AYOBANDUNG.ID -- Setiap kota menyimpan suara-suara yang tak terdengar. Di Bandung, suara itu datang dari tangan-tangan yang terulur di perempatan, dari mata yang menatap kosong di trotoar, dari tubuh-tubuh yang menunggu belas kasih sebagai rutinitas. Mereka bukan sekadar pengemis. Mereka adalah cermin dari sistem yang tak lagi mampu merangkul.
Heny Gustini Nuraeni tak melihat mereka sebagai beban kota. Dia melihat mereka sebagai manusia yang kehilangan arah, bukan harga diri. Dari sana, ia memulai langkah kecil yang tak biasa dengan mendirikan pesantren tanpa bangunan, tanpa seragam, tanpa batas. Ia menyebutnya Pesantren Jalanan Sunan Ambu.
Pesantren ini bukan tempat dengan kubah megah atau lantunan azan lima waktu. Ia hadir di halaman rumah, di sela obrolan, di antara keheningan yang menyimpan luka. Di sanalah Heny menanamkan benih perubahan, satu demi satu, kepada mereka yang selama ini dianggap “sampah masyarakat.”
Stigma terhadap pengemis di kota besar seperti Bandung bukan hal baru. Mereka kerap dilabeli sebagai beban sosial, bahkan dianggap menipu publik dengan kedok kemiskinan. Pada 2019, publik dikejutkan oleh kisah Legiman, seorang pengemis di Pati, Jawa Tengah, yang memiliki kekayaan hingga Rp1 miliar. Ia menjadikan simbol kemiskinan sebagai komoditas.
Fenomena ini bukan sekadar anomali, melainkan cerminan dari budaya yang telah mengakar. Heny menyebutnya sebagai “mental mengemis”, sebuah pola pikir yang menjadikan meminta-minta sebagai jalan hidup, bahkan setelah kebutuhan ekonomi terpenuhi. “Saya menyebutnya bahwa mengemis itu sudah menjadi kebudayaan,” ujarnya kepada Ayobandung.
Bandung pun tak luput dari realitas ini. Data Dinas Sosial Kota Bandung mencatat, pada Maret 2025, sebanyak 64 Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), termasuk pengemis dan tunawisma terjaring razia di titik-titik strategis seperti Asia Afrika dan Tegalega. Mereka dibawa ke Puskesos Ranca Cili untuk menjalani rehabilitasi sosial.

Namun, Heny percaya bahwa solusi tak cukup hanya dengan razia. Ia mendirikan Yayasan Siti Hajar pada 2020, untuk menaungi Pesantren Sunan Ambu yang dirikan pada 2016.
Bukan pesantren konvensional, melainkan “pesantren jalanan” yang menyasar kelompok marginal secara langsung, dari satu wajah ke wajah lain. Ia tahu, perubahan tidak datang dari mimbar, tapi dari pelukan sabar dan percakapan yang tulus.
“Seringkali saya hanya datang dari satu tempat ke tempat yang lain. Face to face aja, gak sistem kumpul, karena mereka sangat sulit dikumpulkan,” jelas Heny, yang lebih akrab disapa Ambu.
Awalnya, riset Heny hanya mencakup Kelurahan Sukabungah yang dikenal sebagai “Kampung Pengemis” terutama di RW 04 dan RW 11. Namun, dari sana, ia menemukan bahwa praktik mengemis telah diwariskan lintas generasi. “Dari satu keluarga di situ, bisa turun ke empat generasi, turun-temurun,” katanya.
Lebih dari sekadar kemiskinan, Heny melihat bahwa akar persoalan adalah mentalitas. Ia menolak pendekatan yang hanya menyentuh aspek ekonomi. Baginya, perubahan harus dimulai dari kesadaran spiritual. “Kita tidak bisa maksa mereka, dan saya tidak mau memaksakan mereka untuk berhenti. “Saya ingin mereka berhenti karena keinginannya pribadi,” tegas Heny.
Pesantren Sunan Ambu pun hadir sebagai ruang pembinaan karakter. Tidak ada asrama, tidak ada seragam. Hanya halaman rumah, relawan mahasiswa, dan semangat untuk mengubah nasib. Namun, perjuangan ini tidak mudah. Pesantren masih bergantung pada dana pribadi dan donatur terbatas. Belum ada dukungan penuh dari pemerintah atau lembaga keagamaan. “Kalau bisa mulai usaha, mereka bisa menghidupi keluarga dengan cara baik,” harapnya.
Heny juga menyadari bahwa perubahan tidak bisa dipaksakan. Ia mengikuti ritme para pengemis, menyusup ke kehidupan mereka, dan perlahan menanamkan nilai-nilai baru. “"kita kalau sampai sekarang untuk mengubah satu orang saja sulit, dan bagaimana acaranya kita mengubah tanpa mereka merasakan bahwa saya sedang mengubah mereka,” katanya.

Dalam risetnya, Heny menemukan bahwa sebagian pengemis memodifikasi ajaran agama demi keuntungan. Bahkan setelah kaya, mereka tetap mengemis. “Ritual keagamaan tidak mengubah pola pikir dan cara hidup mereka,” ungkapnya.
Karena itu, Heny menekankan pentingnya pendidikan agama yang membumi. “Jangan sampai mereka itu hanya mengerti ekonomi, hanya mengerti makan, hanya mengerti cari duit, tapi bagaimana mereka itu melakukan sesuatu itu sebagai bentuk ibadah,” ujarnya.
Heny bermimpi membentuk koperasi di bawah naungan Sunan Ambu. Ia ingin menciptakan ekosistem yang mandiri, di mana mantan pengemis bisa berdaya secara ekonomi dan spiritual. “Mudah-mudahan ke depan kita bisa kerja sama dengan pemerintah, kelembagaan agama, dari pihak usaha juga,” harapnya.
Menurut data BPS Kota Bandung 2025, tingkat kemiskinan di kota ini masih berada di angka 3,26%, dengan konsentrasi tertinggi di wilayah padat penduduk seperti Kiaracondong dan Astanaanyar. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi upaya pemberdayaan seperti yang dilakukan Heny.
Namun, di tengah keterbatasan, Heny tetap teguh. Ia percaya bahwa perubahan besar dimulai dari langkah kecil. “Saya hanya berpikir sederhana saja bahwa membuat pesantren tidak perlu ada masjidnya,” katanya.
Pesantren Sunan Ambu menjadi bukti bahwa dakwah bisa hadir di jalanan, bahwa pendidikan bisa dimulai dari empati, dan bahwa revolusi mental bisa dimulai dari satu pertemuan, satu percakapan, satu hati yang terbuka.
Heny tak pernah berhenti meneliti. Dirinya menyusuri lorong-lorong pelacuran, mendekati anak jalanan, dan mendengarkan suara-suara yang selama ini diabaikan. Ia tahu, perubahan bukan soal waktu, tapi soal ketulusan. “Dan program yang dijalankan tetap, saya masih fokus di keberagamaannya,” pungkasnya.
Alternatif edukasi dan literasi mental atau produk serupa: