AYOBANDUNG.ID -- Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada triwulan III/2025 mencatat angka impresif sebesar 5,20 persen secara tahunan (year-on-year), melampaui rata-rata nasional yang berada di angka 5,04 persen. Namun, di balik angka makroekonomi yang menggembirakan ini, tersimpan ironi, di mana Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) justru meningkat menjadi 6,77 persen atau setara dengan 1,78 juta orang.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa pertumbuhan ekonomi tidak serta-merta menurunkan angka pengangguran? Apakah pertumbuhan yang terjadi belum inklusif atau justru tidak menyentuh sektor-sektor padat karya yang menyerap tenaga kerja?
Menurut Plt. Kepala BPS Jawa Barat, Darwis Sitorus, sektor jasa perusahaan dan akomodasi makanan-minuman menjadi penyumbang pertumbuhan tertinggi, masing-masing tumbuh sebesar 16,37 persen dan 15,53 persen. Namun, sektor industri pengolahan, yang menyumbang porsi terbesar dalam struktur PDRB Jawa Barat hanya tumbuh 3,15 persen.
“Secara year on year, sumber pertumbuhan ekonomi Jawa Barat triwulan III/2025 tertinggi yaitu industri pengolahan sebesar 1,35 persen, sedangkan menurut pengeluaran yang tertinggi yaitu konsumsi rumah tangga sebesar 2,91 persen,” jelas Darwis.
Meski industri pengolahan tetap menjadi motor utama ekonomi, dinamika global dan tekanan eksternal membuat sektor ini rentan. Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat, Herman Suryatman, mengungkapkan bahwa salah satu penyebab stagnasi industri adalah dampak psikologis dari tarif resiprokal Indonesia-AS.
“Salah satu contohnya pascatarif resiprokal Indonesia ke AS yang di awal itu angka 32%, itu kan guncangannya lumayan secara psikologis. Walaupun dikoreksi di kisaran 19% sekarang, relatif kita bisa bersaing. Tetapi guncangan psikologis itu kan terhindarkan karena waktunya cukup lama,” ujar Herman pada Senin, 10 November 2025.
Guncangan tersebut berdampak pada produksi dan bahkan menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) di beberapa sektor. Hal ini turut menjelaskan mengapa TPT meningkat, meskipun investasi di Jawa Barat pada kuartal III mencapai Rp77,1 triliun.
Sementara itu, investasi yang masuk justru lebih banyak mengarah ke sektor padat modal dan teknologi tinggi seperti industri kendaraan listrik (EV). Contohnya, investasi BYD di Subang yang diproyeksikan menyerap 18 ribu tenaga kerja, namun membutuhkan keterampilan tinggi yang belum tentu dimiliki oleh angkatan kerja saat ini.
“Ini tren global bahwa teknologi mulai ke AI bahkan blockchain dan lain sebagainya, yang tentu dari sisi tenaga kerja harus diimbangi dengan keterampilan. Upskilling dari tenaga kerja kita harus ditingkatkan,” tambah Herman.
Kesenjangan keterampilan ini tercermin dari data BPS yang menunjukkan bahwa mayoritas penduduk bekerja masih didominasi lulusan SD (36,61 persen), sementara lulusan diploma ke atas hanya 11,15 persen. Tak heran jika pengangguran tertinggi justru terjadi pada lulusan SMK, yakni sebesar 12,81 persen.
TPT juga lebih tinggi di wilayah perkotaan (7,19 persen) dibandingkan perdesaan (4,92 persen). Hal ini menunjukkan bahwa tekanan pengangguran lebih terasa di kota-kota besar, di mana ekspektasi terhadap jenis pekerjaan dan tingkat pendidikan lebih tinggi.
“Penyerapan tenaga kerja masih tertolong oleh sektor perdagangan dan industri. Tentunya kan industri padat modal, padat karya itu akan sangat mempengaruhi bagaimana penyerapan tenaga kerja,” ungkap Darwis.
Namun, sektor informal justru mengalami peningkatan. Proporsi pekerja informal kini mencapai 54,95 persen, lebih tinggi dibandingkan pekerja formal yang hanya 45,05 persen. Hal ini menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang memilih berusaha sendiri atau bekerja tanpa perlindungan sosial.
Dari sisi gender, TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) perempuan hanya sebesar 49,27 persen, jauh di bawah laki-laki yang mencapai 84,41 persen. Penurunan TPAK perempuan lebih cepat, menandakan adanya hambatan struktural dalam akses kerja bagi perempuan.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat pun tidak tinggal diam. Melalui Dinas Tenaga Kerja, mereka menggencarkan pelatihan vokasi berbasis kebutuhan industri. Salah satu contohnya adalah pelatihan untuk 2.000 orang di Garut yang langsung terhubung dengan dunia usaha.
“Jadi memang kita harus mulai fokus ke pelatihan vokasi dan pelatihan vokasinya sesuai dengan kegiatan industri,” tegas Herman.
Meski tantangan besar, pemerintah optimistis angka pengangguran bisa ditekan kembali di akhir tahun. Targetnya, TPT bisa kembali di bawah 6,75 persen seperti tahun 2024, seiring dengan pemulihan industri dan optimalisasi pelatihan tenaga kerja.
“Mudah-mudahan di penghujung tahun kita akan kembalikan lagi ke angka yang sesuai dengan harapan bisa lebih baik dibanding tahun 2024 di angka 6,75. Tahun 2024 kan 6,75 dengan pertumbuhan ekonomi 4,9. Sekarang pertumbuhan ekonomi kita di 5,2,” pungkas Herman.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat, Muhamad Nur menyoroti bahwa sektor tekstil yang selama ini menjadi tulang punggung industri padat karya mengalami tekanan signifikan, sehingga berkontribusi terhadap peningkatan jumlah pengangguran.
“Industri tekstil termasuk sektor padat karya, dan dampaknya terhadap pengangguran cukup terasa. Tapi kami juga mendorong sektor lain seperti UMKM, pertanian, dan hortikultura yang juga padat karya,” ujar Nur.
Dorongan terhadap sektor-sektor alternatif ini menjadi strategi jangka menengah untuk menyeimbangkan tekanan di sektor industri besar. Namun, tantangan lain muncul, saah satunya investasi yang masuk ke Jawa Barat, seperti proyek kendaraan listrik BYD di Subang, cenderung padat modal dan teknologi, membutuhkan tenaga kerja terampil yang belum sepenuhnya tersedia.
“Kita melalui berbagai macam program vokasi dengan SMK-SMK untuk mengantisipasi kebutuhan tenaga kerja sesuai dengan spesifikasi industri. Kalau tidak disiapkan, bisa jadi tenaga kerja dari luar Jawa Barat yang masuk,” tambah Nur.
Sementara itu, Ketua ISEI Cabang Bandung, Prof. Martha Fani Cahyandito memperluas perspektif dengan menyoroti potensi ekonomi biru dan kuning sektor-sektor non-manufaktur seperti perikanan, pariwisata, dan ekonomi digital yang bisa menjadi alternatif penyerapan tenaga kerja.
“Tidak hanya ekonomi manufaktur besar, tetapi juga ekonomi biru dan kuning bisa digerakkan. Dari pariwisata, usaha digital, hingga pengolahan hasil laut seperti bandeng dan kepiting di utara Jawa Barat,” jelas Prof. Fani.
Ia juga menyoroti pentingnya kolaborasi antara perusahaan, akademisi, dan pemerintah daerah dalam menggerakkan ekonomi lokal secara inklusif. Menurutnya, pendekatan ini tidak hanya berdampak pada LPE (Laju Pertumbuhan Ekonomi), tetapi juga pada pencapaian SDGs melalui pemberdayaan masyarakat.
“Pola kolaborasi lintas sektor ini akan menggerakkan LPE di Jawa Barat. Kalau dilakukan secara akumulatif, dampaknya bisa sangat besar,” ujar Prof. Fani.
Alternatif pembelian produk fashion formal atau serupa: