kita?
Garis merah dalam drama mungkin fiksi. Tapi ada garis lain yang lebih nyata: garis antara malu dan bangga, antara iman dan sensasi. Garis itu tidak tampak di atas kepala, tapi ada di dalam hati menjadi pembeda antara mereka yang menjaga marwah dan mereka yang kehilangan arah.
Mari kita jaga garis itu tetap terang. Sebab di tengah derasnya arus dunia digital, malu bukan tanda keterbelakangan, tapi benteng terakhir kemanusiaan.
“Jangan biarkan algoritma menuntun nurani kita. Sebab, imanlah yang seharusnya menjadi filter pertama sebelum jari menekan tombol upload.” (*)