Pernahkah Anda melihat seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) sibuk menatap layar ponselnya saat istirahat makan siang?
Bukan sekadar scroll media sosial, tapi ternyata ia sedang mengikuti microlearning berdurasi lima menit. Inilah wajah baru pembelajaran ASN hari ini, lebih fleksibel, ringkas, dan selalu ada di genggaman.
Namun, di balik peluang besar itu, masih ada sejumlah masalah yang membuat transformasi digital ASN belum sepenuhnya mulus.
***
Meski konsep pembelajaran digital bagi ASN semakin populer, realitanya masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Pertama, dari sisi konten, masih minimnya jumlah pengembang media pembelajaran menyebabkan materi digital yang tersedia terasa “jadul”.
Banyak program pelatihan hanya sekadar mengubah modul cetak menjadi file PDF panjang, tanpa ada upaya mendesain ulang agar lebih interaktif. Misalnya, dalam beberapa pelatihan teknis di BPSDM daerah, peserta hanya diberikan akses file PDF setebal ratusan halaman yang harus dibaca melalui LMS.
Tidak heran, sebagian ASN mengaku lebih memilih mencetak modul ketimbang membaca di layar ponsel. Kondisi ini membuat pembelajaran digital berisiko kehilangan daya tarik dan hanya menjadi formalitas administratif.
Kedua, tantangan datang dari literasi digital ASN yang belum merata. Generasi ASN muda umumnya lebih cepat beradaptasi dengan penggunaan LMS, aplikasi mobile, atau video pembelajaran. Namun, tidak sedikit ASN senior yang merasa canggung menggunakan teknologi.
Ketiga, persoalan akses internet dan infrastruktur masih menjadi hambatan besar. ASN yang bertugas di kota besar dengan jaringan stabil dapat dengan mudah mengikuti kelas online, sementara rekan mereka di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) sering kali harus berjuang mencari sinyal untuk sekadar membuka materi.
Contohnya, dalam program diklat daring yang diikuti ASN dari daerah wilayah 3T, sejumlah peserta melaporkan harus berjalan ke bukit atau menunggu tengah malam agar jaringan lebih lancar. Situasi ini menimbulkan ketidaksetaraan kesempatan belajar dan pada akhirnya berlawanan dengan semangat pemerataan pengembangan kompetensi ASN di seluruh Indonesia.
Mengapa Masalah Ini Terjadi?
Kalau ditelusuri, masalah ini bukan karena ketiadaan aturan. Justru regulasi sudah cukup jelas. UU No. 20 Tahun 2023 tentang ASN menegaskan bahwa setiap ASN wajib mengembangkan kompetensinya sepanjang karier. PP No. 17 Tahun 2020 mendorong inovasi metode pembelajaran. Bahkan, Peraturan LAN No. 10 Tahun 2018 sudah menggariskan pemanfaatan teknologi dalam pelatihan jarak jauh.
Sayangnya, implementasi di lapangan masih terbatas. Banyak instansi masih menganggap pelatihan berarti tatap muka di kelas, bukan di layar ponsel. Budaya belajar ASN juga belum sepenuhnya berubah. Sebagian ASN merasa cukup ikut diklat tahunan tanpa merasa perlu belajar secara mandiri.
Di sisi lain, Perpres No. 95 Tahun 2018 tentang SPBE memang menekankan digitalisasi birokrasi, tetapi pembangunan infrastruktur masih berjalan bertahap. Dengan kata lain, masalah utama bukan pada kebijakan, melainkan pada kesenjangan sumber daya, budaya belajar, dan kesiapan teknologi.

Lalu, apa jalan keluarnya? Jawaban sederhana: kembangkan media pembelajaran yang benar-benar ramah gawai. Hampir semua ASN punya smartphone. Maka, tugas instansi adalah menjadikan smartphone sebagai “kelas mini” yang selalu siap digunakan.
Media pembelajaran perlu dikemas lebih menarik: microlearning 3–5 menit, video pembelajaran, hingga podcast pembelajaran bagi ASN yang bisa didengar sambil bekerja. Dengan cara ini, belajar terasa ringan, fleksibel, dan tidak mengganggu rutinitas.
Dengan menghadirkan terobosan nyata berupa program pembelajaran yang dikemas dalam aplikasi khusus bagi ASN. Aplikasi tersebut dirancang sederhana, ringan, dan mudah diakses melalui smartphone, sehingga setiap ASN, baik di kota maupun pelosok, bisa belajar kapan saja tanpa terkendala perangkat.
Dengan fitur microlearning, video singkat, hingga podcast pembelajaran, aplikasi ini bukan hanya menjadi media belajar, tetapi juga membentuk budaya belajar baru yang lebih fleksibel dan berkelanjutan. Kehadiran inovasi ini akan menjadi kontribusi nyata Pengembang Teknologi Pembelajaran dalam memastikan transformasi digital ASN berjalan lebih merata dan inklusif.
Beberapa instansi sebenarnya sudah mulai menunjukkan terobosan nyata dalam menghadirkan pembelajaran ASN berbasis gawai. Kementerian PANRB, misalnya, mengembangkan aplikasi SmartASN yang menyediakan modul pembelajaran digital dalam versi mobile sehingga bisa diakses ASN kapan saja. LAN juga menghadirkan fitur “ASN Berpijar” di dalam aplikasi SIPKA, berisi puluhan topik microlearning interaktif lengkap dengan sertifikat dan konversi jam pelajaran.
Di tingkat daerah, Pemerintah Aceh melalui BPSDM meluncurkan aplikasi SIKULA untuk mengelola proses tugas belajar ASN secara transparan dan efisien. Selain itu, beberapa BPSDM, seperti Jawa Barat, telah menginisiasi webinar dan workshop literasi digital agar ASN terbiasa membuat dan memanfaatkan konten pembelajaran modern. Berbagai contoh ini membuktikan bahwa transformasi belajar dari genggaman bukan sekadar wacana, tetapi sudah berjalan dan tinggal diperluas cakupannya.
Namun, keberhasilan aplikasi-aplikasi ini tidak hanya ditentukan oleh peluncurannya saja, melainkan juga oleh pengelolaan yang berkelanjutan, baik dari sisi pengembangan materi yang relevan dan up-to-date, maupun penyempurnaan tampilan aplikasi agar semakin ramah pengguna dan menarik bagi ASN.
Selain itu, literasi digital ASN juga harus ditingkatkan. Pelatihan bukan hanya soal materi, tetapi juga pembiasaan menggunakan aplikasi, mengunduh materi, atau memanfaatkan fitur offline. ASN generasi senior pun bisa terbantu jika diberi pendampingan yang sabar.
Tentu, semua ini harus ditopang oleh infrastruktur digital yang lebih merata. Pemerintah perlu memastikan akses internet stabil hingga pelosok, menyediakan kuota belajar, dan mengembangkan aplikasi pembelajaran yang ringan. Dengan begitu, setiap ASN, baik di kota maupun daerah terpencil, punya peluang yang sama untuk belajar.
Baca Juga: Learning Agility: Panduan Survival di Era Perubahan
Fenomena belajar lewat gawai membuktikan bahwa budaya belajar ASN sedang berubah. Smartphone bukan lagi sekadar alat komunikasi, melainkan ruang belajar yang bisa diakses kapan saja. Regulasi sudah memberi landasan kuat, mulai dari UU ASN 2023 hingga Perpres SPBE 2018. Kini tinggal bagaimana ASN dan instansi mau memanfaatkannya secara maksimal.
Saatnya birokrasi melompat, bukan merangkak. Kalau belajar bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja, tak ada alasan lagi bagi ASN untuk berhenti berkembang. Layar kecil di genggaman ini bisa membawa dampak besar bagi kualitas birokrasi Indonesia. (*)