Fenomena pemutusan hubungan kerja atau PHK semakin menjadi sorotan publik karena dampaknya yang luas terhadap kehidupan pekerja, pencari kerja, dan dinamika hubungan industrial. (Sumber: Freepik)

Ayo Biz

Ketika Pekerja Kehilangan Rasa Aman: PHK Menguak Luka Sosial yang Jarang Terlihat

Rabu 10 Des 2025, 20:02 WIB

AYOBANDUNG.ID -- Fenomena pemutusan hubungan kerja atau PHK semakin menjadi sorotan publik karena dampaknya yang luas terhadap kehidupan pekerja, pencari kerja, dan dinamika hubungan industrial.

Studi Populix bersama KitaLulus menunjukkan bahwa 80 persen pekerja menilai proses PHK di Indonesia masih tidak manusiawi. Temuan ini bukan sekadar angka, melainkan cerminan dari rasa tidak aman yang mengakar dalam dunia kerja.

Bagi pekerja, PHK bukan hanya kehilangan pekerjaan tetapi juga kehilangan identitas sosial dan rasa dihargai. Sebanyak 82 persen pekerja dan pencari kerja merasa rentan terhadap risiko PHK, dengan 52 persen di antaranya menyatakan sangat khawatir.

Faktor usia, disrupsi teknologi, kondisi finansial perusahaan, dan kebijakan efisiensi menjadi pemicu utama. Di Bandung, kota yang menjadi pusat industri kreatif sekaligus manufaktur, pekerja menghadapi dilema ganda antara tuntutan adaptasi teknologi dan ancaman kehilangan pekerjaan.

Co-Founder KitaLulus, Stevien Jimmy menegaskan pentingnya empati dalam setiap proses PHK. “Riset kami menegaskan bahwa banyak pekerja masih merasa dirugikan dan tidak diperlakukan dengan layak. Itu sebabnya setiap proses PHK harus berangkat dari empati. Bahkan ketika keputusan sudah final, cara kita menyampaikan kabar buruk tetap dapat memberi ruang aman bagi mereka yang terdampak,” ujarnya.

Pencari kerja pun tidak luput dari dampak. Mereka harus bersaing dengan lulusan baru sekaligus dengan pekerja berpengalaman yang terdampak PHK. Bandung sebagai magnet pencari kerja dari berbagai daerah menghadapi kompetisi ketat di pasar kerja.

Lingkaran ketidakpastian ini memperburuk tingkat pengangguran terbuka di Jawa Barat yang menurut Badan Pusat Statistik masih lebih tinggi dibanding rata-rata nasional.

Praktisi HR berada di persimpangan sulit. Mereka dituntut menjaga keberlangsungan bisnis sekaligus mempertahankan kepercayaan pekerja. Namun mismatch persepsi sering terjadi. Pekerja menilai PHK tidak transparan dan tidak adil, sementara HR menekankan kepatuhan pada regulasi. Ketegangan ini memperburuk krisis kepercayaan yang sudah rapuh.

Sama halnya seperti yang diungkapkan Policy & Society Research Director Populix, Vivi Zabkie bahwa mayoritas pekerja masih merasa PHK dilakukan dengan tidak manusiawi karena belum transparan dan adil.

“Tak hanya itu, 82 persen pekerja juga merasa rentan terhadap risiko PHK. Mereka merasa dukungan manajemen dalam menjaga kelangsungan pekerjaan dan menjamin kesejahteraan karyawan masih lemah. Hal ini menggambarkan bagaimana dampak PHK juga dirasakan oleh pekerja yang saat ini masih bekerja,” tegasnya.

Data resmi Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan per 31 Oktober 2025 terdapat 2.684 kasus perselisihan hubungan industrial secara nasional, dengan 71,57 persen di antaranya terkait PHK.

Jawa Barat menjadi provinsi dengan angka PHK tertinggi, mencatat lebih dari 15 ribu kasus sepanjang tahun. Bandung sebagai ibu kota provinsi menjadi episentrum dampak, terutama di sektor tekstil, garmen, dan jasa yang paling rentan terhadap efisiensi massal.

Kepercayaan pekerja terhadap manajemen masih lemah. Sebanyak 34 persen tidak merasa perusahaan berusaha menjaga keamanan kerja, 41 persen menilai manajemen kurang peduli terhadap kesejahteraan, dan 43 persen tidak percaya manajemen akan bertindak adil saat krisis.

Bahkan 45 persen pekerja tidak akan merekomendasikan tempat kerjanya kepada orang lain. Angka ini menunjukkan krisis kepercayaan yang serius dan berpotensi menggerus loyalitas tenaga kerja.

Mayoritas pekerja menilai proses PHK jauh dari prinsip empati. Pemberitahuan mendadak, ketidakpastian pesangon, dan pengabaian terhadap kinerja serta loyalitas menjadi keluhan utama. Sebanyak 39 persen pekerja merasa perusahaan tidak mempertimbangkan kondisi karyawan sebelum melakukan PHK, 40 persen menilai alasan PHK tidak jelas, dan 41 persen menilai prosesnya tidak adil.

Koordinator Pengembangan Kemitraan dan Jejaring Pasar Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Sigit Ary Prasetyo menyoroti program Pusat Pasar Kerja dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan sebagai solusi pemerintah.

“Tak hanya pencari kerja, perusahaan pun dapat membantu menginformasikan karyawannya yang terdampak PHK untuk mengikuti program Jaminan Kehilangan Pekerjaan di mana manfaat yang dapat difasilitasi yaitu layanan informasi pasar kerja. Harapannya layanan pemerintah ini dapat membantu pekerja saat mereka terdampak PHK,” ujarnya.

Bandung sebagai sebagai contoh kecil mampu memperlihatkan bagaimana PHK bukan hanya soal kehilangan pekerjaan tetapi juga soal kehilangan kepercayaan. Pekerja menilai loyalitas dan kontribusi mereka sering kali diabaikan. HR menghadapi dilema antara menjaga bisnis dan mempertahankan kepercayaan. Tanpa komunikasi yang transparan, jurang persepsi semakin melebar.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa PHK di Bandung dan Jawa Barat bukan sekadar angka statistik tetapi krisis kepercayaan yang nyata. Jalan keluar bukan hanya regulasi, melainkan komitmen empati, transparansi, dan dukungan pasca PHK dari semua pihak. Dialog sosial antara pekerja, HR, dan pemerintah menjadi kunci untuk membangun kembali kepercayaan yang hilang.

PHK mungkin tidak terelakkan dalam situasi tertentu, tetapi cara kita memperlakukan manusia di balik angka akan menentukan arah masa depan dunia kerja. Bandung dan Jawa Barat kini menjadi cermin bagi Indonesia bahwa krisis kepercayaan pekerja terhadap manajemen adalah tantangan besar yang harus segera dijawab dengan kebijakan yang lebih humanis dan berkeadilan.

Fenomena ini menegaskan bahwa bayang bayang PHK bukan hanya ancaman ekonomi tetapi juga ujian moral bagi dunia kerja Indonesia. Seperti ditegaskan Plt. Direktur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Kementerian Ketenagakerjaan, Imelda Savitri, di mana perlunya edukasi PHK yang adil dan humanis.

“Kemenaker juga secara aktif memberikan edukasi mengenai praktik dan komunikasi PHK khususnya kepada perusahaan dan praktisi HR. Harapannya edukasi ini dapat mendorong proses PHK yang adil, transparan, dan humanis, saat PHK tak bisa dihindari,” ujarnya.

Altenatif kebutuhan kerja atau produk serupa:

  1. https://s.shopee.co.id/5VOAlI5MGq
  2. https://s.shopee.co.id/9pX9vIJOxz
  3. https://s.shopee.co.id/60KRML52Fx
  4. https://s.shopee.co.id/9UuJWsog3K
Tags:
pencari kerjapekerjadunia kerjaPHKpemutusan hubungan kerja

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Reporter

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Editor