AYOBANDUNG.ID -- Nada kecapi yang lirih, denting gamelan yang berlapis, atau suling bambu yang berhembus pelan, semuanya pernah menjadi denyut nadi kehidupan masyarakat Jawa Barat. Musik tradisi bukan sekadar hiburan, melainkan bahasa batin yang menyatukan manusia dengan tanah kelahirannya.
Namun, generasi masa kini lebih sering mendengar dentuman elektronik di gawai mereka, membuat balada tradisi seakan hanya tinggal gema di ruang-ruang kenangan.
Arus globalisasi yang tak terbendung menjadikan musik Barat sebagai kiblat tren. Lagu-lagu dengan gaya westernisasi mendominasi ruang digital, sementara musik tradisi harus berjuang keras agar tidak tersisih.
Generasi muda, yang tumbuh di tengah derasnya media sosial, lebih mudah terpapar budaya global ketimbang mengenal akar musikal daerahnya sendiri. Ismet Ruchimat, maestro musik tradisi dari kelompok Sambasunda, mengingat masa keemasan yang pernah ada.
“Zaman keemasannya musik tradisi itu berada di tahun 1960–1980-an. Bahkan dalam sebuah riset, terhitung khasanah seni tradisi di Jawa Barat hampir ada 300–350 genre dari seni pertunjukan, belum termasuk variannya,” ujarnya.
Ismet menegaskan bahwa potensi itu masih ada. Semua pihak pun punya peran yang sama untuk mencoba merajut kembali benang tradisi, meski tantangan zaman begitu kuat menarik ke arah modernitas.
“Memang sulit Jawa Barat sekarang meramu semua. Dan sampai saat ini pun pemerintah Jawa Barat ada dalam fokus mengelaborasikannya, baik dalam tatanan pengembangan informasi, wisata, maupun dalam potensi akademisnya,” katanya.
Contoh nyata bisa dilihat di ISI Surakarta, yang membuka jurusan Keris sebagai bukti bahwa seni tradisi bisa dihidupkan kembali melalui jalur akademis. Jurusan itu mampu mengangkat tradisi ke ranah ilmu, bukan sekadar nostalgia.
“Seperti halnya jurusan keris di ISI Surakarta ini menjadi bukti bahwa kegiatan yang sifatnya ekspektasi metafisik bisa menjadi sebuah ekspektasi kebiasaan yang bersifat intelektual,” kata Ismet.
Namun, tidak semua genre musik tradisi bisa dikembangkan secara metodologis. Ismet menekankan bahwa keterbatasan itu bukan berarti mati, melainkan menjadi vocabulary histori yang justru bisa menjadi daya tarik wisata.
“Musik tradisi yang tidak berkembang itu pada nyatanya bisa menjadi sebuah vocabulary histori dan vocabulary keilmuan yang lain, bahkan menjadi daya tarik sebuah potensi wisata,” ujarnya.

Momentum kebangkitan musik tradisi harus dimanfaatkan dengan strategi. Para musisi tradisi memiliki komitmen untuk menghidupkan kembali spirit yang lama terputus.
Ismet mengenang sosok Alm. Wawan Juanda yang pernah menggerakkan “Kerja Kreatif” melalui festival musik Jawa Barat. Namun setelah kepergiannya, tradisi kreatif itu meredup. Kini, tantangan itu berpindah ke pundak generasi muda.
“Generasi yang harus melakukan pendekatan ini pun adalah generasi muda. Mereka perlu mengkontruksi budaya secara menyeluruh. Karena nyatanya meski dengan sistem managerial canggih, generasi penerus ini masih dikatakan buta terhadap kebudayaan lokalnya. Ini yang penting yang harus dibangun,” ujar Ismet.
Data resmi BPS Jawa Barat 2025 menunjukkan bahwa penduduk usia produktif (15–34 tahun) mencapai lebih dari 16 juta jiwa. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan peluang regenerasi. Jika diarahkan dengan tepat, jutaan anak muda ini bisa menjadi garda depan kebangkitan musik tradisi.
Pemerintah Jawa Barat melalui Open Data Jabar mencatat peningkatan kunjungan wisata budaya, termasuk museum dan pertunjukan seni. Tren ini membuka ruang bisnis berkelanjutan bagi musik tradisi. Festival musik tradisi yang dikemas modern bisa menjadi destinasi wisata unggulan sekaligus ruang edukasi bagi generasi muda.
Di sisi lain, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum RI menegaskan pentingnya perlindungan hak cipta musik tradisional agar tidak diklaim pihak asing. Perlindungan ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga fondasi bagi bisnis kreatif berbasis tradisi.
Potensi bisnis berkelanjutan musik tradisi terbentang luas. Dari festival budaya, merchandise, digitalisasi musik tradisi di platform streaming, hingga kolaborasi lintas genre. Semua ini bisa menjadi model ekonomi kreatif yang menjaga eksistensi musik tradisi sekaligus memberi ruang bagi inovasi.
Namun, Ismet menilai, bisnis saja tidak cukup. Dibutuhkan komitmen kultural yang kuat. Musik tradisi harus diperlakukan bukan sekadar produk, melainkan warisan yang hidup. Di sinilah peran generasi muda menjadi krusial. Mereka harus mampu mengintegrasikan tradisi dengan inovasi, menjadikannya relevan tanpa kehilangan ruh.
Balada musik tradisi adalah kisah tentang identitas, tentang akar yang tidak boleh tercerabut. Musik ini mendayu, lirih, namun penuh daya. Jika generasi masa kini mampu mendengarkan kembali suara itu, maka musik tradisi tidak akan sekadar menjadi catatan sejarah, melainkan nyanyian masa depan.
"Ini yang jadi sebuah komitmen kita ke depan, bahwasanya seni tradisi salah satunya melalui even-even musik bisa menjadi penting dilakukan karena kami pelaku seni tradisi butuh ekspektasi-ekspektasi dan edukasi intelektual yang akhirnya harus dibuktikan," ujar Ismet.
Alternatif alat kesenian tradisi Sunda atau produk serupa: