AYOBANDUNG.ID -- Pelestarian hutan bukan lagi sekadar wacana lingkungan, tapi telah menjadi panggilan moral dan strategi adaptif di tengah krisis iklim global. Indonesia, sebagai negara dengan tutupan hutan tropis terbesar ketiga di dunia, memikul tanggung jawab besar untuk menjaga ekosistemnya tetap lestari. Namun, tantangan degradasi hutan dan minimnya kesadaran publik masih menjadi batu sandungan utama.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia kehilangan sekitar 680 ribu hektare tutupan hutan setiap tahunnya. Angka ini menunjukkan bahwa upaya pelestarian tidak bisa hanya mengandalkan regulasi, tetapi juga membutuhkan partisipasi aktif masyarakat. Salah satu pendekatan yang kini mulai berkembang adalah edutourism atau wisata berbasis edukasi lingkungan.
Edutourism menawarkan pengalaman wisata yang tidak hanya menyenangkan, tetapi juga membangun kesadaran ekologis. Pengunjung diajak untuk memahami pentingnya menjaga hutan, mengenal keanekaragaman hayati, dan terlibat langsung dalam aksi konservasi. Pendekatan ini menjembatani kesenjangan antara pengetahuan dan tindakan.
Salah satu contoh nyata dari praktik edutourism yang berhasil adalah Orchid Forest Cikole, sebuah taman wisata alam di Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Dikelilingi ribuan pohon pinus, tempat ini tidak hanya menawarkan keindahan lanskap, tetapi juga menjadi ruang belajar terbuka tentang pentingnya pelestarian hutan dan tanaman anggrek.
Setiap tahun, dalam rangka memperingati Hari Menanam Pohon Indonesia yang jatuh pada 28 November, Orchid Forest Cikole kerp membagikan bibit anggrek gratis kepada pengunjung. Syaratnya sederhana, cukup unggah foto kunjungan ke media sosial. Langkah ini menjadi bentuk partisipasi publik dalam menjaga kelestarian flora.
CEO Orchid Forest Cikole, Barry Akbar, menegaskan bahwa kegiatan ini bukan sekadar simbolik. Bagi mereka melestarikan hutan sudah lebih dari kewajiban. "Tak hanya karena hutan pinus ini rumah Orchid Forest Cikole, tetapi karena manfaat-manfaat hutan yang sangat terasa bagi sekitarnya dan merupakan bagian dari kekayaan alam Indonesia,” ujar Barry.
Dengan lebih dari 150 jenis anggrek dari berbagai daerah di Indonesia hingga Amerika Selatan, Orchid Forest Cikole menjadi taman anggrek terbesar di Indonesia. Koleksi ini bukan hanya daya tarik wisata, tetapi juga bagian dari upaya konservasi spesies langka yang terancam punah.
“Pemberian bibit anggrek gratis itu pun agar membuat pengunjung menjadi bagian dalam misi untuk terus menjaga tanaman anggrek,” tambah Barry.
Melalui pendekatan ini, pengunjung tidak hanya menjadi penikmat keindahan, tetapi juga pelaku konservasi. Menurut KLHK, strategi pelestarian hutan yang melibatkan masyarakat terbukti lebih efektif dalam jangka panjang. Program perhutanan sosial dan rehabilitasi lahan kritis yang melibatkan komunitas lokal menunjukkan hasil yang lebih berkelanjutan dibanding pendekatan top-down.
Namun, membangun kesadaran ekologis bukan perkara mudah. Di era digital yang serba instan, banyak wisatawan lebih tertarik pada konten visual daripada nilai edukatif. Orchid Forest Cikole menjawab tantangan ini dengan menghadirkan spot-spot Instagramable yang tetap mengusung pesan konservasi.
Bazaar Anggrek yang rutin digelar menjadi salah satu cara memperluas dampak edukasi. Di sini, pengunjung bisa membeli anggrek hasil penangkaran sekaligus belajar cara merawatnya. Hal ini bukan sekadar transaksi, tetapi transfer pengetahuan dan tanggung jawab ekologis.
“Dengan manfaatnya yang luar biasa besar bagi bumi, kami komit untuk terus menjaga hutan Indonesia agar anak cucu kita pun dapat merasakan manfaatnya,” kata Barry.
Komitmen ini tercermin dalam desain kawasan yang meminimalkan jejak karbon dan memaksimalkan edukasi lingkungan. Menurut KLHK, sektor ekowisata dapat menyumbang hingga 10 persen dari total pendapatan pariwisata nasional jika dikelola secara berkelanjutan. Data ini menunjukkan bahwa pelestarian hutan dan pertumbuhan ekonomi tidak harus saling bertentangan.
Hutan yang terjaga bukan hanya aset ekologis, tetapi juga ekonomi. Selain ekowisata, hasil hutan bukan kayu seperti madu, getah, dan tanaman obat memiliki potensi besar sebagai sumber pendapatan masyarakat sekitar hutan.
Pelestarian hutan juga berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim. Hutan tropis Indonesia menyerap sekitar 1,1 miliar ton karbon per tahun. Kehilangan tutupan hutan berarti kehilangan kemampuan bumi untuk menyeimbangkan suhu global.
Hari Menanam Pohon Indonesia menjadi momentum penting untuk membangun semangat kolektif menjaga bumi. Kampanye seperti yang dilakukan Orchid Forest Cikole bisa menjadi inspirasi bagi destinasi wisata lain untuk mengintegrasikan konservasi dalam model bisnis mereka.
Namun, pelestarian hutan tidak bisa berhenti di level simbolik. Diperlukan kebijakan yang mendukung, insentif bagi pelaku wisata ramah lingkungan, serta edukasi berkelanjutan bagi masyarakat luas.
Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci. Pemerintah, pelaku usaha, komunitas lokal, dan wisatawan harus berjalan bersama dalam menjaga hutan. Setiap pohon yang ditanam, setiap anggrek yang dirawat, adalah investasi untuk masa depan.
“Tak hanya memberi manfaat bagi makhluk hidup yang hidup di dalam ekosistemnya. Namun juga memberi manfaat besar bagi sekitarnya sebagai paru-paru dunia,” pungkas Barry.
Alternatif pembelian produk bibit anggrek atau tanaman serupa: