AYOBANDUNG.ID -- Kabut tipis turun perlahan di lereng Puncak, Bogor. Di bawah tegakan pohon yang menjulang, aroma kopi yang baru dipetik bercampur dengan bau tanah basah. Suasana itu bukan sekadar pemandangan indah, melainkan hasil dari ikhtiar panjang masyarakat Kampung Cibulao yang memilih jalan untuk menanam kopi untuk menyelamatkan hutan.
Dulu, warga Cibulao hidup sebagai buruh pemetik teh. Upah yang kecil membuat mereka sering mencari tambahan penghasilan dengan menebang kayu. Hutan yang mestinya menjadi penyangga kehidupan justru terkikis sedikit demi sedikit. Longsor dan lahan kritis menjadi ancaman nyata.
Perubahan dimulai ketika Jumpono, seorang warga, mengajak tetangganya menanam kopi di lahan kosong. “Tadinya kawasan ini adalah kawasan hortikultura dan untuk tata ruang memang kurang mendukung. Makanya kami terus berinovasi bagaimana caranya untuk melakukan konservasi hutan," ujarnya.
Dari sepuluh orang, lahirlah Kelompok Tani Hutan (KTH) Cibulao. Kini jumlah anggota mencapai lebih dari enam puluh orang, sementara gabungan kelompok tani di Desa Tugu Utara melibatkan sekitar tiga ratus kepala keluarga. Mereka bukan lagi perambah hutan, melainkan penjaga hutan yang menanam kopi dengan pola agroforestry.
Hingga kini, 400 hektare lahan telah dihijaukan dengan kopi. Pola agroforestry memberi ruang bagi pohon kopi tumbuh di bawah tegakan, menjaga kelembapan tanah, sekaligus memberi penghasilan bagi warga. Program ini bagian dari Perhutanan Sosial yang memberi akses legal masyarakat untuk mengelola hutan.
Selain kopi, 200 hektare lahan dijadikan hutan alam sekunder berbasis jasa lingkungan. Wisatawan datang menikmati hijaunya kawasan tanpa mengubah fungsi hutan. “Karena kami di sini kawasan Puncak, kawasan wisata tetapi tanpa mengubah fungsi kawasan dan tetap menghijaukan kawasan itu, dan menjadikan pendapatan warga sekitar,” kata Jumpono.
Transformasi ekonomi terasa nyata. Jika dulu upah buruh pemetik teh jauh dari layak, kini beberapa anggota kelompok sudah bisa mengantongi penghasilan setara UMR Kota Bandung. “Di sini Alhamdulillah bagi yang sudah mengikuti kelompok tani itu sekarang untuk kesejahteraannya lumayan sangat meningkat, dan perekonomiannya sudah mulai membaik,” tambahnya.
Lebih dari sekadar ekonomi, dampak ekologis juga terlihat. Hutan kembali berfungsi sebagai penyangga, mencegah longsor, dan menghadirkan keanekaragaman hayati. “Setelah berdiri kelompok tani, masyarakat di sini sudah mulai sadar akan lingkungan dan betapa besar manfaatnya,” imbuh Jumpono.
Produk kopi Cibulao kini dipasarkan ke Bandung, Jabodetabek, Surabaya, Yogyakarta, hingga Makassar. Kehadiran kopi berkelanjutan dari desa penyangga menjadi relevan untuk mendukung identitas yang ramah lingkungan.
Tren sustainable coffee yang berkembang di dunia bahkan membuat produk KTH Cibulao diminati hingga ke Timur Tengah dan Eropa. Target mereka bahkan pada 2027 hingga 2030, produksi kopi Cibulao diharapkan meningkat signifikan.
“Tak hanya permintaan dalam negeri yang juga semakin hari semakin meningkat, tapi permintaan ekspor salah satunya seperti ke Perancis, Dubai dengan nama produk kopinya ‘Kopi Cibulao’,” kata Jumpono.
Data resmi memperkuat relevansi gerakan ini. KLHK mencatat, Indonesia masih memiliki lebih dari 13,5 juta hektare lahan kritis pada 2025, dengan Jawa Barat menyumbang sekitar 911 ribu hektare. Upaya KTH Cibulao menjadi bagian penting dari rehabilitasi tersebut.
Sementara itu, Kementerian Pertanian melaporkan produksi kopi Indonesia mencapai 774 ribu ton pada 2024 dan diproyeksikan naik 3–4 persen per tahun. Perkebunan rakyat, termasuk agroforestry seperti di Cibulao, menjadi tulang punggung pertumbuhan ini.
Dengan demikian, Cibulao bukan hanya cerita lokal, melainkan cermin bagi Jawa Barat. Masyarakat mulai menyadari bahwa kesejahteraan tidak harus bertentangan dengan kelestarian hutan. Agroforestry menjadi jalan tengah yang menghubungkan ekonomi, ekologi, dan identitas budaya.
Meski begitu, Jumpono menegaskan bahwa perjuangan ini tidak mudah. Meski dari kejauhan kawasan tampak hijau, banyak pohon yang perlu diremajakan. “Kalau dari kejauhan memang tampak hijau, tapi seberapa besar kayu yang ada, peremajaannya harus kayak apa. Bukan harus ditebang tapi disulam, dan upaya itu yang kami lakukan,” ujarnya.
Alternatif produk UMKM Kopi atau serupa:
