Upacara Tutup Tahun Kampung Cireundeu, Merawat Tradisi dan Syukur Kepada Ibu Bumi. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Restu Nugraha)

Ayo Biz

Desa Wisata Jawa Barat Menumbuhkan Ekonomi Kreatif dengan Komitmen dan Kolaborasi

Kamis 20 Nov 2025, 21:19 WIB

AYOBANDUNG.ID -- Desa wisata di Jawa Barat bukan sekadar destinasi yang indah, namun juga ruang ekonomi kreatif yang menuntut ketekunan, komitmen, dan keberanian untuk terus berinovasi. Perspektif pelaku usaha pun menjadi kunci membaca denyut nadi ini.

Taufik Hidayat Udjo, pemilik Saung Angklung Udjo sekaligus Ketua DPD PUTRI Jawa Barat menekankan bahwa keberlanjutan desa wisata tidak bisa dicapai dengan langkah serba cepat. Di sinilah perbedaan nyata antara proyek yang meriah di permukaan dan ekosistem yang matang di akar.

“Untuk bicara tentang pariwisata maka kita jangan bicara tentang instan tapi bagaimana kita punya komitmen di situ," ungkap Taufik.

Pernyataan ini bukan retorika. Taufik berbicara dari pengalaman panjang membesarkan Saung Angklung Udjo, sebuah ruang budaya yang dulu bertolak dari keterbatasan.

Akses sulit, fasilitas minim, bahkan tempat parkir pun tidak tersedia. Namun, kecintaan terhadap seni tradisional, pendidikan anak, dan lingkungan membuat ruang sederhana itu tumbuh menjadi destinasi budaya yang mendunia.

Taufik sedianya ingin berbagi sebuah gambaran yang realistis tentang titik mula. Pasalnya bagi banyak desa wisata, infrastruktur yang rapuh dan akses yang sulit adalah tembok pertama yang harus ditembus.

Dia juga ingin menegaskan fondasi bahwa komitmen yang konsisten terhadap nilai budaya, pendidikan, dan lingkungan adalah energi yang mendorong pertumbuhan otentik.

“Jangan selalu berpikir tentang instan, segala sesuatunya ada perjuangan karena potensinya itu banyak banget. Kalau ini disentuh, dirawat maka akan membesar-membesar dan menjadi bagus," tegasnya.

Prinsip “disentuh, dirawat” dari Taufik adalah strategi yang relevan bagi desa wisata, di mana upaya memelihara kualitas pengalaman, memperkuat tata kelola, dan menumbuhkan kapasitas usaha lokal secara bertahap.

Kisah itu juga menjadi cermin bagi desa wisata lain di Jawa Barat. Pertumbuhan tidak datang seketika, melainkan melalui proses panjang yang penuh konsistensi.

Buktinya, Saung Angklung kini dikunjungi wisatawan dari berbagai negara, bahkan ada yang datang berkali-kali hanya untuk menyaksikan pertunjukan angklung. Hal ini menunjukkan bahwa keunikan budaya, bila dirawat dengan baik, mampu menciptakan loyalitas lintas negara.

"Pesannya bahwa kita harus senantiasa jangan puas di situ. Jadi harus selalu kreatif, kreatif, kreatif. Keep the old one, create the new one. Tapi artinya jangan sampai kita terdiam dan nyaman. Karena itu wisatawan ini akan suka juga banyak pilihan,” kata Taufik.

Selain itu, Taufik mengatakan, bagi desa wisata, menjaga keseimbangan antara tradisi dan inovasi adalah prasyarat agar tetap relevan. Produk budaya harus hidup, bukan dipamerkan sebagai artefak statis.

Strategi lain yang kerap disalahpahami adalah relasi antar destinasi. Taufik menolak pandangan bahwa desa wisata saling bersaing. Menurutnya, kehadiran banyak destinasi justru memperpanjang lama tinggal wisatawan.

“Dan juga nih, jangan khawatir ketika kiri kanan kita juga banyak objek wisata, jangan khawatir. Itu malah bisa menambah length of stay mereka tinggal di wilayah itu," ungkapnya.

Ia mencontohkan kawasan Cihampelas yang dulu dipenuhi toko jeans, justru membuat orang berbondong-bondong datang. Taufik ingin mematahkan narasi kompetisi sempit. Klaster destinasi justru dapat memperpanjang lama tinggal, memperbanyak transaksi, dan memperkuat sebaran manfaat ekonomi.

Contoh, Di tingkat desa, kolaborasi berarti kurasi lintas usaha dari kuliner, homestay, kerajinan, pertunjukan, pengalaman alam yang saling melengkapi dalam satu ekosistem layanan. “Jangan sampai seolah-olah ini bersaing. Tidak, sekarang ini musimnya musim kolaborasi dan sinergi, bukan musim kompetisi," katanya.

Kampung adat Cireundeu sering dijadikan sebagai tempat edukasi bagi siswa-siswi sekolah. Mereka diajari cara membuat berbagai jenis makanan dari bahan dasar singkong. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)

Sementara itu, dari sisi kebijakan, Bank Indonesia Jawa Barat menegaskan pentingnya pendampingan berkelanjutan. Deputi Kepala Perwakilan BI Jabar, Muslimin Anwar, menyebut bahwa desa wisata harus mampu membuat pengunjung datang kembali untuk membangun pengalaman konsisten agar desa wisata memiliki daya tarik jangka panjang.

Ia juga menekankan bahwa kualitas dan keunikan adalah kunci. Oleh sebab itu, pengalaman pelaku usaha besar yang turut menjadi pendamping nantinya diharapkan bisa menularkan ke desa wisata agar mereka memiliki standar layanan yang lebih baik hingga membantu desa membangun pengalaman konsisten dan repeatable.

“Kita berharap dengan keunggulan pengalaman para pengusaha tersebut bisa menularkan ke desa-desa wisata,” kata Muslimin.

BI juga menggandeng akademisi dari SBM ITB, Unpad, UPI, hingga NHI untuk menyusun roadmap bisnis lima tahun bagi desa wisata. Pendekatan ini memastikan desa tidak hanya bergerak reaktif, tetapi memiliki arah jangka panjang. Roadmap lima tahun ini pun mengikat desa pada target terukur, baik dari kapasitas SDM, produk unggulan, kanal penjualan, dan standar layanan.

“Kita berharap ada salah satu mata kuliah yang dia penjelasannya cuma beberapa hari saja, tapi dia berarti pendampingan selebihnya bersama dengan desa wisatanya sehingga menghasilkan blueprint atau roadmap untuk desa wisata itu rencana bisnisnya 5 tahun ke depan," katanya.

Dari sisi pembiayaan, desa wisata juga dipandang sebagai peluang bagi perbankan. Kehadiran UMKM di desa wisata membuka ruang penyaluran kredit, didukung kebijakan insentif mikroprudensial BI yang mencapai Rp400 triliun. Dana ini diharapkan bisa mengalir ke sektor pariwisata desa, memperkuat atraksi, akses, dan amenitas.

“Mudah-mudahan ini dapat disalurkan oleh perbankan ke sektor seperti desa wisata di Jawa Barat. Skala insentif ini, bila terserap efektif, bisa menggerakkan perbaikan atraksi, akses, dan amenitas sekaligus," katanya.

Oleh karena itu, sinergi BI dengan pemerintah daerah memastikan pendampingan tidak berjalan sendiri. Penguatan kelembagaan seperti pokdarwis, BUMDes, perdes pariwisata menjadi landasan agar program dan pembiayaan tidak berhenti di kegiatan. “Dengan pemprov, tentunya kita juga hand in hand bagaimana pengembangan pariwisata ke depan," lanjutnya.

Data BPS mencatat 158 juta perjalanan wisatawan ke Jawa Barat pada Januari–September 2025, meningkat signifikan dibanding periode yang sama tahun 2021. Angka ini menegaskan posisi Jawa Barat sebagai destinasi utama wisatawan nusantara, sekaligus peluang besar bagi desa wisata.

Dengan hampir 700-800 desa wisata, Jawa Barat memiliki stok destinasi yang belum banyak dikenal, yang bisa menjadi platform bagi wisatawan domestik maupun mancanegara untuk mendalami Jawa Barat secara lebih autentik.

Muslimin berharap lonjakan kunjungan pun tidak hanya terkonsentrasi di destinasi favorit, tetapi juga menyebar ke desa wisata. Karenanya, pemerataan arus kunjungan adalah strategi pemerataan manfaat ekonomi kreatif.

“Kita berharap tidak hanya ke tempat-tempat yang sudah favorit tapi juga desa-desa wisata ini sebagai platform bagi orang-orang dari wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara untuk bisa mendalami Jawa Barat melalui tempat-tempat yang belum mereka kunjungi,” ungkapnya.

Kombinasi antara komitmen pelaku usaha seperti Taufik Hidayat Udjo dan dukungan kebijakan dari BI Jabar menunjukkan arah baru pembangunan desa wisata. Bukan sekadar proyek sesaat, melainkan gerakan ekosistem yang melibatkan akademisi, praktisi, pemerintah, dan perbankan. “Kita harapkan dengan pendampingan, pembiayaan, penguatan ini desa-desa wisata yang ada di sini bisa lebih berdaya lagi,” ujar Muslimin.

Alternatif produk kebutuhan desa wisata atau serupa:

  1. https://s.shopee.co.id/9zq2daKJpX
  2. https://s.shopee.co.id/9AGve5I4ra
  3. https://s.shopee.co.id/40YpUc2MMF
  4. https://s.shopee.co.id/6VGATXfgWk
Tags:
desa wisataekonomi kreatifJawa Barat pelaku usaha

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Reporter

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Editor