AYOBANDUNG.ID -- Ada suasana yang tak biasa di sudut-sudut Kota Bandung. Sejak satu dekade terakhir, anak-anak muda mulai tampil dengan pangsi hitam, iket Sunda, atau aksara kuno yang menghiasi kaus mereka. Fenomena ini bukan sekadar gaya, tapi simbol dari pencarian identitas budaya yang lama terpinggirkan.
Di balik geliat itu, nama Mohammad Rohman alias Man Jasad menjadi pemantik. Lewat musik death metal yang dikawinkan dengan karinding dan visual panggung bercorak Sunda, ia menghidupkan kembali semangat kesundaan di kalangan komunitas underground Bandung.
Tren ini mulai merebak sejak 2006, saat budaya Sunda mulai mencari ruang eksistensinya di tengah modernitas kota. Pemerintah Kota Bandung pun merespons lewat program Rebo Nyunda, mewajibkan pegawai mengenakan pakaian adat Sunda setiap Rabu sebagai bentuk pelestarian.
Salah satu puncak ekspresi budaya ini terlihat dalam gelaran Bandung Lautan Pangsi, di mana ribuan warga mengenakan atribut Sunda. Di tengah hiruk-pikuk urbanisasi, pemandangan ini menjadi oasis budaya yang mengingatkan pada akar lokal.
Namun, di balik semaraknya fesyen Sunda, muncul kekhawatiran. Budaya bukan sekadar tampilan luar, tapi harus dimaknai secara filosofis. Tanpa pemahaman, ekspresi budaya bisa berubah menjadi komodifikasi gaya hidup semata.
“Sekarang banyak yang back to nature dengan budaya Sunda dan mulai memahami ternyata budaya Sunda tidak terbatas,” ujar Kang Onet, pelaku pelestarian budaya Sunda kepada Ayobandung.
Dalam tradisi Sunda, tetekon alias aturan hidup nmenjadi fondasi penting. Meski zaman berubah, nilai-nilai ini tetap relevan. Namun, ketika budaya Sunda diadopsi oleh generasi muda, perlu ada pendampingan agar tidak sekadar menjadi tren musiman.
“Untuk menghindari paradigma kesundaan yang hanya dianggap sebagai budaya ‘black metal’, (merujuk pada gaya anak muda yang menggabungkan kesundaan dengan estetika musik cadas)," tegas Onet.
Kini, pelestarian budaya Sunda menghadapi dua kutub, di mana satu sisi menyambut gembira karena budaya mulai dikenal. Di sisi lain khawatir karena pemaknaannya dangkal. Budaya yang hanya jadi gaya hidup berisiko kehilangan ruhnya.
“Sisi ini yang rada riskan. Sebab ketika penerjemahan Sunda-nya betul itu tidak jadi masalah, tapi ketika Sundanya hanya menjadi fesyen itu yang agak sedikit kacau,” terang Onet.
Fenomena lain muncul lewat gaya eksentrik ala Abah Gopal, seniman pahat Bandung. Para pengikutnya mengenakan caping, aksesoris dari biji-bijian, dan bahkan tengkorak domba sebagai sabuk. Gaya ini disebut ‘Gopalisme’.
“Kalau Abah Gopal, saya sudah tahu betul bagaimana pemahamannya terhadap nilai filosofi Sunda tidak perlu diragukan. Tetapi yang menjadi masalah ketika orang yang mengikutinya itu, mengikuti gaya budaya seperti Abah Gopal tanpa tahu filosofi fesyen Sunda secara utuh,” papar Onet.
Menurut Onet, penggunaan atribut seperti cetok atau tengkorak domba tidak memiliki landasan dalam falsafah Sunda. Hal ini menunjukkan adanya penyimpangan dalam pemaknaan budaya.
Ibarat anak punk yang memaknai punk lewat dandanan urakan, generasi muda pengikut fesyen Sunda pun diharapkan bisa perlahan memahami nilai-nilai leluhur yang mereka kenakan.
Pemerintah pusat melalui Kemendikdasmen telah menginisiasi Revitalisasi Bahasa Daerah dan Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) sebagai upaya pelestarian budaya lokal, termasuk Sunda. Program ini melibatkan Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat dan menjadi bukti komitmen negara menjaga warisan budaya.
Namun, pelestarian budaya tidak bisa hanya mengandalkan program pemerintah. Perlu kesadaran kolektif, terutama dari generasi muda, untuk memahami bahwa budaya bukan sekadar simbol, tapi cara hidup.
“Nu penting ngamumule ti diri sorangan (yang penting menjaga dari diri sendiri), tapi jangan sampai dalam memaknai budaya kesundaannya tidak mencerminkan gaya dan tata krama Sunda yang sebenarnya," pungkas Onet.
Alternatif produk fesyen Sunda atau serupa: