Kopi telah lama menjadi komoditas unggulan Jawa Barat. Dari lereng Gunung Papandayan hingga dataran tinggi Ciamis, ribuan petani menggantungkan hidup pada biji hitam ini. (Sumber: Ayobandung | Foto: Kavin Faza)

Ayo Biz

Kopi Jawa Barat di Persimpangan, Komoditas Ramah Konservasi yang Terancam Lesunya Ekonomi

Kamis 13 Nov 2025, 20:08 WIB

AYOBANDUNG.ID -- Kopi telah lama menjadi komoditas unggulan Jawa Barat. Dari lereng Gunung Papandayan hingga dataran tinggi Ciamis, ribuan petani menggantungkan hidup pada biji hitam ini. Namun, tahun 2025 membawa tantangan baru yang membuat banyak petani mempertanyakan masa depan kopi sebagai sumber penghidupan.

Ketua Badan Pengawas (BP) Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Jawa Barat Dedi Kurniawan menyampaikan bahwa harga buah kopi kini merosot tajam. Di beberapa wilayah seperti Garut dan Bandung Barat, harga kopi arabika yang sebelumnya bisa mencapai Rp 10.000–12.000/kg kini hanya berkisar Rp 6.000–8.500/kg.

“Minat beli para pengepul kopi menurun akibat daya beli dan daya jual terkendala. Faktor penyebabnya tak lain, sulitnya ekspor dan daya beli masyarakat,” ujar Dedi.

Data dari Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa harga kopi dunia sebenarnya mengalami kenaikan signifikan. Arabika naik 58% dan robusta mencapai rekor 4.000 USD/ton. Namun, harga di tingkat petani Jawa Barat tidak ikut terdongkrak.

Harga green bean arabika di Jawa Barat hanya Rp 42.000–45.000/kg, sementara robusta Rp 28.000–32.000/kg. Petani tetap menjual buah kopi segar dengan harga rendah karena keterbatasan akses ekspor dan distribusi.

Kondisi ini menciptakan paradoks, yakni kopi Jawa Barat telah mencapai swasembada, namun petani tidak berdaulat secara ekonomi. Dedi menilai, tanpa intervensi harga atau perlindungan pasar, swasembada hanya menjadi label tanpa dampak nyata bagi kesejahteraan petani. “Kopi sudah swasembada, karenanya komoditas ini perlu mendapatkan perhatian pemerintah,” tegas Dedi.

Kopi telah lama menjadi komoditas unggulan Jawa Barat. Dari lereng Gunung Papandayan hingga dataran tinggi Ciamis, ribuan petani menggantungkan hidup pada biji hitam ini. (Sumber: Ayobandung | Foto: Kavin Faza)

BPS Jawa Barat mencatat bahwa provinsi ini memiliki ±14.000 hektare lahan kopi dengan produksi tahunan ±12.000 ton. Mayoritas petani adalah peladang kecil dengan lahan di bawah satu hektare. Lebih dari 60% belum tergabung dalam koperasi atau skema perdagangan adil, sehingga rentan terhadap fluktuasi harga dan permainan tengkulak.

Musim panen 2025 berlangsung sejak April hingga September. Di bulan Juli dan Agustus, panen mencapai puncaknya. Namun, alih-alih merayakan hasil panen, banyak petani justru mengeluh karena pembeli lokal menurun drastis. Tengkulak menawar harga rendah, sementara koperasi kesulitan menjual hasil panen ke luar negeri.

Di beberapa daerah seperti Ciamis dan Tasikmalaya, alih komoditas mulai terjadi. Petani beralih ke tanaman hortikultura seperti cabai dan tomat yang lebih cepat panen dan harganya lebih stabil. Jika tren ini terus berlanjut, bukan hanya ekonomi petani yang terancam, tapi juga ekosistem hutan yang selama ini dilindungi oleh budidaya kopi.

Dedi menilai bahwa kopi bisa menjadi solusi ekologis yang mengurangi pola olah tanah di kawasan konservasi. Namun, potensi ini belum diimbangi dengan dukungan kebijakan yang konkret dan implementatif. “Kopi sebagai komoditi alternatif ekonomi rakyat tak merusak kawasan,” katanya.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebenarnya telah menerbitkan Peraturan Gubernur tentang pengembangan usaha kopi. Sayangnya, regulasi ini belum dijalankan secara menyeluruh.

“Pemerintah dengan bangga terus menyuarakan kopi sebagai komoditi yang ramah konservasi. Karenanya pemerintah seharusnya memperhatikan situasi saat ini. Termasuk merancang pola penyelamatan turunnya harga kopi dan minimnya daya beli,” ungkap Dedi.

Kopi telah lama menjadi komoditas unggulan Jawa Barat. Dari lereng Gunung Papandayan hingga dataran tinggi Ciamis, ribuan petani menggantungkan hidup pada biji hitam ini. (Sumber: Ayobandung | Foto: Kavin Faza)

Program SIPASBUN 2025 mencatat fluktuasi harga kopi dan mendorong insentif bagi petani. Namun, program ini belum menyentuh aspek distribusi lokal dan perlindungan harga. Tanpa skema stabilisasi harga dan dukungan pasar, petani tetap berada dalam posisi lemah.

Dedi mengajak Pemprov Jawa Barat untuk segera menjalankan Pergub tersebut. Pasalnya, kopi bukan sekadar komoditas, tapi juga simbol ketahanan ekologis, ekonomi rakyat, dan identitas konservasi.

Di banyak wilayah, kopi menjadi benteng terakhir yang menjaga hutan dari eksploitasi. Namun, tanpa keberpihakan nyata dari pemerintah, kopi bisa kehilangan makna dan petani kehilangan harapan.

“Saya pikir peraturan tersebut dibuat untuk diimplementasikan karena jika diam akan berdampak pada kekhawatiran alih komoditi dan semakin sengsaranya petani Jawa Barat,” ujarnya.

Langkah penyelamatan kopi Jawa Barat tidak cukup hanya dengan promosi dan festival. Upaya yang dibutuhkan adalah kebijakan yang berpihak, akses pasar yang adil, dan perlindungan harga yang konkret. Petani kopi bukan sekadar produsen, mereka adalah penjaga lanskap ekologis yang layak diperjuangkan.

Dedi juga menegaskan, jika kopi ingin tetap menjadi komoditas unggulan dan ramah konservasi, maka pemerintah harus hadir bukan hanya sebagai penyampai narasi, tapi sebagai pelaksana solusi. Dari regulasi hingga distribusi, dari insentif hingga perlindungan, semua harus bergerak serempak. “Pemerintah harus turun tangan dan memperhatikan nasib petani kopi,” tegas Dedi.

Alternatif produk kopi Jawa Barat atau UMKM serupa:

  1. https://s.shopee.co.id/8V15HLAB9G
  2. https://s.shopee.co.id/8zxLrvBsSL
  3. https://s.shopee.co.id/4VUwVgAOal
  4. https://s.shopee.co.id/AKSjSbngFy
  5. https://s.shopee.co.id/3qFFijAbTo
Tags:
solusi ekologiskawasan konservasikomoditaspetani Jawa Barat kopi

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Reporter

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Editor