Ada yang mengatakan, bahwa hukum yang disusun tanpa partisipasi rakyat, hanyalah formalitas yang sah secara prosedural, tapi gagal secara nurani. Dalam friksi demokrasi, suara rakyat perlu didengarkan dan menjadi bagian penting dari kerangka bangsa.
Kita tentu ingat, bangsa dibesarkan oleh pemikiran bersih; oleh buku; oleh teks-teks sastra yang diperjuangkan pendiri bangsa. Selama ratusan tahun dijajah tanpa punya akses pada bacaan. Saat kemerdekaan, infrastruktur dan suprastruktur tidak terbentuk dengan sempurna di kalangan masyarakat. Lantas, kenapa buku dan suara rakyat harus dipenggal, sementara bangsa menyusun diri kepada demokrasi yang bercermin pada UUD negara RI tahun 1945 dan Pancasila!?
Edward Bernays menulis dalam buku “Propaganda” yang menerangkan bahwa opini publik bukan semata hasil kesadaran kolektif, tapi sering kali buah dari rekayasa yang terencana. Meski rakyat begitu mudah diarahkan dan berkali-kali dikecewakan. Acapkali, rakyat dihadapkan pada pilihan yang sangat dilematis. Karena berharap ada perubahan yang konkret dan nyata.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa bahasa yang menjadi kumpulan kata-kata, tidak hanya sekadar alat komunikasi, melainkan juga instrumen kepemimpinan. Bahasa yang digunakan pemimpin tidak hanya sekadar narasi, tetapi harus layak terdengar dan sekaligus menyentuh. Pada masa yang sangat tua, seorang filsuf bernama Aristoteles telah menulis buku “Retorika”. Buku ini tidak hanya bacaan, tetapi sekaligus juga teori dasar dalam berdemokrasi.
Seorang pemimpin harus paham, bahwa segala ucapannya adalah narasi yang bermakna. Demokrasi tanpa logos, ethos, dan pathos, maka pidato seorang pemimpin hanyalah gema protokoler – didengar, dicatat, tapi tidak pernah diingat. Kondisi ini membuat nilai-nilai demokrasi tidak lagi melihat konteks nyata, tetapi lebih menyuburkan konteks “pencitraan semata”.
Demokrasi itu tidak hanya soal gagasan ide dan imajinasi dalam membaca fenomena yang terjadi dalam sebuah era, tetapi menjadi rentetan peristiwa yang terukur dalam sebuah sejarah. Faktanya, banyak pemimpin yang gagal di mata masyarakat ketika ia selesai masa tugasnya ketika menjabat. Jadi, dalam sistem pemerintahan negara, sangat diperlukan instrumen kepemimpinan.
Dalam prinsip dasar demokrasi, tujuan pokok yang harus tercapai adalah keadilan. Namun retorika tanpa keadilan hanya akan memperindah kekosongan. Jika kita membaca Teori Keadilan karya John Rawls. Di sana, keadilan tidak bicara soal pembagian merata, melainkan soal keberpihakan terhadap yang paling rentan. Karena jika keadilan hanya indah dalam konstitusi tapi hampa dalam kenyataan, rakyat akan mengerti bahwa hukum sering dibuat bukan untuk mereka.
Adanya ketimpangan dalam penegakan demokrasi, ini memperlihatkan kita, bahwa ada sistem yang tidak berintegrasi satu sama lainnya. Secara logika, sistem ini dikendalikan oleh manusia. Maka, ketika sistem ini dianggap tidak lagi berpihak pada kepentingan masyarakat banyak, yang seharusnya sistem itu menjadi pelindung bagi hayat orang banyak, tentunya akan menimbulkan pertentangan – bukan perlawanan.
Salah satu alat dalam penegakan demokrasi adalah bentuk-bentuk protes yang disuarakan secara kolektif. Misalnya dalam bentuk orasi atau demonstrasi. Jika suatu hari suara rakyat terdengar bising dan tidak teratur, jangan buru-buru menyebut mereka tak tahu aturan. Bisa jadi mereka sedang menagih perjanjian yang dilanggar.
Perjanjian yang kerap kali tertulis tanpa hitam-putih dan hanya melalui lisan, selalu saja dimaknai sepihak oleh penguasa (yang diberikan kepercayaan dan amanat. Artinya, kekuasaan itu bukanlah warisan yang berlangsung turun-temurun sebagaimana yang ditulis dalam buku: Social Contract yang dikarang oleh Rousseau menyebutkan bahwa kekuasaan bukan warisan, tapi kontrak. Dan setiap kontrak yang dikhianati, berhak dipertanyakan.

Pertanyaan ini adalah bentuk pertanggung-jawaban moral yang harus dijawab oleh penerima kekuasaan. Janji adalah bentuk nyata yang harus dipenuhi dalam perjanjian tersebut.
Untuk melihat lebih luas, lebih lanjut bisa membaca buku Politik karya Andrew Heywood. Buku ini menjelaskan bahwa politik bukan tentang memenangkan kontestasi, tapi mengelola perbedaan. Di setiap kebijakan, tentu banyak perbedaan dalam sudut pandang.
Bagaimana kita melihat kondisi itu hari ini? Sayangnya, banyak pengelolaan hari ini lebih mirip pengendalian. Yang dibentuk bukan kesepahaman, tapi kepatuhan. Dan itu bukan demokrasi. Itu monolog yang dibungkus rapih. Pada titik ini, buku tidak hanya memberi gambaran ilusi. Tapi buku, bukan hanya sebagai teori, tetapi bisa menjadi nilai ukuran dari gambaran demokrasi secara normatif.
Apakah kebuntuan demokrasi itu harus diakhiri dengan kudeta? Ini sepertinya terlalu sarkastis. Karena demokrasi tak selalu mati karena kudeta. Kadang ia mati perlahan, lewat hukum yang dibentuk untuk satu golongan saja. Kita akan lihat itu di Bagaimana Demokrasi Mati karya Levitsky dan Ziblatt. Buku ini telah mengadopsi modernisasi.
Tentunya semua pihak menginginkan pilihan yang tepat. Pilihan selalu tampak elegan, karena sebagian isi dari pilihan itu juga demi martabat bangsa. Demokrasi bisa berakhir dalam senyap—ketika oposisi dilemahkan, dan rakyat diajari takut bertanya.
Di sini, mungkin pembaca akan terjebak dengan narasi-narasi di atas. Apakah ini “konsep menjual produk buku?”. Ini salah besar! Karena buku disini lebih bersifat referensi teori tentang demokrasi. Sebagai kumpulan kata-kata intelektual yang mencintai negara yang tidak sekadar caption.
Jika pemulihan demokrasi tujuannya juga untuk kestabilan ekonomi. Maka kita perlu menyentuh akar ekonominya, baca Wealth of Nations karya Adam Smith. Ia menulis tentang pasar dan moralitas, bukan sekadar laba. Tapi juga harus membaca Capital karya Karl Marx, agar tahu bahwa tak semua pertumbuhan itu netral.
Kadang, yang disebut pembangunan hanya cara lain untuk menjaga struktur ketimpangan. Pembangunan itu tidak hanya membangun mimpi, tetapi bagaimana membangun serta mewujudkan ekonomi kerakyatan. Marginalisasi ekonomi selama ini bertumpuk pada kekuatan kapitalis. Ini tentunya akan menyakiti hati rakyat.
Jika kita tarik garis sejarah, sebelum bicara soal reformasi, mungkin ada baiknya kita perlu menyepi sejenak membaca Republik karya Plato. Ia menulis bahwa pemimpin harus terlebih dahulu menjadi pencari kebenaran. Jika itu hanya sebatas retorika belaka, artinya penerima kekuasaan itu belum memahami secara utuh tentang konsep negara.
Karena negara yang dipimpin oleh mereka yang tak pernah merenung, akan diserat ke arah yang hanya didikte selera pasar dan suara sorak penonton. Lalu bandingkan dengan Politik karya Aristoteles. Di sana, kekuasaan adalah sarana menuju kebaikan bersama—bukan perlombaan cepat-cepat jadi orang terdepan. Pemimpin bukan puncak, tapi pusat. Dan kalau pusatnya keropos, yang runtuh bukan hanya sistem, tapi seluruh harapan.
Dunia ini panggung sandiwara, sebuah lagu yang bisa berkonotasi macam-macam. Apakah negara itu juga sebagai panggung sandiwara? Anekdot liar terkadang perlu untuk menyegarkan suasana, ketika dunia politik sudah disusupi virus-virus yang tumbuh menjadi bom waktu. Bahasa sastrawi, mungkin terlalu santun di tengah impitan hidup, yang dianggap sedang tidak baik-baik saja.
Dan kekuasaan yang dibingkai tanpa makna, akan tampil seperti yang digambarkan Clifford Geertz dalam Negara Teater. Negara jadi panggung, pejabat jadi aktor, rakyat jadi penonton pasif yang hanya diundang saat ada perayaan. Yang dipelihara adalah citra, bukan substansi.
Agar ruang pikir tetap hidup, ruang publik dibuka, tetapi dengan suara yang mulai serak dan hak-hak suara tetap terkendali, bahkan cenderung represif. Seperti kata sastrawan, Taufiq Ismail: “aku (malu) menjadi Indonesia.” Bukan karena sikap nasionalisme yang luntur, tapi tidak lebih dari keprihatinan panjang. Kata-kata sebagai subjektivitas pemikiran bahkan diancam terpenjara.
Demokrasi tak dibangun dari suara mayoritas saja, tapi dari kemampuan yang minor. Buku-buku bukanlah suara mayoritas, yang seyogianya harus dijadikan sumber estetika dan etika dalam keseimbangan ilmu dan pengetahuan. Bukan menjadi alat bukti untuk sebuah tindakan kejahatan. Bagaimana kemudian makna demokrasi itu menjadi kerdil? Meski buku pernah tercatat dalam sejarah, sebagai alat propaganda dalam revolusi.
Ketika semua suara dibungkam kecuali satu, maka yang lahir bukan musyawarah tapi monarki yang disamarkan. Hukum sering terasa tidak adil meski katanya konstitusional, karena hukum yang disusun tanpa partisipasi rakyat, hanyalah formalitas yang sah secara prosedur tapi gagal secara nurani. (*)